THEORIES OF COMMUNICATION (GROUP AND ORGANIZATION)
|
|||||||||||
BAB.14
|
Groupthink (Groupthink)-- (Irving Janis)
Dalam
teori ini dipaparkan melihat anggota-anggota kelompok mampu untuk menjadi
begitu terikat satu sama lain sehingga mereka gagal mempertanyakan tujuan
atau tugas-tugas kelompok mereka.
Berpartisipasi
dalam kelompok kecil merupakan fakta kehidupan. Baik di sekolah maupun di
tempat kerja, orang sering kali menghabiskan waktu kegiatan mereka di dalam
kelompok. Untuk memahami sifat dasar dari pengambilan keputusan di dalam
kelompok kecil, Irving Janis, di dalam bukunya Victim of Groupthink (1972), menjelaskan apa yang terjadi di
dalam kelompok kecil di mana anggota-anggotanya memiliki hubungan baik satu
sama lain.
Groupthink (pemikiran
kelompok) didefinisikan sebagai suatu cara pertimbangan yang digunakan
anggota kelompok ketika keinginan mereka akan kesepakatan melampaui motivasi
mereka untuk menilai semua rencana tindakan yang ada. Janis berpendapat bahwa
anggota-anggota kelompok sering kali terlibat di dalam sebuah gaya
pertimbangan di mana pencarian consensus (kebutuhan akan semua orang untuk
sepakat) lebih berat dibandingkan akal sehat. Janis yakin bahwa apabila kelompok yang kemiripan antar-anggotanya
tinggi dan memiliki hubungan baik satu sama lain gagal untuk menyadari
sepenuhnya akan adanya pendapat yang berlawanan, ketika mereka menekan
konflik hanya agar mereka dapat
bergaul dengan baik, atau ketika anggota kelompok tidak secara penuh mempertimbangkan
semua solusi yang ada, mereka rentan terhadap groupthink. Ia berpendapat bahwa ketika kelompok sedang berada
dalam groupthink, mereka serta
merta akan terlibat dalam mentalitas “menjaga keharmonisan kelompok” (Janis,
1989, hal. 60).
Hingga
pada titik ini, menciptakan perdamaian lebih penting dari pada membuat
keputusan yang jelas dan sesuai. Janis memfokuskan penelitiannya pada
kelompok pemecahan masalah (problem solving group) dan kelompok yang
berorientasi pada tugas (task-orientation group), yang tujuan utamanya adalah
untuk mengambil keputusan dan memberikan rekomendasi kebijakan. Pengambilan
keputusan merupakan bagian penting dari kelompok-kelompok kecil ini. Kegiatan
kelompok kecil lainnya termasuk pembagian informasi, bersosialisasi,
berhubungan dengan orang serta kelompk di luar kelompok mereka, mendidik
anggota baru, memperjelas peranan, dan bercerita (Frey & Sunwolf, 2005;
Poele & Hirokawa, 1996).
Dengan
mengingat hal ini, berikut akan dibahas tiga asumsi penting yang menuntun
teori ini : (1) terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan
kohesivitas tinggi; (2) Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan
proses yang menyatu; (3) Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok
sering kali bersifat kompleks:
1) Asumsi pertama,
dari Groupthink berhubungan dengan
karakteristik kehidupan kelompok kohesivitas. Terdapat kondisi-kondisi dalam
kelompok yang menyebabkan tingginya tingkat kohesivitas. Ernest Bormann
(1996) mengamati bahwa anggota kelompok sering kali memiliki perasaan yang
sama atau investasi emosional, dan sebagai akibatnya mereka cenderung untuk
mempertahankan identitas kelompok. Kohesivitas (cohesiveness) adalah batas
hingga di mana anggota-anggota suatu kelompok bersedia untuk bekerja bersama.
Ini merupakan rasa kebersamaan dari kelompok tersebut. Kohesi berasal dari
sikap, nilai dan pola perilaku kelompok; kelompok di mana anggota-anggotanya
saling tertarik dengan sikap, nilai dan perilaku anggota lainnya cenderung
dapat dikatakan kohesif.
2) Asumsi kedua,
mempelajari proses pemecahan masalah di dalam kelompok kecil; hal ini
biasanya merupakan kegiatan yang
menyatu. Maksudnya, orang tidak dengan sengaja mengganggu jalannya
pengambilan keputusan dalam kelompok kecil. Para anggota biasanya berusaha
untuk dapat bergaul dengan baik. Dennis Gouran (1998) mengamati bahwa
kelompok-kelompok rentan terhadap batasa afiliatif (affiliative constraints),
yang berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan masukan
mereka daripada mengambil resiko ditolak.
3)
Asumsi
ketiga,
menggarisbawahi sifat dasar dari kebanyakan kelompok pengambilan keputusan
dan kelompok yang berorientasi pada tugas di mana orang-orang biasanya
tergabung, mereka biasanya bersifat kompleks. Dalam mendiskusikan asumsi ini,
kita melihat pada kompleksitas dari kelompok kecil dan kemudian pada
keputusan yang muncul dari kelompok ini. Pertama, anggota kelompok kecil
harus terus menyadari banyaknya alternative yang tersedia bagi mereka dan
mampu untuk membedakan alternative-alternatif ini. Hampir empat puluh tahun
yang lalu, seorang psikolog social
bernama Zajonc (1965) mempelajari hal yang telah disadari oleh kebanyakan
orang; kehadiran orang lain memiliki efek terhadap diri kita. Ia menawarkan
sebuah prinsip sederhana berhubungan dengan kelompok; ketika orang lain ada
di sekitar kita, kita terstimulasi dari dalam, dan hal ini membantu atau
menghalangi kinerja dari suatu tugas. Nickolas Cottrell dan tim penelitinya
(Cottrell, Wack&Sekerak & Rittle, 1968) kemudian mengklarifikasi
penemuan Zajonc dan berpendapat bahwa apa yang mendorong orang pada
penyelesaian tugas adalah mengetahui bahwa seseorang akan dievaluasi oleh
orang lainnya.
Apa
yang ada sebelumnya: Kondisi Pendahulu dari Groupthink.
Janis
(1982) percaya bahwa ada tiga kondisi yang mendorong terjadinya groupthink;
(1) kohesivitas yang tinggi dari kelompok pengambil keputusan; (2)
karakteristik structural spesifik dari lingkungan di mana kelompok ini
bekerja, dan (3) karakteristik internal dan eksternal yang dapat menimbulkan
tekanan dari situasi yang ada.
Kohesivitas
Kelompok.
Kohesivitas
juga merupakan kondisi pendahulu. Salah satu alasan mengapa hal ini dapat
membingungkan adalah karena kohesi berbeda dari satu kelompok dengan kelompok
lainnya, dan tingkat kohesi yang berbeda juga menimbulkan hasil yang berbeda.
Dalam beberapa kelompok, kohesi dapat menuntun pada perasaan positif mengenai
pengalaman kelompok dan anggota kelompok yang lain. Kelompok yang sangat
kohesif mungkin juga akan lebih antusias mengenai tugas-tugas mereka dan
anggotanya merasa dimampukan untuk melaksanakan tugas-tugas tambahan.
Singkatnya, kepuasan yang lebih besar diasosiasikan dengan meningkatnya
kohesivitas. Walaupun terdapat keuntungannya, tetapi kelompok yang sangat
kohesif juga dapat menghasilkan hal yang mengganggu ; groupthink. Janis (1982) brpendapat bahwa kelompok dengan
kohesivitas tinggi memberikan tekanan yang besar pada anggota kelompoknya
untuk mentaati standar kelompok. Janis yakin bahwa ketika kelompok mencapai
tingkat kohesivitas yang tinggi, euphoria ini cenderung mematikan opini dan
alternative lain. Walaupun orang mungkin merasa yakin bahwa mereka dapat
menyadari terjadinya groupthink,
sering kali mereka tidak bisa. Terlalu banyak kohesi dapat di lihat sebagai
suatu kebaikan, bukannya kelemahan.
Faktor
Struktural.
Faktor-faktor
ini juga termasuk isolasi kelompok, kurangnya kepemimpinan imparsial,
kurangnya prosedur yang jelas dalam mengambil keputusan, dan homogenitas
latar belakang anggota kelompok. Isolasi kelompok (group insulation) merujuk
pada kemampuan kelompok untuk tidak terpengaruhi oleh dunia luar. Banyak
kelompok begitu sering bertemu sehingga mereka menjadi kebal terhadap hal
yang terjadi di luar pengalaman kelompok mereka.
Kurangnya
kepemimpinan imparsial (lack of impartial leadership) berarti bahwa anggota
kelompok dipimpin oleh orang yang memiliki pribadi terhadap hasil akhir.
Sebuah contoh mengenai hal ini dapat ditemukan dalam penilaian Janis terhadap
keputusan Presiden Kennedy mengenai Teluk Babi. Ketika sang Presiden memimpin
rapat mengenai investasi terhadap Kuba, Janis mengamati hal sebagai berikut :
”(Pada) tiap rapat, alih-alih membuka agenda untuk memungkinkan munculnya
pandangan-pandangan oposisi, ia mengizinkan perwakilan CIA untuk mendominasi
seluruh diskusi. Presiden mereka untuk langsung menyangkal semua keraguan
tentative yang mungkin dikemukakan oleh beberapa orang, alih-alih menanyakan
apakah ada orang lain yang memiliki keraguan yang sama atau ingin
mempertanyakan implikasi dari satu isu baru yang mengkhawatirkan ini (1982,
hal. 42)”.
Kesalahan
struktural terakhir yang dapat mendorong terjadinya groupthink adalah kurangnya prosedur pengambilan keputusan (lack
of decision making procedures) dan kemiripan antar-anggota kelompok.
Pertama-tama, beberapa kelompok memiliki sedikit, jika ada, prosedur untuk
pengambilan keputusan; kegagalan untuk memiliki norma yang telah disepakati
sebelumnya untuk mengevaluasi suatu masalah dapat menimbulkan groupthink. Dennis Gouran dan Randy
Hirokawa (1996) menyatakan bahwa bahkan jika suatu kelompok menyadari akan
adanya suatu masalah, mereka masih harus mencari tahu penyebabnya dan sejauh
apa masalah ini. Kelompok, karenanya, dapat dipengaruhi oleh suara-suara yang
dominan dan mengikuti mereka yang memilih untuk mengemukakan pendapat.
Bahkan, ketika suatu analisis independen mengenai kecelakaan pesawat Colombia
dilaksanakan setelah meledaknya pesawat tersebut, John Schwartz (2005)
melaporkan bahwa manajemen NASA sangat berpengaruh dalam keputusan untuk meluncurkan pesawat
pada hari naas di tahun 2003 itu.
Schwartz
mengutip seorang mantan komandan pesawat luar angkasa di Johnson Space Center
di Houston: “Para manajer menanyakan apakah ada opini-opini yang menentang
karena mereka tahu mereka harus menanyakan hal tersebut, tetapi para manajer
ini hanya mempertanyakan pandangan mereka sendiri atau berpendapat melawan
pendapat yang menentang ini, tanpa benar-benar berusaha untuk memahaminya
(hal. 417). Kesalahan structural yang kedua adalah homogenitas latar belakang
para anggota. Janis (1982) mengamati bahwa kurangnya perbedaan dalam latar
belakang sosial dan ideologi di antara para anggota dari sebuah kelompok yang
kohesif membuat mereka lebih mudah menyetujui saran apa pun yang dikemukakan
oleh sang pemimpin (hal. 250).
Tekanan
Kelompok.
Kondisi
pendahulu yang terakhir dari groupthink
berhubungan dengan tekanan kelompok yaitu; tekanan internal dan eksternal
(internal and external stress) terhadap kelompok dapat memunculkan groupthink. Ketika pembuat keputusan
sedang berada dalam tekanan yang berat, baik disebabkan oleh dorongan-dorongan
dari luar maupun dari dalam kelompok mereka cenderung tidak dapat menguasai
emosi.
Ketika tingkat
tekanan tinggi, kelompok biasanya mengikuti pemimpin mereka dan menyatakan
keyakinan mereka. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas bagaimana groupthink sebenarnya, Janis (1982)
mengidentifikasikan delapan gejala yang dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Gejala
Groupthink
1.
Penilaian
berlebihan terhadap kelompok (overestimation of the group);
keyakinan yang keliru bahwa suatu kelompok lebih dari dirinya yang
sebenarnya.
a. Ilusi
akan ketidakrentanan (illusion of invulnerability); keyakinan bahwa kelompok
ini cukup istimewa untuk mengatasi rintangan-rintangan.
b. Keyakinan
akan moralitas yang tertanan dalam kelompok (belief in the inherent morality
of the group); asumsi bahwa anggota-anggota kelompok bijaksana dan baik,
karenanya keputusan yang mereka buat akan baik juga.
2.
Ketertutupan
pikiran (closed-minded); yakni kesedihan suatu kelompok untuk
tidak mengindahkan perbedaan antar-orang dan peringatan mengenai keputusan
kelompok yang kurang baik.
a.
Stereotif kelompok luar (out-group
stereotypes); persepsi stereotip mengenai kelompok musuh atau kompetitor.
b. Rasionalisasi
kolektif (collective rationalization);
situasi di mana para anggota kelompok tidak mengindahkan
peringatan-peringatan mengenai keputusan mereka.
3.
Tekanan
untuk mencapai keseragaman (pressure toward uniformity);
yaitu terjadi ketika para anggota kelompok berusaha untuk menjaga hubungan
baik antar-anggota.
a. Sensor
diri (self-censorship); para anggota kelompok berusaha untuk meminimalkan
keraguan personal dan adanya argument-argumen yang menentang.
b. Ilusi
akan adanya kebulatan suara (illusion of unanimity); adalah menganggap
keyakinan bahwa diam berarti setuju.
c. Self-Appointed
mindguards (self-appointed mindguards); yaitu individu-individu yang menjaga
kelompok dari informasi yang tidak mendukung.
d. Tekanan
terhadap para penentang (pressures on dissenters); pengaruh langsung terhadap
anggota-anggota kelompok yang menyumbangkan pendapat berlawanan dengan
kelompok.
Berpikirlah
Sebelum Bertindak: Cara Untuk Mencegah Groupthink
Sumber: diadaptasi
dari’t Hart, 1990.
Kritik
dan Penutup
Groupthink adalah teori
yang dikhususkan untuk pemahaman mengenai proses pengambilan keputusan dalam
kelompok kecil. Janis percaya bahwa kelompok sering kali membuat keputusan
dengan konsekuensi yang besar dan walaupun ia memfokuskan studinya kepada
kelompok kebijakan asing, penerapan dari terminologi Groupthink ini dapat juga ditujukan bagi kelompok pembuat
keputusan lainnya. Dari beberapa criteria pengujian sebuah teori, empat
diantaranya relevan untuk didiskusikan: heurisme,
ruang lingkup, kemungkinan pengujian, dan pengujian waktu berjalan.
Heurisme.
Teori
Groupthink adalah teori yang heuristic; teori ini dan banyak
elemennya telah digunakan dalam banyak kajian dan telah mendapat banyak
perhatian dari banyak ilmuwan komunikasi dan psikologi sosial (misalnya; Cline,
1990; Courtright; 1978; Pavitt & Johnson, 2002; Turner & Pratkanis,
1998; Yetiv, 2003). Teori ini telah menghasilkan beberap asumsi mengenai
perilaku kelompok dan Groupthink
tetap menjadi bagian yang penting dari literature mengenai pengambilan
keputusan dalam kelompok (Aldag &
riggs Fuller, 1998).
Ruang
Lingkup.
Walaupun
sebenarnya banyak prinsip Groupthink dapat
diterapkan pada beberapa tipe kelompok, Janis telah mencakup jelas dalam
konseptualisasi awalnya dalam menerapkan Groupthink
hanya pada kelompok pembuat keputusan dalam periode krisis; ia tidak
menerapkan pemikirannya pada tiap tipe kelompok. Oleh karenanya, ruang
lingkup dari teori ini dapat dikatakan sempit.
Kemungkinan
Pengujian.
Beberapa
peneliti kelompok telah menunjukkan beberapa masalah validitas dari teori
ini, dan karenanya mengundang pertanyaan dalam hal kemungkinan pengujiannya.
Misalnya, Jeanne Longley dan Dean Pruitt (1980) mengkritik validitas dari
teori ini. Mereka berpendapat bahwa setengah dari gejala groupthink tidak diasosiasikan dengan pencarian persetujuan, ciri
utama dari teori ini. Mereka berpendapat bahwa “sebuah teori harus merupakan
progresi logis dari sebuah ide, bukan sebuah karung berisi fenomena yang
berkorelasi satu dengan lainnya dalam contoh enam kasus: (hal. 80). Bahkan,
mereka melihat bahwa Janis memasukkan penghargaan diri ke dalam diskusi
mengenai groupthink, tetapi gagal
untuk menyebutkannya dalam teorinya. Dalam tulisannya kemudian, Janis (1982)
menyatakan bahwa penghargaan diri merupakan kondisi pendahulu dari groupthink.
Pengujian
Waktu Berjalan.
Teori
Groupthink telah berhasil melalui
pengujian waktu berjalan. Para peneliti terus menginvestigasi banyak fitur
utama teori ini, dan teori ini terus didiskusikan dalam media popular (surat
kabar dan televisi). Pada ulang tahun ketiga puluh dari Groupthink, Schwartz dan Wald (2003) menyebut Janis sebagai
pelopor dalam “bidang studi dinamika sosial” (hal. 4). Akhirnya, karena
putusan kebijakan pemerintah akan selalu ada, maka kemungkinan groupthink untuk bertahan di masa
depan juga cukup tinggi.
Groupthink mungkin lebih
menarik secara intuitif dibandingkan didorong secara empiris. Teori ini,
bagaimanapun, terus menerima perhatian dalam penelitian dan juga dalam pers
popular. Bahkan, pemikiran Janis akan groupthink
telah cukup berpengaruh dalam beberapa bidang ilmu seperti; komunikasi,
psikologi kognitif dan sosial, antropologi, dan ilmu politik. Sedikit orang
dapat mendebat kegagalan dari kebijakan asing yang dibahas oleh Janis:
kekerasan dan korban yang banyak, hilangnya kepercayaan terhadap keputusan
pemerintah, dan pembuatan kebijakan yang tidak berani tidak beres. Demi
alasan-alasan inilah, Janis diakui telah membantu kita mengidentifikasi dan
mempelajari salah satu tipe masalah pembuatan keputusan kelompok.
|
||||||||||
BAB.15
|
Teori
Penstrukturan Adaptif (Structuration Theory)--(Gidden, Poele, Seibold &
McPhee).
Dalam
teori ini dipaparkan, bahwa dalam melihat individu dan tim dapat baik
dibatasi maupun didukung oleh struktur sebuah organisasi. Para karyawan
terikat oleh aturan-aturan atau norma-norma dari sebuah perusahaan atau
melampaui struktur-struktur yang sudah ada ini dan memunculkan kreativitas
personal.
Asumsi
Teori Struktural Adaptif :
1. Kelompok
dan organisasi diproduksi dan reproduksi melalui penggunaan aturan dan sumber
daya.
2. Aturan
komunikasi berfungsi baik sebagai medium untuk maupun hasil akhir dari
interkasi.
3. Struktur
kekuasaan ada di dalam organisasi dan menuntun proses pengambilan keputusan
dengan menyediakan informasi mengenai bagaimana untuk mencapai tujuan kita
dengan cara yang terbaik.
Eelemen
Teori Pestrukturan Adaptif:
1.
Agensi
dan refleksivitas;
Agensi (agency)
adalah perilaku atau aktivitas yang digunakan di dalam lingkungan social.
Kalau agen adalah sesorang yang melakukan perilaku atau kegiatan di dalam
lingkugan social.
Refleksivitas (reflexivity)
adalah kemampuan seseorang untuk memonitor tindakan atau perilakunya.
2. Dualitas Struktur (duality of
structure); adalah aturan dan sumber daya digunakan untuk
mengarahkan keputusan organisasi mengenai perilaku atau tindakan. Aturan adalah rutinitas umum yang
diikuti organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuannya.
3. Integrasi Sosial (social integration);
merujuk pada resiprositas perilaku komunikasi di antara orang-orang dalam
berinteraksi.
Kritik
dan Penutup.
Organisasi
dan kelompok merupakan bagian penting dalam kehidupan kita. Pertimbangkan
jumlah kelompok di mana Anda sedang tergabung. Terdapat perkiraan bahwa
karyawan perusahaan menghabiskan kira-kira 90% dari waktu mereka dalam
kelompok atau pertemuan kelompok. Teori Adaptive Structuration Giddens
menyediakan sebuah kerangka penting untuk memahami kesempatan komunikasi ini.
Di antara kriteria-kriteria yang relevan untuk mengevaluasi teori, dibahas
tiga kriteria yakni; ruang lingkup, heurisme dan parsimoni.
Ruang
Lingkup.
Keluasan,
atau ruang lingkup dari teori ini melingkupi dua konteks komunikasi yang
luas. Teori Penstrukturan Adaptif memberikan pemahaman mengenai bagaimana
struktur yang diciptakan dalam kelompok dan organisasi memengaruhi komunikasi
dan keputusan. Selanjutnya, ruang lingkup teori ini cukup luas dalam mempelajari peran yang
dimainkan kekeuasaan dalam pengembangan kelompok dan pencapaian tujuan. Para
ilmuwan yang telah mempelajari penstrukturan dalam kelompok dan organisasi
menekankan pentingnya pemahaman dari hubungan antara masukan ke dalam
kelompok (sumber daya dan aturan-aturan) dan keluaran (umpan balik). Akan
tetapi, sangat penting untuk tidak hanya memahami keberadaan sumber daya
tetapi juga untuk mempelajari bagaimana sumber daya ini berevolusi dan berubah
sebagai aktivitas komunikasi yang terjadi dalam satu kelompok.
Heurisme.
Teori
Penstrukturan Adaptif dapat diterapkan
pada hampir semua latar sosial dan hampir disetiap interaksi manusia. Area
komunikasi yang telah menerapkan teori ini dengan sukses adalah komunikasi
organisasi dan pengambilan keputusan kelompok. Penelitian dalam jumlah yang banyak telah mempelajari dampak
penstrukturan terhadap iklim dalam organisasi (contohnya, Kirby & Krone,
2002; Scott, Corman & Cheney, 1998; Sherblom, Keranen & Withers,
2002) dan pengaruhnya pada kelompok kecil (Seyfarth, 2000). Teori ini,
karenanya, mempunyai nilai heuristic. Catatan penelitian
menggambarkan sebuah analisis pengambilan keputusan kelompok dipandang
melalui lensa teori ini.
Parsimoni.
Ingatlah
kembali bahwa kriteria ini berkaitan dengan kesederhanaan sebuah teori:
apakah teori ini mudah dipahami atau terlampau rumit? Stephen Banks dan
Patricia Riley (1993) menyatakan bahwa teori Penstrukturan Adaptif sulit
untuk dibaca dan dimengerti: ”Penstrukturan kekurangan karakteristik tertentu
yang seringkali dianggap menarik oleh para peneliti komunikasi dan ilmuwan
sosial lainnya: teori ini tidak bisa dibaca dengan cepat, tidak intuitif
secara langsung, atau sederhana (hal. 178). Banks dan Riley mengemukakan
banyak konsep ketika mereka mempelajari proses yang rumit mengenai bagaimana
organisasi dan kelompok membentuk struktur komunikasi mereka dan mencapai
keputusan. Saran mereka bagi orang yang menggunakan teori ini dalam sebuah
usaha untuk memahami organisasi dan kelompok adalah “mulai dari awal” (hal,
181).
Jadi,
para peneliti ini menyarankan kita untuk memecah sebuah kelompok menjadi
berbagai macam bagian untuk memahami dinamika yang memengaruhi komunikasi dan
pengambilan keputusan. Hal ini membutuhkan masukan dan pemahaman aturan
sejarah yang dibawa ke dalam sebuah kelompok oleh tiap-tiap anggota dan ini
merupakan tugas yang teramat berat untuk dilaksanakan. Selanjutnya, Banks dan
Riley menyarankan bahwa para ilmuwan harus menahan godaan untuk menerapkan
kategori yang telah dibentuk sebelumnya dalam menjelaskan bagaimana
organisasi dan kelompok dikembangkan dan bagaimana mereka mengalami
perubahan. Alasan untuk saran ini terletak di dalam sifat evolusioner dari
sumber daya dan aturan yang mengarahkan sebuah organisasi, dan hal ini
membuat system memiliki keunikan.
Tantangan
untuk ilmuwan komunikasi dalam mempelajari Teori Penstrukturan Adaptif adalah
tantangan untuk meneruskan kajian mereka terhadap dinamika dari teori ini dan
penerapannya dalam situasi di kehidupan nyata. Meskipun teori sedikit
mengintimidasi dalam hal adanya banyak sekali elemen yang harus
dipertimbangkan untuk memahami proses kelompok atau organisasi, teori ini
merupakan kerangka yang penting untuk digunakan saat kita mengekplorasi kerumitan
yang ada dalam evolusi kelompok organisasi.
|
||||||||||
BAB.16
|
Teori Budaya
Organisasi (Organizational Theory)--(Clifford Geertz, Michael Pacanowsky
& Nick O’Donnell-Trujillo).
Budaya merupakan hal yang selalu
mengiringi kehidupan manusia. Budaya selalu ada di mana dan kapan saja
manusia itu berada. Tak terkecuali pada kehidupan organisasi.
Dalam sebuah organisasi, inti
kehidupan sebuah organisasi itu sendiri ditemukan dalam budaya. Budaya yang
dimaksud dalam organisasi berbeda dengan budaya dalam pandangan sehari-hari
kita. Budaya dalam organisasi tidaklah diartikan sebagai ras, etnis, latar
belakang individu. Menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujilo, budaya dalam
organisasi diartikan sebagai cara hidup di dalam organisasi. Misalnya iklim
atau atmosfer emosional dan psikologis, yang mencakup semangat kerja
karyawan, sikap dan tingkat produktivitas, dan simbol-simbol.
Budaya organisasi diadakan dalam
kerangka pikiran umum anggota organisasi. Kerangka kerja ini berisi
asumsi dasar dan nilai-nilai. Asumsi dasar dan nilai-nilai diajarkan
kepada anggota baru sebagai cara untuk melihat, berpikir, merasa,
berperilaku, dan mengharapkan orang lain untuk berperilaku dalam
organisasi. Edgar Schein (1999) mengatakan bahwa budaya organisasi
dikembangkan dari waktu ke waktu sebagai orang dalam organisasi belajar
menghadapi sukses dengan masalah adaptasi eksternal dan integrasi
internal. Hal ini menjadi bahasan dan latar belakang umum. Jadi, budaya
muncul dari apa yang telah berhasil bagi organisasi.
Budaya organisasi tidak muncul
dengan sendirinya dikalangan antar organisasi, tetapi perlu dibentuk dan
dipelajari karena pada dasarnya budaya perusahaan adalah sekumpulan nilai dan
pola perilaku yang dipelajari, dimiliki bersama, oleh semua anggota
organisasi dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Budaya organisasi sangat penting
peranannya dalam mendukung terciptanya suatu organisasi/perusahaan yang efektif.
Secara lebih spesifik, budaya perusahaan dapat berperan dalam menciptakan
jati diri, mengembangkan keikutsertaan pribadi dengan perusahaan dan
menyajikan pedoman perilaku kerja bagi karyawan.
Metafora Budaya: Jaring Laba-Laba
Seperti yang telah disebutkan di
atas, inti kehidupan sebuah organisasi ditemukan dalam budaya. Oleh karena
itu, budaya organisasi adalah esensi dari kehidupan organisasi. Bisa
dibayangkan bahwa suatu organisasi tanpa budaya, maka akan terjadi
kekacaubalauan di dalamnya. Organisasi tersebut pun dipastikan tidak dapat
mencapai tujuan organisasinya dengan utuh dan lancar.
Pacanowsky dan O’Donnell Trujilo
(1982) memepercayai bahwa budaya organisasi “mengindikasikan apa yang
menyusun dunia nyata yang ingin diselidiki. Mereka mengatakan bahwa budaya
organisasi (organizational culture) adalah esensi dari kehidupan
organisasi. Mereka menerapkan prinsip-prinsip antropologi untuk mengontruksi
teori mereka. Mereka juga mengadopsi pendekatan Interpretasi Simolok yang
dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dalam model teoritis mereka. Dalam
teorinya Geertz menyatakan bahwa orang-orang adalah hewan “yang tergantung
didalam jaringan kepentingan”, artinya orang-orang yang memuat jaring mereka
sendiri.
Atas pernyataan tersebut,
Pacanowsky & Trujilo pun menambahkan pernyataan tersebut sebagai berikut:
“Jaring ini tidak hanya ada,
melainkan sedang dipintal. Jaring ini dipintal ketika orang sedang
menjalankan bisnis mereka membuat dunia mereka menjadi dapat dipahami.
Maksudnya ketika mereka berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis
sebuah naskah drama, menyanyi, menari, pura-pura sakit, mereka sedang
berkomunikasi dan mengkonstruksi budaya mereka. Jaring ini merupakan residu
dari proses komunikasi.”
Geertz menggambarkan jaring
laba-laba yang mungkin ada didalam sebuah organisasi dan meyakini bahwa
budaya seperti sebuah jaring yang dipintal oleh laba-laba. Maksud dari tujuan
penggambaran ini yaitu jarring ini terdiri atas desain yang rumit dan tiap jaring
berbeda dengan yang lainnya. Geertz berargumen bahwa budaya-budaya semuanya
berbeda dan keunikan ini harus dihargai. Tujuan pendekatan Pacanowsky &
Trujilo dengan metafora tersebut adalah untuk memikirkan semua kofigurasi
(fitur) menyerupai jaring yang mungkin dalam organisasi.
Asumsi Teori Budaya Organisasi
Terdapat tiga asumsi pada Teori
Budaya Organisasi yang dikemukakan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo,
yaitu:
1) Anggota-anggota organisasi
mencipakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai
realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai
nilai-nilai sebuah organisasi. Asumsi
ini berhubungan dengan pentingnya orang dalam kehidupan organisasi. Secara
khusus, individu saling berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan
realitas. Individu-individu ini mencakup karyawan, supervisor dan atasan.
Inti asumsi ini adalah yang dimiliki oleh organisasi. Nilai adalah standar
dan prinsip-prinsip dalam sebuah budaya yang memiliki nilai intrinsik dari
sebuah budaya. Nilai menunjukkan kepada anggota organisasi apa saja yang
penting. Orang berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan. Menjadi
anggota dari sebuah organisasi membutuhkan pertisipasi aktif dalam organisasi
tersebut.
2) Penggunaan dan interpretasi simbol
sangat penting dalam budaya organisasi. Maksudnya adalah realitas organisasi ditentukan oleh
simbol-simbol. Perspektif ini menggarisbawahi penggunaan simbol dalam
organisasi. Simbol merupakan representasi untuk makna. Simbol-simbol ini
sangat penting bagi budaya perusahaan. Simbol-simbol mencakup komunikasi
verbal dan non verbal di dalam organisasi. Seringkali simbol-simbol ini
mengkomunikasikan nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang
memiliki makna. Sejauh mana simbol-simbol ini efektif bergantung tidak hanya
pada media tetapi bagaiman karyawan perusahaan mempraktikannya.
3) Budaya bervariasi dalam
organisasi-organisasi yang berbeda dan interpretasi tindakan dalam budaya ini
juga beragam. Asumsi
mengenai teori
budaya organisasi ini sangat bervariasi. Persepsi mengenai tindakan dan
aktivitas dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu sendiri.
Simbol Budaya Organisasi
Tabel di bawah ini menjelaskan
tentang contoh simbol-simbol pada asumsi kedua Teori Budaya Organisasi, yaitu
penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi.
Hal-hal di atas penting untuk
dipahami bagi individu yang merupakan anggota suatu organisasi, maupun
individu di luar organisasi tersebut. Anggota-anggota menciptakan,
menggunakan, dan menginterpretasikan simbol untuk mengkomunikasikan
nilai-nilai yang dianut dalam suatu organisasi. Seperti slogan Disneyland
yang menyatakan bahwa Disneyland “The
Happiest Place on Earth”, maka seluruh anggota harus memahami simbol
tersebut. Tidak mungkin organisasi yang mengangkat tema kegembiraan dan
keceriaan anggotanya, tidak pernah tersenyum bahkan cemberut. Mungkin memang
terkadang simbol-simbol tersebut terlalu terselubung. Namun simbol-simbol
tersebut harus dipahami oleh anggota organisasi agar dalam mengkomunikasikan
nilai-nilai organisasi, tepat pada tempatnya.
Pemahaman Etnografi : Mendasarkan
Pada Yang Mendalam
Pada dasarnya etnografi bukanlah
ilmu eksperimental, melainkan sebuah metodologi yang menguak makna. Geertz
(1973) berargumen untuk memahami budaya, seseorang harus melihatnya dari
sudut pandang anggota budaya tersebut. Dan satu satunya cara adalah menjadi
etnograf, yang secara natural melaksanakan pengamatan langsung, menjadi
partisipan dalam budaya tersebut, dan melakukan wawancara untuk menguak makna
budaya tersebut. Karena dalam memahami suatu budaya tingkat subyektivitasnya
sangat kuat, maka, menemukan makna merupakan hal paling penting bagi
etnograf.
Etnograf menggunakan jurnal
lapangan atau field journal, sebuah catatan pribadi untuk mencatat
perasaan mengenai berkomunikasi dengan orang-orang dari budaya berbeda,
sekaligus membuat dekskipsi tebal yang berisi penjelasan mengenai
lapisan-lapisan rumit dari makna yang mendasari sebuah budaya. Dalam
prakteknya, seorang etnograf tidak hanya mempelajari masyarakat tetapi juga
belajar dari masyarakat tersebut.
Geertz percaya bahwa tak ada
analisis budaya yang lengkap karena semakin seorang masuk dalam budaya
tersebut, makin kompleks pula budaya tersebut. Selain itu, terkadang makna
yang muncul memiliki banyak tafsiran atau multi-tafsir. Maka tidak mungkin untuk
sepenuhnya pasti mengerti mengenai sebuah budaya, norma, atau nilainya.
Pada akhirnya, Teori Budaya
Organisasi berakar pada etnografi dan budaya organisasi hanya dapat dilihat
dan diamati dengan mengadopsi prinsip-prinsip etnografi.
1) Performa Kuantitatif; Performa adalah metafora yang
menggambarkan proses simboltik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam
sebuah organisasi. Performa budaya di bagi menjadi lima bagian yaitu: ritual,
hasrat, sosial, politik, dan enkulturasi. Performa-performa ini dapat
dilaksanakan oleh anggota mana pun dalam sebuah organisasi.
2) Performa
Ritual; Semua performa komunikasi yang
terjadi secara teratur dan berulang. Terdiri dari empat jenis: (a) Ritual
personal: semua hal yang di lakukan secara rutin di tempat kerja. Contoh:
mengecek e-mail yang di lakukan rutih setiap harinya; (b) Ritual tugas:
prilaku rutin yang di kaitkan dengan pekerjaan seseorang; (c) Ritual tugas
membantu menyelesaikan pekerjaan. Contoh: seorang karyawan di yang bekerja
sebagai kasir setiap harinya harus menerima dan mencatat semua pembayaran;
(d) Ritual sosial: rutinitas verbal dan nonverbal yang biasanya
mempertimbangkan interaksi dengan orang lain. Contoh: beberapa karyawan dalam
suatu perusahaan yang setiap akhir pekan mengadakan pertemuan bersama. Atau
seorang siswa yang setiap hari sengaja datang lebih awal untuk bertemu dengan
teman-temannya untuk bercerita bersama dan kemudian di teruskan kembali pada
waktu istirahat. Ritual sosial juga dapat mencangkup pemberian penghargaan
karyawan terbaik di setiap bulannya; (e) Ritual organisasi: kegiatan
perusahaan yang sering di lakukan seperti rapat divisi, rapat fakultas,
bahkan piknik perusahaan.
3) Performa
Hasrat; Kisah-kisah organisasi yang sering
kali di ceritakan secara antusias oleh para anggota organisasi dengan orang
lain. Contohnya yaitu seorang karyawan yang selalu menceritakan tentang
atasannya kepada semua temannya secara terus menerus bahkan selama beberapa
tahun.
4) Performa
Sosial; Merupakan perpanjangan sikap
santun dan kesopanan untuk mendorong kerjasama di antara anggota organisasi.
Contohnya adalah dengan hal kecil berupa senyuman atau hanya sekedar sapaan
yang di lakukan seluruh anggota menjadikannya sebagai budaya dalam sebuah
organisasi.
5) Performa
Politis; Perilaku organisasi yang mendemonstrasikan
kekuasaan atau kontrol. Kebanyakan organisasi bersifat hierarkis yaitu harus
ada seseorang yang menjadi penguasa untuk mencapai segala sesuatu dan
memiliki cukup kontrol untuk mempertahankan dasar-dasar yang ada. Ketika
sebuah organisasi terlibat dalam performa politis, mereka mengkomunikasikan
keinginan untuk mempengaruhi orang lain, namun hal ini tidak selalu berdampak
buruk.
6) Performa
Enkulturasi; Merujuk
pada bagaimana anggota mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk dapat
menjadi anggota organisasi yang mampu berkontribusi. Performa ini dapat
merupakan sesuatu yang bersifat hati-hati maupun berani. Performa ini
mendemonstrasikan kompetensi seorang anggota dalam sebuah organisasi.
Kritik dan Penutup
Teori
Budaya Organisasi, dicetuskan oleh pacanowsly dan O’Donnell Trujillo,
merupakan teori yang memiliki pengaruh penting dalam teori dan penelitian di
bidang komunikasi organisasi. Untuk mengevaluasi efektivitas teori ini, akan
didiskusikan tiga kriteria: heurisme, kegunaan, dan konsistensi logis.
Heurisme.
Daya
tarik Teori Budaya Organisasi telah begitu luas dan jauh, sehingga
menyebabkan teori ini bersifat heuristic. Misalnya saja, teori ini membingkai
penelitian yang mengkaji karyawan Muslim (Alkhazraji, 1997), petugas penegak
hukum (Frewin & tuffin, 1998), dan karyawan yang sedang mengandung
(Halpert & Burt, 1997). Teori ini telah memengaruhi banyak ilmuwan untuk
mempertimbangkan mengenai budaya organisasi dan bagaimana mereka mengajarkan
mengenai hal ini di dalam kelas (Morgan, 2004). Dan relevan bagi kita yang
berada di dalam bidang pendidikan, teori ini telah digunakan untuk
mempelajari cerita-cerita mengenai mahasiswa dan persepsi mereka akan
penyesuaian diri di kampus (Kramer & Berman, 2001).
Kegunaan.
Teori
ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada hamper semua karyawan
di dalam sebuah organisasi. Pendekatan ini berguna karena banyak informasi
dari teori (misalnya; symbol, kisah, ritual) memiliki hubungan langsung pada
bagaimana karyawan bekerja dan identifikasi mereka terhadap lingkungan kerja
mereka (Schrodt, 2002). Karena karya para teoritikus ini didasarkan pada
organisasi yang nyata dan karyawan benar-benar ada, para peneliti ini telah
membuat teori ini menjadi lebih berguna dan praktis.
Konsistensi
Logis.
Konsistensi
logis ini juga tidak boleh dilewatkan. Coba ingat kembali bahwa konsistensi
logis merujuk pada pemikiran bahwa teori harus mengikuti pengaturan logis dan
tetap konsisten. Pacanowsky dan O’Donnel Trujillo berusaha untuk memegang
teguh keyakinan mereka bahwa budaya organisasi sangat kaya dan beragam;
mereka merasa bahwa mendengarkan performa komunikatif dari anggota organisasi
adalah titik awal bagi kita untuk
memahami “budaya korporat”. Ini merupakan dasar dari mana banyak
bagian dari teori ini mendapatkan momentumnya.
Walaupun
demikian, beberapa yakin bahwa teori ini kurang dalam hal konsistensi. Eric
Eisenberg dan H.L. Goodall (2004) misalnya, mengamati bahwa Teori Budaya
organisasi bergantung sepenuhnya pada makna yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
organisasi. Mereka menyatakan bahwa kisah, contohnya, tidak dimiliki secara
mirip di antara karyawan: “cerita yang berbeda mengenai organisasi
diceritakan oleh narrator yang berbeda pula” (hal. 134).
Pacanowsky dan
O’Donnel Trujillo merupakan dua dari beberapa peneliti komunikasi yang
mempelajari mengenai kehidupan organisasi dengan melihat baik pada karyawan
dan perilaku mereka. Mungkin melihat budaya organisasi dengan cara ini akan
membuat para peneliti mampu menghargai pentingnya berhubungan dengan orang
dan performa mereka di tempat kerja.
|
||||||||||
BAB.17
|
Teori
Informasi Organisasi (Organizational Information Theory).
Berusaha
untuk memperjelas informasi yang kabur, salah arah, atau ambigu merupakan
inti (core) dari Teori Informasi Organisasi. Teori ini mempelajari bagaimana
anggota-anggota organisasi menarik diri meraka dari situasi yang
membingungkan ketika sedang bekerja.
Asumsi
Teori Informasi Organisasi
Teori
Informasi Organisasi adalah satu cara untuk menjelaskan bagaimana organisasi
membuat informasi yang membingungkan atau ambigu menjadi masuk akal. Teori
ini berfokus pada proses pengorganisasian anggota organisasi untuk mengelola
informasi daripada berfokus pada struktur organisasi itu sendiri. Sejumlah
asumsi mendasari teori ini :
1. Organisasi
manusia ada dakam sebuah lingkungan informasi.
2. Informasi
yang diterima sebuah organisasi berbeda dalam hal ketidakpastiannya.
3. Organisasi
manusia terlibat di dalam pemrosesan informasi untuk mengurangi
ketidakjelasan informasi.
Konsep
Kunci dan Mengonseptualisasikan Informasi :
1. Lingkungan
Informasi: Jumlah total; adalah ketersediaan semua rangsangan dalam sebuah
organisasi.
2. Ketidakjelasan
informasi: Apakah Anda Yakin Mengenai Hal Ini?
Fakta bahwa banyak dari informasi yang diterima
organisasi bersifat ambigu merupakan hal yang utama dari Teori Informasi
Organisasi. Weick menekankan bahwa tantangan sebuah organisasi bukan dari
fakta bahwa ia terlalu sedikit memiliki informasi tetapi dari fakta bahwa ia
menerima informasi yang sangat besar jumlahnya yang berpotensi memunculkan
banyak interpretasi (Weick, 1995).
Tujuan utama dari sebuah organisasi adalah
memberikan makna bagi lingkungan informasi dan mencoba mengembangkan sebuah
rencana tindakan sehingga anggota-anggotanya dapat mencapai tujuannya.
3. Aturan:
Panduan untuk Menganalisis;
a) Aturan;
panduan di dalam organisasi untuk menilai respons terhadap informasi yang
tidak jelas.
b) Durasi;
aturan organisasi yang menyatakan bahwa keputusan sehubungan dengan
ketidakjelasan harus dibuat dalam waktu yang paling singkat.
c) Personel;
aturan organisasi yang menyatakan bahwa pekerja yang paling paham akan
permasalahan harus mengatasi ketidakjelasan.
d) Keberhasilan;
adalah aturan organisasi yang menyatakan bahwa rencana yang sukses di masa
lalu akan digunakan untuk mengurangi ketidakjelasan yang ada saat ini.
e) Usaha;
adalah aturan organisasi yang menyatakan bahwa keputusan sehubungan dengan
ketidakjelasan harus dibuat dengan usaha sekecil mungkin.
4. Siklus:
Tindakan, Respons, Penyesuaian;
a) Siklus;
serangkaian perilaku komunikasi yang berfungsi untuk mengurangi
ketidakjelasan.
b) Tindakan;
perilaku komunikasi yang mengindikasikan ambiguitas seseorang dalam menerima
pesan.
c) Respons;
reaksi terhadap ketidakjelasan.
d) Penyesuaian;
respons organisasi terhadap ketidakjelasan.
e) Rangkaian
Interaksi Ganda; siklus dari sebuah organisasi (misalnya: wawancara, rapat
untuk mengurangi ketidakjelasan).
Kritik
dan Penutup.
Teori
Informasi Organisasi Karl Weick dikenal sebagai kerangka teoritis yang kuat
menjelaskan bagaimana organisasi memahami informasi yang diterimanya bagi
keberadaanorganisasi tersebut. Teori ini menggunakan perspektif teoritis
lainnya yang menjelaskan proses-proses yang dilalui ooleh sebuah organisasi
untuk menerima input dari orang lain. Weick menekankan pentingnya interaksi
manusia dalam pemoresan informasi; karenanya, komunikasi merupakan fokus
sentral dari teori ini. Idealnya yang utama adalah bahwa organisasi bukan
hanya struktur semata, melainkan suatu kesatuan yang diciptakan oleh
anggota-anggota organisasi, yang terus-menerus bertransformasi dan berubah.
Teori ini mengikuti pemikiran system, dan bahkan, Eric Eisenberg dan H.L.
Goodall (2004) percaya bahwa teori ini telah “menyegarkan” Teori Sistem (hal.
107). Dari beberapa criteria yang relevan untuk mengevaluasi sebuah teori,
akan dibahas tiga diantaranya; kegunaan, heurisme dan konsistensi logis.
Kegunaan.
Kegunaan
teori ini digarisbawahi oleh fokusnya pada proses komunikasi. Teori Informasi
Organisasi berfokus pada proses komunikasi dibandingkan pada peranan
komunikator itu sendiri. Ini merupakan keuntungan yang besar dalam memahami
bagaimana para anggota organisasi terlibat dalam usaha kolaboratif baik
dengan lingkungan internal maupun eksternal untuk memahami informasi yang
mereka terima. Alih-alih berusaha untuk memahami orang-orang dalam sebuah
organisasi, dan bagaimana mereka tidak dapat diprediksi. Weick memutuskan
untuk menguraikan kompleksitas pemrosesan informasi, yang membuat teori ini
menjadi lebih berguna.
Heurisme.
Teori
Informasi Organisasi bersifat heuristic dan telah mendorong timbulnya diskusi
ilmiah. Bahkan, Weick (2003) telah mengedit sebuah koleksi artikel ilmiah
yang mengkaji teorinya. Secara khusus, teori ini telah menginspirasi
pemikiran dan penelitian dalam negosiasi (Putnam, 1989), kerja sama
organisasi (Eisenberg, 1995), pembelajaran organisasi (Weick & Westley,
1996), dan peranan organisasi (Miller, Joseph, & Apker, 2000). Charles
Bantz (1989) mengamati bahwa dalam hal pengaruh Weick terhadap penelitian
secara keseluruhan, “tidak mengejutkan bahwa berbagai ilmuwan mengambil
konsep pengorganisasian langsung dari Weick atau mengintegrasikannya ke dalam
penelitian mereka yang berkesinambungan” (hal.233). Jelaslah bahwa Weick
sangat berpengaruh dalam karya ilmuwan komunikasi organisasi.
Konsistensi
Logis.
Ingatlah
kembali bahwa teori harus masuk akal dan memiliki konsep yang jelas. Teori
Weick tampaknya gagal melewati pengujian konsistensi logis. Salah satu kritik
yang muncul berkaitan dengan keyakinan bahwa orang diarahkan oleh aturan
dalam sebuah organisasi. Para ilmuwan organisasi mengamati bahwa “kita
bingung dan memikirkan, berkeluh kesah dan berdebat, dan pada umumnya
menyeleksi, memanipulasi, dan mentransformasi makna untuk mencapai
interpretasi dari suatu situasi” (Daniels, Spiker & Papa, 1997, hal. 52).
Dengan kata lain, beberapa anggota organisasi mungkin memiliki sedikit minat
dalam aturan komunikasi yang ada di temapt kerja. Para individu tidak selalu
sadar atau tepat dalam prosedur penyeleksian mereka dan tindakan mereka dapat
merupakan hasil dari intuisi dan bukannya aturan organisasi. Ketika karyawan
menjadi semakin terbenam di dalam lingkungan organisasi, mereka mungkin lebih
diarahkan oleh insting jika insting tersebut akurat, etis dan penuh
pemikiran.
Sebuah
kritik tambahan yang menggarisbawahi permasalahan konsistensi logis adalah
bahwa Teori Informasi Organisasi memandang organisasi sebagai unit statis
dalam masyarakat (Taylor & Van Every, 2000). Para peneliti ini menantang
pandangan Weick dengan menyatakan bahwa “tidak pada titik mana pun kotradiksi
yang ada di dalam struktur dan proses organisasi yang bahkan di bahas” (hal.
275) di dalam penelitiannya. Organisasi memiliki ketegangan yang
berkelanjutan dan hal ini perlu dikemukakan dan dikaji dengan menggunakan
klaim-klaim Weick. Selain itu, dengan adanya perubahan dinamis dalam
organisasi sebagai akibat dari merger perusahaan, perampingan, alih kontrak
(outsourcing) ke luar negeri dari pekerjaan karyawanm dan evolusi teknologi,
penilaian yang statis atau beku mengenai organisasi sungguh tidak sesuai.
|
Komentar
Posting Komentar