BERBAGAI IMPLIKASI MASING-MASING POSISI PARADIGMA TERHADAP MASALAH-MASALAH PRAKTIS PILIHAN (Penjelasan baris-baris pada table berikut ini)
Masalah
|
Positivisme
|
Post-Positivisme
|
Teori Kritis
dkk.
|
Konstruktivisme
|
(Baris 1)
Tujuan Penelitian
|
Penjelasan: Prediksi dan
Kontrol.
|
Kritik dan Transformasi:
pemulihan dan emansipasi.
|
Pemahaman: Rekonstruksi.
|
|
Apakah maksud atau
tujuan penelitian?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
§ Untuk kedua
paradigm ini tujuan penelitian adalah menjelaskan (Von Wright, 1971), yang
pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena,
apakah benda-benda fisik atau manusia. Sebagaimana pandangan Hesse (1980),
criteria kemajuan puncak dalam paradigm ini adalah bahwa kemampuan “ilmuwan”
untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari
waktu ke waktu.
§ Perlu
dicermati reduksionisme dan determinisme yang diisyaratkan oleh posisi ini.
Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”, sebuah situasi yang tampaknya
memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi justru tidak layak, bagi
seorang peneliti.
|
Teori Kritis.
§ Tujuan
penelitian adalah kritis dan transformasi struktur social, politik, budaya,
ekonomi, etnis dan gender yang mengekang serta menindas umat manusia, melalui
keterlibatan dalam upaya perlawanannya, bahkan konflik.
§ Kriteria
kemajuannya adalah bahwa pemulihan dan emansipasi sebaiknya terjadi dan terus
berlangsung sepanjang waktu. Advokasi dan aktivisme merupakan konsep utama.
§ Peneliti
terposisikan dalam peran pendorong dan fasilitator, yang menyiratkan bahwa
peneliti secara apriori memahami apa saja transformasi yang diperlukan.
§ Namun, kita
perlu mencatat bahwa sejumlah pendirian yang lebih radikal di kalangan
kritikus berpendapat bahwa penilaian tentang transformasi apa yang diperlukan
harus dikhususkan bagi orang-orang yang hidupnya paling terpengaruh oleh
transformasi, yakni para partisipan penelitian itu sendiri (Lincoln, dalam
proses penerbitan).
|
Konstruktivisme.
§ Tujuan
penelitian adalah untuk memahami dan merekonstruksi berbagai konstruksi yang
sebelumnya dipegang orang (termasuk peneliti), yang berusaha kea rah
consensus namun masih terbuka bagi interpretasi baru seiring dengan
perkembangan informasi dan kecanggihan.
§ Kriteria
kemajuannya adalah bahwa seiring dengan perjalanan waktu, setiap orang akan
merumuskan konstruksi yang lebih matang dan canggih dan semakin menyadari isi
dan makna dari berbagai konstruksi yang bersaing.
§ Advokasi dan
aktivisme juga merupakan konsep utama dalam pandangan ini.
§ Dalam proses
ini peneliti terposisikan dalam peran partisipan dan fasilitator, sebuah
posisi yang dikritik oleh sejumlah kritikus berdasarkan alasan bahwa posisi
tersebut melebarkan peran peneliti hingga melampaui batas-batas rasional
keahlian dan kompetensinya (Carr & Kemmis, 1986).
|
|
(Baris 2)
Sifat Ilmu Pengetahuan
|
Hipotesis yang sahih
dikembangkan menjadi fakta atau hukum.
|
Hipotesis yang tak dapat
difalsifikasi yang berpeluang menjadi fakta atau hukum
|
Wawasan
structural/historis.
|
Berbagai rekonstruksi
individual bersatu membentuk consensus.
|
Apakah yang menjadi
sifat ilmu pengetahuan?
|
Postivisme.
Pengetahuan
terdiri atas berbagai hipotesa yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai
fakta atau hukum.
|
Post-Positivisme.
Pengetahuan
terdiri atas berbagai hipotesis yang tak dapat digugurkan dan dapat dipandang
sebagai fakta atau hukum yang mungkin.
|
Teori Kritis.
§ Pengetahuan
terdiri atas sekumpulan wawasan structural/historis yang hendak
ditransformasikan seiring berjalannya waktu.
§ Transformasi
terjadi ketika ketidaktahuan dan kesalahpahaman memunculkan pemahaman/wawasan
yang lebih matang melalui interaksi dialektis.
|
Konstruktivisme.
§
Pengetahuan terdiri atas berbagai konstruksi
yang memiliki consensus relatif (atau sekurang-kurangnya gerakan tertentu
menuju consensus) di antara pihak-pihak yang berkompeten (dan, dalam kasus
yang berkaitan dengan bahan-bahan penelitian yang bersifat rahasia,
dipercaya) untuk menginterpretasikan isi konstruksi.
§
Bermacam-macam “pengetahuan” dapat hadir bersama
ketika para penafsir yang sama-sama kompeten (yang dipercaya) tidak
sependapat, dan/atau bergantung pada factor-faktor social, politik, budaya,
ekonomi, etnis, dan gender, yang membedakan para penafsirnya.
§
Berbagai konstruksi ini tunduk pada revisi yang
berkelanjutan, dengan perubahan yang hampir bisa dipastikan terjadi ketika
konstruksi yang secara relatif berbeda ditempatkan di dalam posisi sejajar
dalam sebuah konteks dialektis.
|
(Baris 3)
Akumulasi Pengetahuan
|
Pertambahan—“bahan-bahan
pembangunan” yang menyempurnakan “bangunan pengetahuan”: generalisasi dan
hubungan sebab-akibat.
|
Revisiniosme historis:
generalisasi melalui similaritas.
|
Rekonstruksi yang lebih
matang dan canggih: pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri.
|
|
Bagaimana ilmu
pengetahuan mengalami akumulasi?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
§
Ilmu pengetahuan berakumulasi melalui proses
pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin)
berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang, ketika ditempatkan dalam
posisinya yang sesuai, menyempurnakan “bangunan pengetahuan” yang terus
tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat,
maka fakta terseut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan
mengendalikan.
§
Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat,
dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan, untuk populasi setting.
|
Teori Kritis.
§ Pengetahuan
tidak berakumulasi dalam pengertian mutlak; melainkan tumbuh dan berubah
melalui proses revisi historis yang berlangsung secara dialektis yang secara
berkelanjutan mengikis ketidaktahuan dan kesalahpahaman serta meningkatkan
pemahaman yang lebih matang.
§ Generalisasi
dimungkinkan bila campuran lingkungan
dan nilai-nilai social, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender
mirip/sama di seluruh setting.
|
Konstruktivisme.
§ Pengetahuan
berakumulasi hanya dalam satu penegrtian relatif melalui pembentukkan
berbagai konstruksi yang semakin matang dan canggih melalui proses
hermeneutis/dialketis, seiring dengan berbagai macam konstruksi yang
diletakkan dalam posisi sejajar.
§ Satu
mekanisme penting untuk memindahkan ilmu pengetahuan dari satu setting ke setting
yang lain adalah modal pengalaman sendiri, yang sering kali diperoleh melalui
laporan-laporan studi kasus 9lihat Stake, Bab 14, buku ini).
|
|
(Baris 4)
Kriteria Baik-Buruknya
atau Kualitas
|
“Keketatan” sebagai
standar konvensional: Validitas Internal dan Eksternal, Reliabilitas dan
Objektivitas.
|
Keterposisian historis:
lenyapnya ketidaktahuan stimulus tindakan.
|
Layak dipercaya dan
keontetikan serta kesalahpahaman.
|
|
Apakah criteria yang
layak dipakai untuk menilai kebaikan atau kualitas sebuah penelitian?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
§ Kriteria yang
layak adalah standar “keketatan” konvensional: validitas internal
(Isomorfisme/kesesuaian hasil penelitian dengan realitas), validitas
eksternal (sifat dapat digeneralisasi), realibilitas (dalam pengertian
stabilitas), dan objektivitas (peneliti yang menjaga jarak dan bersikap
netral).
§ Criteria ini
bergantung pada posisi Ontologis Realitis; tanpa asumsi, isomorfisme hasil
penelitian dengan realitas tidak memiliki makna apa-apa, sifat dapat
digeneralisasi yang ketat untuk populasi orang tua adalah tidak mungkin,
stabilitas tidak dapat ditetapkan untuk penelitian pada suatu fenomena jika
fenomenanya sendiri dapat berubah, dan objektivitas tidak dapat dicapai
karena tidak ada sesuatu pun yang dapat dijauhi atau diambil “jarak” darinya.
|
Teori Kritis.
Kriteria
yang layak adalah keterposisian historis penelitian (artinya; criteria
tersebut mempertimbangkan gejala awal social, politik, budaya, ekonomi,
etnis, dan gender dari situasi yang diteliti), batas yang memungkinkan
tindakan penelitian dalam mengikis ketidaktahuan dan kesalahpahaman, dan
batas yang dapat dijangkaunya untuk menciptakan stimulus yang mendorong
dilakukannya tindakan, yakni; mengubah struktur yang ada.
|
Konstruktivisme.
§ Dua kumpulan
criteria telah diajukan: criteria kelayakan kredibilitas (sejalan dengan
validitas internal), sifat dapat dipindahkan (sama dengan validitas
eksternal), dependabilitas (mirip dengan reliabilitas), dan komfirmabilitas
(mirip objektivitas) (Guba; 1981; Lincoln & Cuba, 1985);
§ dan criteria
keontentikan kewajaranm keotentikan Ontologis (memperbesar konstruksi
personal), keotentikan edukatif (mengarah pada pemahaman yang lebih baik
tentang berbagai konstruksi orang lain), keotentikan katalitis (menimbulkan stimulus terhadap
tindakan), dan keotentikan taktis (memberdayakan tindakan) (Guba &
Lincoln, 1989).
§ Kriteria yang
pertama menggambarkan usaha awal untuk memecahkan persoalan kualitas bagi
konstruktivisme; meskipun criteria ini telah diterima dengan baik, namun
kemiripannya dengan criteria positivis menjadikannya diragukan.
§ Criteria yang
kedua mengalami tumpang tindih, hingga kadar tertentu, dengan kumpulan
criteria teori kritis namun berhasil melampauinya, terutama keotentikan
Ontologis dan keotentikan edukatif.
§ Meskipun
demikian, isu tentang criteria kualitas dalam konstruktivisme belum
terpecahkan dengan baik, sehingga kritis selanjutnya masih dibutuhkan.
|
|
(Baris 5)
Nilai
|
Tidak Tercakup—pengaruh
ditolak.
|
Tercakup—berciri
formatif.
|
||
Apakah peran nilai dalam
penelitian?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
§ Dalam dua
paradigma ini nilai secara spesifik dikesampingkan; sebenarnya, kedua
paradigm diklaim sebagai yang “bebas nilai” berdasarkan sikap
epistemologisnya.
§ Nilai
dipandang sebagai variable yang mengacaukan yang tidak boleh memegang peran
dalam suatu penelitian yang diduga objektif (bahkan ketika objektifvitas,
dalam kasus Post-Positivisme, tiada lain kecuali merupakan cita-cita
pemandu).
|
Teori Kritis dan
Konstruktivisme.
§ Nilai dalam
kedua paradigm ini menempati posisi penting; nilai dipandang sebagai sesuatu
yang tak bisa dihindari dalam membentuk (dalam kasus konstruktivisme,
menciptakan) hasil-hasil penelitian.
§ Selain itu,
sekalipun memungkinkan, tindakan mengesampingkan nilai tentulah tidak akan
didukung.
§ Tindakan
mengesampingkan nilai berlawanan dengan kepentingan audiens yang lemah dan
“rentan,” yang konstruksi aslinya (Emik) layak memperoleh pertimbangan yang
sama dengan audiens dan peneliti (Etik) yang lebih berkuasa.
§ Konstruktivisme,
yang memandang peneliti sebagai pelaksana dan fasilitator proses penelitian,
lebih berpeluang member penekanan pada poin ini dari pada teori kritis, yang
cenderung menyeret peneliti ke dalam peran yang lebih otoritatif.
|
||
(Baris 6)
Etika
|
Ekstrinsik; cenderung
menipu.
|
Instrinsik; kecondongan
moral ke arah ilham (bimbingan gaib).
|
Instrinsik; proses yang
condong kea rah penyingkapkan rahasia; persoalan-persoalan khusus.
|
|
Apakah fungsi dan peran
etika dalam penelitian?
|
Positivisme dan Post-Positivisme.
§ Dalam dua
paradigma ini etika merupakan pertimbangan penting dan diperhatikan secara
serius oleh para peneliti, namun dalam proses penelitian itu sendiri etika
masih berciri instrinsik.
§ Oleh
karenanya, perilaku etis secara formal diawasi oleh mekanisme eksternal,
misalnya; kode etik professional dan dewan pengawas hak-hak manusia.
§ Disamping
itu, Ontologi realis yang mendasari kedua paradigm ini condong ke arah
penggunaan muslihat, yang dalam kasus-kasus tertentu dipandang, dibenarkan
untuk menetapkan bagaimana “keadaan segala sesuatu itu sesungguhnya dan
bagaimana pula cara kerjanya yang sesungguhnya” atau demi “kepentingan social
yang lebih tinggi” atau “kebenaran yang lebih terang” (Bok, 1978, 1982;
Diener & Crandall, 1978).
|
Teori Kritis.
§ Etika hampir
lebih berciri intrinsic bagi paradigm ini, sebagaimana yang tersirat melalui
kesungguhan untuk menghilangkan keetidaktahuan dan kesalahpahaman serta
mempertimbangkan sepenuhnya nilai dan keterposisian historis dalam proses
penelitian.
§ Dengan
demikian ada kecenderungan moral bahwa peneliti menjadi penyingkap misteri
(menurut makna ketat “persetujuan yang setulusnya”) bukannya penipu.
§ Tentu saja
berbagai pertimbangan ini tidak mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis,
namun memang memunculkan penghambat proses tertentu sehingga lebih
mempersulit perilaku tak etis tersebut.
|
Konstruktivisme.
§ Etika juga
merupakan hal yang intrinsic pada paradigma ini karena penyertaan nilai-nilai
partisipam dalam penelitian (mulai dengan berbagai konstruksi responden yang
sudah ada dan bergerak kea rah peningkatan kematangan dan kecanggihan
konstruksinya sekaligus konstruksi peneliti).
§ Ada suatu
dorongan –-kecenderungan proses—ke arah penyingkapan rahasia; tindakan
menyembunyikan maksud peneliti sungguh berbahaya bagi tujuan penyingkapan dan
pengembangan konstruksi.
§ Tambahan
lagi, metodologi hermeneutis/dialektis itu sendiri memberikan pelindung yang
kuat, namun tidak kebal untuk mencegah muslihat.
§ Tetapi
interaksi pribadi yang akrab yang dituntut oleh metodologi bisa jadi
memunculkan berbagai persoalan khusus dan sering kali rumit menyangkut
kerahasiaan dan anominitas, di samping berbagai kesulitan antarpribadi
lainnya (Guba & Lincoln, 1989).
|
|
(Baris 7)
Suara
|
“Ilmuwan yang tak
memihak” sebagai penasehat pembuat kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku
perubahan.
|
“Intelektual
transformative” sebagai pembela dan aktivis.
|
“Partisipan yang penuh empati dan gairah” sebagai
fasilitator bagi rekonstruksi multi-pesan.
|
|
“Suara” apakah yang
disorot dalam aktivitas peneliti, terutama aktivitas yang diarahkan menuju
perubahan?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
Suara
peneliti adalah suara “Ilmuwan yang tak memihak” yang member masukan bagi
para pengambil keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan, yang secara
bebas menggunakan informasi ilmiah ini, sekurang-kurangnya sebagian, untuk
membentuk, menjelaskan, dan menjustifikasi berbagai tindakan, kebijakan dan
proposal perubahan.
|
Teori Kritis.
Suara
peneliti adalah suara “Intelektual Transformatif” (Giroux, 1988) yang telah
memperluas kesadarannya sehingga berada dalam posisi yang siap untuk melawan
ketidaktahuan dan kesalahpahaman. Perubahan menjadi mudah seiring dengan
upaya pengembangan wawasan yang lebih besar tentang seluk-beluk persoalan
yang ada dan dilakukan oleh individu-individu (alam dan batas ekploitasi
terhadapnya) dan yang terdorong untuk menyelesaikannya.
|
Konstruktivisme.
Suara
peneliti adalah suara “partisipan yang penuh empati/semangat” (Lincoln, 1991)
yang secara aktif terlibat dalam upaya mempermudah rekonstruksi “multi-pesan”
konstruksinya sendiri, demikian pula dengan rekonstruksi multi-pesan dan
partisipan yang lain. Perubahan menjadi mudah seiring dengan terbentukknya
rekonstruksi dan individu-individu didorong untuk memecahkannya.
|
|
(Baris 8)
Pelatihan
|
Teknis dan Kuantitaf;
teori-teori substantive.
|
Teknik; Kuantitatif dan
Kualitatif; Teori-Teori Substantif.
|
Sosialisasi ulang;
kualitatif dan kuantitatif; sejarah; nilai-nilai altruism dan pemberdayaaan.
|
|
Apa saja implikasi
masing-masing paradigm terhadap pelatihan para peneliti baru?
|
Positivisme.
Para
peneliti baru dilatih terutama menyangkut pengetahuan teknis tentang
pengukuran, desain, dan berbagai metode kuantitatif, dengan penekanan penting
atas teori-teori formal tentang fenomena dalam kekhususan substantifnya.
|
Post-Positivisme.
Para
peneliti baru dilatih dengan cara-cara yang mirip dengan gaya kaum positivis,
namun dengan penambahan berbagai metode kualitatif, sering kali untuk tujuan
memecahkan aneka persoalan yang dipaparkan dalam paragraph awal bab buku
Denzin & Lincoln ini.
|
Teori Kritis dan
Konstruktivisme.
§ Pertama-tama
para peneliti baru harus diperkenalkan ulang dengan “pandangan ilmu
pengetahuan yang diterima” yang telah mereka alami secara intens sebelumnya.
§ Pengenalan
ulang tersebut tidak dapat dilakukan tanpa pembelajaran total tentang
berbagai sikap dan teknik yang berlaku pada positivisme dan post-positivisme.
§ Calon
peneliti harus menghargai berbagai perbedaan paradigm (lihat kembali table
6.1) dan, dalam konteks tersebut, menguasai metode kualitatif sekaligus
kuantitatif.
§ Yang pertama
(metode kualitatif) sangat penting karena perannya dalam melaksanakan
metodologis dialogis/dialektis atau hermeneutis/dialektis; yang kedua (metode
kuantitatif) karena dapat memainkan peran informasional yang sangat berguna
dalam seluruh paradigm.
§ Mereka juga
harus dibantu memahami sejarah dan struktur social, politik, budaya, ekonomi,
etnis, dan gender yang berperan selaku lingkungan/konteks bagi penelitian
mereka, dan untuk menyertakan nilai-nilai altruism dan pemberdayaan ke dalam
penelitian mereka.
|
|
(Baris 9)
Akomodasi
|
Sepadan.
|
Tidak sepadan.
|
||
Apakah berbagai paradigm
di atas selalu mengalami konflik? Apakah mungkin untuk menyatukan pandangan
yang berbeda-beda ini ke dalam satu kerangka konseptual tunggal?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
Para
penganut dua paradigm ini, dengan mempertimbangkan orientasi fundamental
mereka, berpandangan bahwa semua paradigm dapat diakomodasi—artinya, bahwa
terdapat, atau yang akan ditemukan ada, struktur rasional umum tertentu yang
dapat dijadikan sebagai rujukan solusi bagi seluruh pertanyaan tentang
perbedaan. Sikap tersebut merupakan sikap reduksionis dan mengasumsikan
dimungkinkannya perbandingan butir demi butir (kesepadanan), sebuah persoalan
yang terus-menerus memicu banyak perselisihan paham.
|
Teori Kritis dan
Konstruktivisme.
§ Para penganut
dua paradigm ini sama-sama menegaskan ketidaksepadanan dasar antar-paradigma
(meskipun mereka setuju bahwa positivisme dan post-positivisme bisa
disepadankan, dan kemungkinan juga setuju bahwa teori kritis dan
konstruktivisme bisa disepadankan).
§ Kepercayaan
dasar dari paradigm-paradigma tersebut diyakini secara eesensial saling
bertentangan.
§ Bagi kaum
konstruktivis, bahwa ada realitas yang “nyata” atau bisa juga tidak (meskipun
seorang peneliti ingin menyelesaikan masalah ini secara berbeda dalam
mempertimbangkan dunia fisik versus dunia manusia), dan karenanya
konstruktivisme dan positivisme/post-post-positivisme secara logika tidak
dapat diakomodasi lebih dari, katakanlah, dapat diakomodasikannya gagasan
tentang rumah (flat) versus bumi yang bulat secara logika. Bagi apar ahli
teori kritis dan kaum konstruktivis, penelitian bisa jadi bebas nilai dan
juga tidak; sekali lagi, akomodasi logis tampaknya hal yang tak mungkin.
§ Realisme dan
relativisme, kebebasan nilai dan keterikatan nilai, tidak dapat hadir bersama
dalam suatu system metafisis yang konsisten secara internal, yang syarat
onsistensinya, katanya, pada dasarnya dipenuhi oleh masing-masing calon
paradigm. Pemecahan dilemma ini secara otomatis menunggu munculnya
metaparadigma yang memandang paradigm lama, paradigm yang terakomodasi
bukannya kurang benar, semata-mata tidak relevan.
|
||
(Baris 10)
Hegemoni
|
Pengatur publikasi,
pendanaan, promosi, dan jabatan.
|
Mencari pengakuan dan masukan.
|
||
Paradigm manakah yang
memegang hegemoni atas paradigm yang lain? Yaitu, manakah yang lebih besar
pengaruhnya?
|
Positivisme dan
Post-Positivisme.
§ Para penganut
positivisme memegang hegemni selama beberapa abad yang lalu seiring dengan
dikesampingkannya paradigm Aristotelian awal dan paradigm teologis. Namun
jubah hegemoni tersebut pada dasawarsa belakangan ini secara gradyal telah
berpindah ke pundak kaum Post-Positivis, pewaris “alami” Positivisme.
§ Kaum Post-Positivisme (dan sesungguhnya
sisa-sisa kaum Postivis) cenderung mengendalikan saluran publikasi,
sumber-sumber pendanaan, mekanisme promosi dan jabatan, dawn pakar untuk
disertasi, dan sumber-sumber lain kekuasaan dan pengaruh.
§ Mereka,
sekurang-kurangnya hingga 1980-an, merupakan kelompok “dalam,” dan terus
mewakili suara yang paling kuat dalam mengambil keputusan professional.
|
Teori Kritis dan
Konstruktivisme.
§ Para penganut
teori kritis dan konstruktivisme masih mencari pengakuan dan sumber masukan
dana.
§ Sepanjang dasawarsa lalu, semakkin m
emungkinkan bagi mereka untuk memperoleh dukungan, seperti yang dibuktikan
dengan bertambahnya jumlah makalah penting yang masuk ke dalam berbagai
jurnal dan pertemuan professional, perkembangan berbagai outlet jurnal baru,
pertumbuhan akseptabilitas berbagai disertasi “kualitatif”, penyertaan
berbagai pedoman “kualitatif” oleh sejumlah lembaga dan program pendanaan,
dan semacamnya.
§ Namun, dengan
semua peluangnya, teori kritis dan konstruktivisme masih terus memainkan
peran sekunder, meskipun penting dan secara progresif lebih berpengaruh, pada
masa datang yang segera tiba.
|
(Sumber: Denzin &
Lincoln, 2009: 138-139).
Komentar
Posting Komentar