Bahan Kuliah : Human Relations BAB III


BAB. III.
FAKTOR-FAKTOR KONSEP DIRI DALAM HUMAN RELATION (Jalaluddin, 1999: 99)

        Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain; kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi persona penanggap tetapi persona stimuli sekaligus.
Menurut Charles Horton Cooley, kita bisa menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self (diri cermin) seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975: 79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi Humanistik yang muncul belakangan ini, pembicaraan tentang konsep diri dapat dilacak sampai William James. James membedakan antara “The I” diri yang sadar dan aktif dan “The Me” diri yang menjadi objek renungan kita. Pada psikologi sosial yang berorientasi pada sosiologi, konsep diri dikembangkan oleh Charles Horton cooley (1864 – 1929), George herbert Mead (1863 – 1931) dan memuncak pada aliran interaksi simbolis yang tokoh terkemukanya adalah Herbert Blumer. Di kalangan Psikologi sosial yang berorientasi pada psikologi, konsep diri tenggelam ketika Behaviorisme berkuasa. Pada tahun 1943, gordon E. Allport menghidupkan kembali konsep diri. Pada teori motivasi Abraham Maslow (1967, 1970) dan Carl Rogers (1970) konsep diri muncul sebagai tema utama Psikologi Humanistik.

William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social and psycological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others” (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi sosial dan fisis.
Bayangkan anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini pada diri anda sendiri:
Bagaimana watak saya sebenarnya?
Apa yang membuat saya bahagia atau sedih?
Apa yang sangat mencemaskan saya?
Bagaimana orang lain memandang saya?
Apakah mereka menghargai atau merendahkan saya?
Apakah mereka membenci atau menyukai saya?
Bagaimana pandangan saya tentang penampilan saya?
Apakah saya orang yang cantik atau jelek?
Apakah tubuh saya kuat atau lemah?

       Jawaban pada tiga pertanyaan yang pertama menunjukkan persepsi psikologis tentang diri anda; jawaban pada tiga pertanyaan kedua, persepsi sosial tentang diri anda; dan jawaban pada tiga pertanyaan terakhir, persepsi fisis tentang diri anda. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian anda tentang diri anda. Jadi konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda.
Karena itu, Anita Taylor et al. mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself.” (1977: 98).



       Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Boleh jadi komponen kognitif anda berupa “Saya ini orang bodoh”, dan komponen afektif anda berkata “Saya senang diri saya bodoh; ini lebih baik bagi saya.” Boleh jadi komponen kognitifnya seperti tadi tapi komponen afektifnya berbunyi “Saya malu sekali karena saya menjadi orang bodoh.” Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya menurut William D.       
       Brooks dan Philip Emmert (9176: 45) berpengaruh besar pada pola komunikasi interpersonal. Namun sebelum melihat bagaimana pengaruh konsep diri terhadap perilaku komunikasi interpersonal kita akan meneliti lebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri.
        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Orang lain
Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis yang mencoba menjawab misteri keberadaan, The Mystery of Being menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita “The fact is that we can understand ourselves by starting from the other, or from others, and only starting from them.” Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana anda menilai diri saya akan membentuk konsep diri saya.
        Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangi diri kita. S. Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai ialah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain pada dirinya. Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain. Ternyata orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya.
Artinya, harga dirinya sesuai dengan penilaian orang lain terhadap dirinya. Eksperimen lain yang dilakukan Gergen (1965, 1972) menunjang penemuan ini. Pada satu kelompok, subyek-subyek eksperimen yang menilai dirinya dengan baik diberi peneguhan dengan anggukan, senyuman, atau pernyataan mendukung pendapat mereka. Pada kelompok lain, penilaian positif tidak ditanggapi sama sekali. Kelompok pertama menunjukkan peningkatan citra diri yang lebih baik karena mendapat sokongan dari orang lain.
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. George Herbert Mead (1934) menyebut mereka significant others (orang lain yang sangat penting). Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966: 105) menamainya affective others (orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional). Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Senyuman, pujian, penghargaan, pelukan mereka, menyebabkan kita menilai diri kita secara positif.
Ejekan, cemoohan, dan hardikan, membuat kita memandang diri kita secara negatif. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Anda mungkin memasukkan di situ idola anda (bintang film, pahlawan kemerdekaan, tokoh sejarah atau orang yang anda cintai diam-diam).


      Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya, kakak-kakaknya, tetangganya, gurunya dan sahabat-sahabatnya. Semuanya memandang Minah sebagai gadis yang nakal. Minah berpikir, “Saya nakal.” Ia menilai dirinya sesuai dengan persepsi orang lain (yang significant dan tidak) tentang dirinya. Pandangan diri anda tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap anda disebut generalized others. Konsep ini juga berasal dari George Herbert Mead. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Bila saya seorang ibu, bagaimanakah ibu memandang saya. Jika saya seorang guru, bagaimana guru memandang saya. Mengambil peran sebagai ibu, sebagai ayah, atau sebagai generalized others disebut role taking. Role taking amat penting artinya dalam pembentukan konsep diri.
Human Relation membahas pengertian serta aspek praktik mengenai hubungan yang manusiawi sebagai dasar dalam melakukan komunikasi kehumasan dengan memahami falsafah dasar human relations serta faktor-faktor penting yang harus dilakukan dalam human relations. Human Relation juga membahas tentang hubungan kemanusiaan, faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antarmanusia, komunikasi interpersonal, komunikasi manajemen, penyelesaian masalah dalam hubungan antar pegawai.
Kegiatan human relation berupa saling perhatian, perbedaan individu, motivasi dan harga diri kurang memuaskan karyawan, tetapi hal tersebut tidak mengakibatkan rendahnya mutu kerja, tanggung jawab dan hasil kerja karyawan terhadap pekerjaannya. Human relation menangani masalah dengan cara berinteraksi dengan setiap orang lain. Seringkali, keberhasilan perusahaan tergantung pada seberapa baik orang dapat bekerja bersama-sama. Menangani keluhan pelanggan dan perbedaan dengan personil senior bank dalam upaya menyelesaikan masalah dengan segera. Basa-basi sangat baik untuk mempertimbangkan dalam Human relation.
Pada kenyataannya, manusia di samping karena kodratnya sebagai makhluk sosial, zoon politicon. Juga senantiasa mengembangkan akan pemikirannya. Keadaan mana akan menimbulkan hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam membangun sebuah komunikasi yang efektif, banyak faktor yang menjadi pendukungnya, antara lain media, waktu penyampaian, dan pilihan dan susunan kata. Namun, yang paling mendasar adalah seberapa jauh pesan yang disampaikan menyentuh emosi si penerima sehingga ia bergerak sejalan dan selaras dengan isi pesan yang disampaikan, terutama bila kondisi dalam suatu hubungan industrial telah mencapai ‘Lampu Kuning’ atau bahkan ‘Lampu Merah’.
Komunikasi yang efektif perlu dilandasi dengan hubungan baik, adanya manfaat bagi semua pihak, terjadinya diskusi terbuka, menghindari tindakan emosional, mengutamakan sifat sabar, banyak mendengarkan dan selalu berbesar hati terhadap perbedaan atau tekanan, dan menghindari ungkapan ingin menang sendiri. Sehingga tidak akan terjadi suatu konflik. Meski menurut pandangan kaum “human relations” suatu konflik adalah sesuatu gejala yang biasa (natural) dan tidak dapat dihindari dari setiap kelompok.

Beberapa teori hubungan antarmanusia:
1. Teori Self Disclosure
Pencetus teori ini adalah Joseph Luft. Sering disebut teori “Johari Window” atau Jendela Johari. Para pakar psikologi kepribadian menganggap bahwa model teoritis yang dia ciptakan merupakan dasar untuk menjelaskan dan memahami interaksi antarpribadi secara manusiawi. Garis besar model teoritis Jendela Johari dapat dilihat dalam uraian berikut ini.


Saya tahu Saya tidak tahu
Orang lain tahu 1. TERBUKA 2. BUTA
Orang lain tidak tahu 3. TERSEMBUNYI 4. TIDAK KENAL
Jendela Johari terdiri dari 4 bingkai. Masing-masing bingkai berfungsi menjelaskan bagaimana tiap individu bisa memahami diri sendiri maka dia bisa mengendalikan sikap dan tingkah lakunya di saat berhubungan dengan orang lain.
v    Bingkai 1, menunjukkan orang yang terbuka terhadap orang lain. Keterbukaan itu disebabkan dua pihak (saya dan orang lain) sama-sama mengetahui informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan lain-lain. Johari menyebutnya “bidang terbuka”, suatu bingkai yang paling ideal dalam hubungan dan komunikasi antar pribadi.
v    Bingkai 2, adalah bidang buta. “Orang Buta” merupakan orang yang tidak mengetahui banyak hal tentang dirinya sendiri namun orang lain mengetahui banyak hal tentang dia.
v    Bingkai 3, disebut “bidang tersembunyi” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal diketahui diri sendiri namun tidak diketahui orang lain.
v    Bingkai 4, disebut “bidang tidak dikenal” yang menunjukkan keadaan bahwa pelbagai hal tidak diketahui diri sendiri dan orang lain.

Model Jendela Johari dibangun berdasarkan 8 asumsi yang berhubungan dengan perilaku manusia. Asumsi-asumsi itu menjadi landasan berpikir para kaum humanistik.
§        Asumsi pertama, pendekatan terhadap perilaku manusia harus dilakukan secara holistik. Artinya kalau kita hendak menganalisa perilaku manusia maka analisis itu harus menyeluruh sesuai konteks dan jangan terpenggal-penggal.
§        Asumsi kedua, apa yang dialami seseorang atau sekelompok orang hendaklah dipahami melalui persepsi dan perasaan tertentu meskipun pandangan itu subjektif.
§        Asumsi ketiga, perilaku manusia lebih sering emosional bukan rasional. Pendekatan humanistik terhadap perilaku sangat menekankan betapa pentingnya hubungan antara faktor emosi dengan perilaku.
§        Asumsi keempat, setiap individu atau sekelompok orang sering tidak menyadari bahwa tindakan-tindakannya dapat menggambarkan perilaku individu atau kelompok tersebut. Oleh karena itu, para pakar aliran humanistik sering mengemukakan pendapat mereka bahwa setiap individu atau kelompok perlu meningkatkan kesadaran sehingga mereka dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.

2. Social Judgement Theory (Teori Pertimbangan Sosial)
Teori ini dikembangkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog dari Oklahoma University AS (Barker, 1987). Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi.
Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek sosial tersebut menerut Sherif berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki seseorang. Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya menjadi ”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Lebih jauh Sherif menegaskan bahwa tindakan memosisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah proses persepsi. Di sini kita menimbang setiap gagasan baru yang menerpa kita dengan cara membandingkannya dengan sudut pandang kita saat itu.



Lalu apa rujukan yang menjadi sudut pandang seseorang dalam menilai suatu pesan?
Menurut Sherif ada tiga rujukan yang digunakan seseorang untuk merespons suatu stimulus yang dihadapi. Ketiganya merupakan bagian yang saling terkait. Yang pertama disebut latitude of acceptance (rentang atau wilayah penerimaan) yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masih dapat diterima dan ditoleransi.  Bagian kedua disebut latitude of rejection (rentang penolakan) yang mencakup pendapat atau gagasan-gagasan yang kita tolak karena bertentangan dengan kerangka rujukan kita (sikap dan keyakinan), dan yang terakhir disebut latitude of noncommitment (rentang ketidakterlibatan) yang terdiri dari pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan tidak kita terima. Dalam rentang ketidakterlibatan ini kita tidak memiliki opini apa-apa sehingga bersifat netral terhadap pokok permasalahan yang ada.
Disamping ketiga konsep pokok diatas, masih ada satu konsep penting lainnya dari teori yang disebut ego-involevement yakni derajat yang menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang.   
        Meskipun tiga konsep ”latitude” yang dikemukan teori pertimbangan sosial sudah cukup memadai dalam menjelasakan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap pesan-pesan persuasif namun derajat penting tidaknya suatu stimulus (ego-involvement) akan turut menentukan sejauhmana seseorang dapat dipengaruhi. Dengan kata lain makin berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi.
       Dalam teori ini juga dijelaskan adanya dua macam efek yang timbul akibat proses menilai atau mempertimbangkan pesan yakni efek asimilasi (assimilation effect) dan efek kontras (contrast effect). Efek asimilasi terjadi ketika seseorang menempatkan sebuah pesan persuasif dalam rentang penerimaan dan pesan-pesan tersebut mendekati pernyataan patokan (kerangka rujukan) yang ada. Karena pesan tersebut mendekati pernyatan patokan, maka pesan tersebut akan diasimilasi atau dianggap mirip dengan patokan yang ada dan dijadikan satu kelompok. Asimilasi ini merupakan efek gelang karet, dimana setiap pernyataan baru dapat ”ditarik” mendekati pernyatan patokan sehingga tampak menjadi lebih dapat diterima daripada keadaan sebenarnya. Orang yang menjadi sasaran persuasi akan menilai pesan atau pernyataan tersebut tampak sejalan dengan patokannya.
        Pernyataan yang berada dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda (kontras) dan bertentangan dengan pernyataan patokan meskipun sebenarnya perbedaan tersebut tidak terlalu jauh. Karena kita memperbesar perbedaan maka sebuah pesan yang seolah-olah bertentangan sepenuhnya dengan patokan yang ada. Akhirnya pesan tersebut kita tolak.

Asumsi-Asumsi Pokok/Konsep
Asumsi-asumsi pokok dalam social judgement theory (Teori pertimbangan sosial) adalah:
1.     Latitude of acceptance (rentang atau wilayah Penerimaan)
Proses pertimbangan di atas menurut Sherif & Hovland (1961) berlaku baik untuk pertimbangan fisik (misalnya; berat) maupun pengukuran sikap. Walaupun demikian ada 2 perbedaan antara pertimbangan terhadap situasi fisik yang bersifat obyektif dengan sikap. Dalam sikap, individu sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu obyek dan ini mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap obyek tersebut. Kedua, pertimbangan sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain, padahal dalam pertimbangan fisik tidak terdapat variasi yang terlalu besar.
Perbedaan-perbedaan atau variasi antara individu ini mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang (latitude), Garis lintang penerimaan (latitude of acceptance) adalah rangkaian posisi sikap diterima atau ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan (latitude of rejection) adalah rangkaian posisi sikap yang tidak dapat diterima oleh individu. Garis lintang ketidakterlibatan (latitude of noncommitment) adalah posisi-posisi yang tidak termasuk dalam dua garis lintang yang pertama. Jadi individu tidak menerima, tetapi juta tidak menolak, acuh tak acuh.
Interaksi antara garis-garis lintang inilah yang akan menentukan sikap individu terhadap pernyataan-pernyataan tertentu dalam situasi tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh pada garis lintang penerimaan, maka individu akan setuku dengan pernyataan itu. Jika pernyataan itu jatuh ke garis lintang penolakan, individu tersebut akan tidak menyetujuinya.

2. Latitute of rejection (rentang Penolakan)
Jika seseorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau diterimanya.
Makin terlibat individu itu, maka ambang penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang penolakan makin rendah, sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini makin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa banyak pun dia anggap perlu.

 3. Latitute of noncommitment (rentang keterlibatan)
Komunikasi, menurut Sherif & Hovland, bisa mendekatkan sikap individu dengan sikap-sikap orang lain, tetapi bisa juga malah makin menjauhkannya. Hal ini tergantung dari posisi awal individu tersebut terhadap posisi individu-individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan lebih memperjelas persamaan-persamaan antara mereka dan dekatnya posisi mereka sehinga terjadilah pendekatan-pendekatan.
Tetapi sebaliknya, jika posisi awal sudah saling berjauhan, maka komunikasi malah akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjauh. Dengan perkataan lain, jika seseorang terlibat dalam situasi isu, maka posisinya sendiri akan dijadikannya patokan. Terhadap sikap-sikap yang tidak jauh dari posisinya sendiri ia akan menilai ; cukup beralasan, dapat dimengerti dan sebagainya.
Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati posisi-posisi lain tersebut. Sebaliknya, posisi-posisi yang jauh akan dinilai tidak beralasan, kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap dilakukan komunikasi, maka akan terjadi efek bumerang dari komunikasi itu, yaitu posisi-posisi dari sikap-sikap itu malah akan makin menjauh.

Aplikasi
1.     Melukiskan bagaimana teori pertimbangan sosial bekerja, perhatikan sebuah eksperiman menarik yang dilakukan oleh sekelompok peneliti tidak lama sesudah Oklahoma mengeluarkan sebuah hukum pelarangan pada tahun 1950-an. Para peneliti itu merekrut sejumlah orang yang sangat terlibat dalam masalah tersebut pada satu sisi atau sisi lainnya, dan sejumlah orang yang keterlibatannya dalam masalah itu sedang-sedang atau sedikit saja. Mereka menemukan bahwa mereka yang keterlibatan egonya besar dan ekstrim pendapatnya memiliki rentang penolakan yang lebih jauh lebih besar daripada mereka yang keterlibatan egonya sedang-sedang saja, dan para subyek yang sedang-sedang saja tadi memiliki rentang non komitmen yang jauh lebih besar ketimbang mereka yang pendapat ekstrim. Menariknya, ketika diberi pesan moderat yang sama, mereka yang ekstrim menilainya sebagai sesuatu yang jauh lebih ke arah sisi non pelarangan dibanding subyek-subyek lain, sebaliknya mereka lebih ”lunak” menilainya lebih mengarah pada sisi pelarangan ketimbang subyek-subyek lainnya. Dengan kata lain, kedua kelompok yang berlawanan tersebut memuat sebuah efek tentangan. Secara umum perubahan sikap yang dialami oleh mereka yang sedang-sedang saja setelah mendengar pesan tentang masalah tersebut mengalami perubahan sikap yang kira-kira dua kali lebih besar daripada mereka yang sangat terlibat dalam masalah itu.
2.     Rentang penerimaan dan penolakan seseorang dipengaruhi oleh sebuah variabel kunci keterlibatan ego. Keterlibatan ego adalah tingkat relevansi personal dari suatu masalah. Ini adalah tingkatan sejauh mana sikap seseorang terhadap sesuatu masalah mempengaruhi konsep diri, atau tingkat penting yang diberikan pada masalah itu. Sebagai contoh, anda mungkin sudah banyak membaca tentang penipisan lapisan ozon dan sudah mempercayai bahwa ini adalah sebuah masalah serius. Jika anda belum mengalami kesulitan pribadi apapun akibat masalah ini, ia mungkin tidak penting bagi anda, karena keterlibatan ego anda rendah. Di lain pihak, jika anda sudah pernah dirawat akibat kanker kulit, masalah ini akan jauh lebih melibatkan ego. Keterlibatan ego membuat perbedaan besar dalam hal bagaimana anda merespon pesan-pesan yang berhubungan dengan sebuah topik. Meskipun anda mungkin akan memiliki sebuah pendapat yang lebih ekstrim tentang topik-topik di mana ego anda terlbat, bukan selalu demikian halnya. Anda bisa mempunyai pendapat yang biasa-biasa saja dan tetap melibatkan ego.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI