THEORIES OF COMMUNICATION (THE RHETORIC)


BAB.18
Retorika (The Rhetoric).
Teori Retorika adalah teori yang menjelaskan mengenai teknik berbicara di depan publik (public speaking) dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.

Asumsi Teori Retorika
1.      Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khalayak mereka.
Pembicara harus memikirkan khalayak sebagai sekelompok orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang homogen dan serupa. Hubungan antara pembicara-khalayak harus dipertimbangkan.
2.      Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka.
Bukti-bukti yang dimaksud adalah pada cara-cara persuasi, yaitu :
a.      Ethos : Karakter, intelegensidan niat baik yang dipersepsikan dari seseorang pembicara ketika hal-hal ini ditunjukkan melalui pidatonya.
b.      Logos : Bukti-bukti logis yang digunakan oleh pembicara-argumen mereka, rasionalisasi, dan wacana.
c.       Phatos : Emosi yang dimunculkan dari para pendengar.

Silogisme dan Entimem
Silogisme dan Entimem merupakan perkembangan dari konsep logos yang dikemukakan oleh Aristoteles. Perbedaannya adalah bahwa silogisme berhubungan dengan kepastian, sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.
1.      Silogisme (syllogism) adalah sekelompok proporsi yang berhubungan satu sama lain dan menarik sebuah kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor.
2.      Entimem (enthymeme) adalah silogisme yang didasarkan pada kemungkinan, tanda dan contoh yang berfungsi sebagai persuasi retoris. Tiga elemennya yaitu:
a.       Kemungkinan (probability) : Pernyataan-pernyataan yang secara umum benar tetapi masih membutuhkan pembuktian tambahan.
b.      Tanda (sign) : Pernyataan yang menunjukkan alasan bagi sebuah fakta.
c.       Contoh (example) : Pernyataan-pernyataan baik yang faktual maupun yang diciptakan oleh pembicara.
Perbedaannya yaitu silogisme berhubungan dengan kepastian sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.

Kanon Retorika
Kanon adalah tuntutan tertentu atau prinsip-prinsip yang harus diikuti pembicara agar suatu pidato persuasif dapat menjadi efektif. Kanon-kanon tersebut antara lain:
1. Penemuan (invention)
Integrasi cara berfikir dan argumen dalam pidato; menggunakan logika dan bukti di dalam pidato membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat dan persuasif. Dalam penemuan juga perlu diperhatikan topik (topic); bantuan terhadap penemuan yang merujuk pada argumen yang digunakan oleh membicara, dan civic space; metafora yang menyatakan bahwa pembicara memiliki lokasi-lokasi dimana terdapat kesempatan untuk membujuk orang lain.
2. Pengaturan (arrangement)
Organisasi dari pidato; mempertahankan struktur suatu pidato-pengantar, batang tubuh, kesimpulan-mendukung kredibilitas pembicara, menambah tingkat persuasi dan mengurangi rasa frustasi pada pendengar.
3. Gaya (style)
Penggunaan bahasa dalam pidato; penggunaan gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide dari pembicara diperjelas. Dalam penggunaan gaya bahasa harus menghindari kata-kata aneh (gloss) akan tetapi menggunakan metafora (metaphor) untuk memperjelas hal untuk lebih mudah dipahami oleh pendengar.
4. Penyampaian (delivery)
Presentasi dari pidato; penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi ketegangan pembicara.
5. Ingatan (memory)
Penyimpanan informasi di dalam benak pembicara; mengetahui apa yang akan dikatakan dan kapan menyatakannya, meredakan ketegangan pembicara dan memungkinkan pembicara untuk merespons hal-hal yang tidak terduga.

Jenis-jenis Retorika
:
1. Retorika forensik (forensic rhetoric)
Yaitu pidato yang berkaitan dengan keadaan pembicara mendorong munculnya rasa bersalah atau tidak bersalah. Retorika forensik merujuk pada periode waktu pada masa lalu. Retorika jenis ini sering dipakai untuk berpidato di pengadilan. Contoh : pidato hakim, jaksa, dan lain-lain.
2. Retorika epideiktik (epideictic rhetoric)
Yaitu wacana yang berhubungan dengan pujian atau tuduhan. Retorika epideiktik merujuk pada periode waktu pada masa sekarang. Retorika jenis ini juga sering disebut sebagai pidato seremonial dan biasanya berfokus pada isu-isu sosial. Contoh : Eulogi.
3. Retorika deliberatif (deliberative rhetoric)
Retorika yang menentukan tindakan yang harus diambil oleh khalayak. Disebut retorika politis. Memiliki potensi untuk dapat menghasilkan paling banyak perubahan dalam khalayak. Mencakup: Asuransi kesehatan, pendapatan, pajak, hubungan, pendidikan, dan kesejahteraan pribadi.

 

Kritik dan Penutup
Retorika Aristoteles  tetap merupakan dasar teoritis yang berpengaruh dalam kajian komunikasi. Pelajar public spraking telah menarik keuntungan yang besar dari pernyataan-pernyataan Aristoteles, dan karena hal inilah, teori ini akan terus bergema sepanjang tahun-tahun ke depan. Kriteria evaluatif untuk komunikasi yang akan dibahas berkaitan dengan tiga area utama: heurisme, konsistensi logis, dan pengujian waktu berjalan.

Heurisme
Sedikit orang dapat mendebat bahwa Retorika Arsitoteles adalah salah satu dari teori yang paling heuristik di dalam komunikasi. Ilmuwan dalam ilmu politik, kedokteran, penulisan dalam bahasa inggris, dan filsafat telah mempelajari teori Retorika dan menggunakan prinsip-prinsip Aristoteles di dalam penelitian mereka. Teori ini telah mencakup beberapa subarea dalam disiplin ilmu komunikasi, seperti ketakutan dalam berkomunikasi, dan telah mendorong penelitian baik yang bersifat empiris (Behnke & Sawyer, 2004) maupun praktis (Miller, 2004).

Konsistensi Logis
Para kritikus teori Aristoteles tidak secerpat itu memberikan dukungan mereka akan keseluruhan teori ini. Misalnya, Aristoteles telah dikritik dengan adanya kontradiksi dan tidak adanya koherensi (Lord, 1994). Lord menyatakan bahwa dalam mengembangkan teorinya, Aristoteles menyerang para  penulis retorika lainnya.
Juga terdapat kritik lebih lanjut mengenai konistensi logis teori ini ;
§  Para Ilmuwan sepakat bahwa Retorika merupakan usaha yang kurang terorganisasi; bahkan sebenarnya teori ini disusun dari catatan-catatan ceramah Aristoteles (Kennedy, 1991).
§  Konsistensi logi teori ini ditantang lebih jauh oleh sebuah pengamatan bagaimana Aristoteles memandang khalayak. Para kritikus menyerang Aristoteles karena ia mengabaikan sifat kritis dari pada pendengar.

Pengujian Waktu Berjalan
Tidak ada teori lain di dalam bidang Ilmu komunikasi yang telah melewati pengujian waktu berjalan sebaik Retorika Aristoteles. Dengan adanya 2000 tahun yang telah dilewati dan buku-buku public speaking, para guru dan peneliti yang terus mengomunikasikan prinsip-prinsip Aristotelian sangat sulit untuk mempercayai bahwa akan ada teori lain dalam ilmu komunikasi yang akan mencapai umur begitu panjang.

BAB.19
Dramatisme (Dramatism)-- Burke.
Dramatisme, mengkonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan menempatkan suatu fokus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Adegan ini penting dalam menyikapi motivasi manusia. Dramatisme memberi kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan. Komunikasi dengan teks, khalayak untuk teks, dan tindakan di dalam teks itu sendiri. Dramatisme Burke memungkinkan kita untuk menganalisis pilihan retoris publik figur dan respon khalayak mengenai pilihan tersebut.
Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaanya berhubungan dengan khalayak.


Asumsi Teori Dramatisme
Pemikiran Kenneth Burke begitu rumit sehingga sulit untuk mereduksinya menjadi seperangkat asumsi. Namun, melalui komentar Brumment kita mendapatkan tiga gambaran mengenai asumsi teori dramatisme Burke.
1.      Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol.
Burke berpendapat bahwa beberapa hal yang kita lakukan dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh simbol-simbol. Contohnya, ketika kita meminum kopi di pagi hari sambil membaca koran. Minum kopi merupakan bentuk naluri hewan dan membaca surat kabar serta memikirkan ide-ide dipengaruhi oleh simbol. Dari semua simbol yang digunakan manusia, bahasa adalah yang paling penting bagi Burke.
2.      Bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi manusia.
Bagi Burke, ketika orang menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Selain itu, ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai simbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Burke mengatakan bahwa simbol membentuk pendekatan hanya terhadap masalah yang kompleks. Selain itu, kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang saling berkaitan.
3.      Manusia adalah pembuat pilihan.
Burke mengatakan ontologi eterministik behaviorisme harus ditolak karena bertentangan dengan dasar utama dramatisme, yakni pilihan manusia. Hal ini terikat pada konseptualisasi akan agensi atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil dari pilihannya.

Dramatisme sebagai Retorika Baru
Dramatisme merupakan retorika baru. Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya disamping retorika yang lama menekankan pada persuasi dan desain yang terencana.

Identifikasi dan Substansi
Substansi (sifat umum dari sesuatu) dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan. Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi (ketika dua orang memiliki ketumpangtindihan pada substansi mereka). Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besaridentifikasi yang terjadi. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan (ketika dua orang gagal untuk mempunyai ketumpangtindihan dalam substansi mereka). Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan” (Burke, 1950). Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang), atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain.

Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it uterus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:
1.      Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa).
2.      Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi).
3.      Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri) dan pengkambinghitaman (salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain).
4.      Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara).

Pentad
Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke (1954) menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik. Metode tersebut adalah pentad (metode untuk menerapkan dramatisme). Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu:
1. Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang).
2. Adegan (konteks yang melingkupi tindakan).
3. Agen (orang yang melakukan tindakan).
4. Agensi (cara-cara yang digunakan untuk melakukan tindakan).
5. Tujuan (hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan).
6. Sikap (cara dimana agen memosisikan diri relative terhadap elemen lain).

Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya secara menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik (proporsi dari satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya).

BAB.20
Paradigma Naratif (The Narrative Paradigm)—Walter Fisher.
Banyak orang mendefinisikan naratif sebagai suatu gaya bercerita. Naratif juga berasal dari kata narasi yaitu suatu cerita tentang peristiwa atau kejadian dengan adanya paragraf narasi yang disusun dengan merangkaikan peristiwa-peristiwa yang berurutan atau secara kronologis. Tujuannya, pembaca diharapkan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa yang diceritakan. Cara yang dilakukan menggunakan kata-kata, juga dengan memperlihatkan maksud cerita melalui tarian, gambar, maupun musik. Serta juga dapat dibuat melalui TV / Film atau secara langsung dipertunjukkan lewat panggung (stage).
Seperti yang diungkapkan Walter Fisher bahwa cerita adalah rangkaian makna. Dengan naratif rangkaian cerita dapat bermakna karena juga bisa dihubungkan perubahan yang terjadi dalam personal naratif (pencerita dan yang mendapat cerita). Cerita-cerita dan personal dalam naratif, keduanya berada dalam pengalaman itu sendiri. Apakah peristiwa itu dikarang sendiri oleh hidup kita atau orang lain yang membantunya. Sampai kita sering dan familiar dengan kalimat “Suatu waktu”.
Jangkauan dari teori Naratif sendiri mencangkup macam-macam cabang ilmu pengetahuan dan akhirnya terangkum dalam Teori Komunikasi. Hal ini juga meliputi bagaimana pemahaman kita dalam menciptakan sebuah cerita dari pola-pola cerita yang belum tergabung. Penggunaan naratif ini sendiri bertujuan untuk memahami tingkah laku manusia. Pendekatan yang dilakukan yaitu melalui tiga kepentingan. Walter Fisher menyebut yang pertama adalah Narative Logic yang menggabungkan kesamaan naratif dan logika visual. Northrup Frye mencoba fokus pada bagaimana cerita berbicara melalui konten / isi, bagaimana mengatakannya yaitu dilihat dari bentuknya, serta memasukkan teori pemahaman perbedaan antara aturan pembuatan makna antara maksud dari cerita bergambar dengan gambar itu sendiri.
Seymour Chatman’s mengatakan bahwa yang harus dilihat dalam teori naratif dalam pidato/ sebuah wacana adalah hubungan antara narrator dan naratee (reader) dan bagaimana bentuk pengekspresiannya. Dan hal ini dikembangkan ke lingkup yang lebih luas, yaitu dalam program TV, film, fotografi, dan website serta bagaimana bentuk kebudayaan ikut menyumbang dalam pembentukan makna itu sendiri.

Paradigma naratif
Fisher menyatakan bahwa esensi dari sifat dasar manusia adalah menceritakan kisah. Sehingga paradigma naratif mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seorang pencerita dan bahwa pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Core dari teori ini adalah komunikasi kepada publik – khalayak sebagi partisipan.Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada argument yang baik. Paradigm naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi.
Fisher juga menyatakan bahwa  paradigma ini merujuk pada usaha untuk memformalisasi dan mengarahkan pemahaman kita mengenai pengalaman dari semua komunikasi manusia. Yang ia bandingkan dengan pendekatan lain dengan apa yang ia sebut sebagai paradigma rasional yang mengarakterisasi pemikiran Barat sebelumnya. Dengan cara ini, Fisher mempresentasikan apa yang dapat disebut sebagai pergeseran paradigma, perubahan signifikan dalam cara kebanyakan orang melihat dunia dan maknanya.
Logika naratif lebih dipilih dibandingkan logika tradisional yang digunakan dalam argumentasi. Logika narasi (logika dari pemikiran yang luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas pembicara melalui apakah ceritanya runtut (mempunyai koherensi) dan terdengar benar (mempunyai ketepatan). Paradigm naratif memungkinkan sebuah penilaian demokratis terhadap pembicara karena tidak ada seorang pun yang harus dilatih secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan kebenaran.





Asumsi Paradigma Naratif
Asumsi paradigma naratif yang dinyatakan oleh Fisher bertolak belakang dengan paradigma dunia rasional. Hal ini menimbulkan perbedaan antara paradigma naratif dengan paradigma dunia rasional.

PARADIGMA NARATIF
PARADIGMA DUNIA RASIONAL
1.    Manusia adalah makhluk  pencerita.
1. Manusia adalah makhluk rasional.
2.    Pengambilan keputusan dan komunikasi didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”.
2. Pengambilan keputusan didasarkan pada argumen.
3.    Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter.
3. Argumen mengikuti kriteria khusus untuk mencapai pertimbangan yang sehat, logika.
4.    Rasionalitas didasarkan pada kesadaran orang tentang bagaimana sebuah cerita konsisten secara internal dan benar sebagaimana pengalaman hidup yang dijalani.
4. Rasionalitas didasarkan pada kualitas pengetahuan dan proses pemikiran formal.
5.    Dunia dialami oleh orang sebagai sebuah kumpulan cerita yang harus dipilih salah satunya. Ketika kita memilih, kita menjalani hidup dalam sebuah proses penciptaan ulang yang terus-menerus.
5. Dunia dapat direduksi menjadi sebuah rangkaian hubungan logis yang disingkap melalui pemikiran logis.
   
Konsep Kunci Dalam Pendekatan Naratif
Narasi
Dalam perspektif Fisher, narasi (narration) mencakup deskripsi verbal atau noverbal apa pun dengan urutan kejadian yang oleh para pendengar diberi makna.

Rasionalisasi Naratif
Karena kehidupan kita dialami dalm naratif, kita membutuhkan metode untuk menilai cerita mana yang kita percayai dan mana yang tidak kita perhatikan. Standar ini dapat kita temukan dalam rasionalitas naratif (narrative rationality), yang memberikan kita sebuah cara untuk menilai naratif yang cukup berbeda dari metode tradisional yang ditemukan dalam paradigma dunia rasional.
Rasionalitas naratif, berlawanan dengan logika tradisional, beroperasi berdasarkan dua prinsip yang berbeda: koherensi dan kebenaran.
1)      Koherensi (coherence); prinsip rasionalitas naratif yang menilai konsistensi internal dari sebuah cerita.
2)      Kebenaran (fidelity); prinsip rasionalitas naratif yang menilai kredibilitas dari sebuah cerita.

Pertimbangan Yang Sehat
Seperangkap nilai menerima suatu cerita sebagai benar dan berharga untuk diterima ; memberikan suatu metode untuk menilai kebenaran.

Kritik dan Penutup
Paradigma Naratif Fisher menawarkan baru ke dalam perilaku komunikasi dan mengarahkan perhatian kita pada proses-proses demokratis di dalam area kritik retoris.
Kritik dari Paradigma naratif berputar pada lima kriteria evaluasi; ruang lingkup dan kemungkinan pengujian, kegunaan, konsistensi logis, dan heurisme.

Ruang Lingkup dan Kemungkinan  Pengujian
Para peneliti keberatan dengan klaim tersebut karena dua alasan; pertama, beberapa telah mempertanyakan kegunaan dari sebuah definisi yang mencakup semuanya. Kedua, beberapa peneliti, terutama Robert Rowland (1987; 1989), menyatakan bahwa beberapa bentuk komunikasi tidak naratif seperti yang dikemukakan oleh Fisher.
Kritik yang berhubungan dengan ruang lingkup teori yang terlalu luas menyebabkan permasalahan lainnya. Seberapa memungkinkan teori ini untuk di uji jika teori ini sangat luas dan mencakup semua hal? Paradigma naratif menawarkan sedikit tuntunan untuk menstruktur kajian-kajian kita, membuat menjadi sulit untuk membuktikan apakah sebuah pernyataan itu tidak benar. Apakah terdapat nilai dalam menyikapi cara yang sama sapaan ritual (“Hai, bagaimana kabarmu?”) dan sebuah naratif yang menjelaskan keininan seseorang untuk bercerai.

Kegunaan
Paradigma naratif memiliki kritikus yang meenmukan teori ini kurang berguna karena suatu hal yang mereka sebut sebagai bias konservatif. William Kirkwood (1992) mengamati bahwa logika pertimbangan yang sehat Fisher berfokus pada nilai-nilai yang telah ada dan gagal untuk mendeskripsikan cara-cara di mana sebuah crita dapat mempromosikan perubahan sosial.  Fisher (1987) mengklaim bahwa manusia suka mencipta dan bahwa kita dapat menerima cerita baru ketika mereka menarik bagi kita. Paradigma naratif mungkin tidak secara mudah memberikan akses bagi kaum marginal atau cerita yang kurang populer di dalam budaya.

Konsistensi Logis
Paradigma naratif dipersalahkan karena gagal untuk konsisten dengan beberapa klaim yang dibuat oleh Fisher.  Misalnya, Rowland (1987) menemukan bahwa pendekatan naratif tidak memberikan sebuah struktur yang lebih demokratis dibandingkan sistem hierarkis yang didukung oleh paradigma dunia rasional, dan teori ini juga tidak menawarkan alternatif dari paradigma tersebut.

Heurisme
Walaupun terdapat kritik yang pada dasarnya menyerukan adanya perbaikan dari teori ini, dan bukannya untuk membuang teori ini, Paradigma Naratif Fisher telah memberikan konstribusi yang sangat besar dalam kajian komunikasi manusia. Pertama, ide mengenai orang sebagai pencerita telah terbukti menarik dan heuristik.  Fisher telah memberikan sebuah paradigma baru untuk memahami sifat dasar manusia, tepat terletak di dalam wilayah simbolik dari komunikasi. Dalam mengontruksi Paradigma naratif, Fisher telah memberikan sebuah kerangka yang kaya bagi kegiatan keilmuan tersebut.

MEDIA
BAB.21
Kajian Budaya (Cultural Studies).
Stanley Baran dan Dennis Davis (2003) menyimpulkan bahwa “media telah menjadi alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Tetapi, cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara signifikan. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Stuart Hall (1981, 1989) menyatakan bahwa media merupakan alay yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan didalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.
Warisan Marxis: Kekuatan bagi Masyarakat
Filsuf Karl Marx (1963) dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elite) mengeksploitasi yang lemah (kelas pekerja). Marx percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada terjadinya alienasi (kondisi psikologis dimana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki sedikit control terhdap masa depan mereka). Salah satu keinginan Marx adalah memastikan bahwa tindakan revolusioner dari kaum proletariat dapat dilakukan untuk memutus mata rantai perbudakan dan untuk mmengurangi alienasi di dalam masyarakat yang kapitalistik
Penerapan prinsip-prisnsip Marxis apada kajian budaya cuma samapai pada batasan tertentu saja (neo-marxis), yaitu: (1) mereka yang ada dalam kajian budaya telah menginterogasikan berbagai macam perspektif kedalam pemikiran mereka, termasuk perspektif dari kesenian, humaniora, dan ilmu sosial. (2) para teoritikus kajian budaya juga memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada para pekerja saja.

Asumsi Kajian Budaya
1.   Budaya tersebar didalam dan menginasi semua sisi perilaku manusia. Berbagai norma, ide dan nilai dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Hall (1981), ideologi merujuk pada “gambaran konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran dimana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai” beberapa aspek eksistensi sosial. Hall yakin bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep, kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa “semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang system makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial, dan institusi-institusi”. Secara menarik dan dapat diduga, Murdock melihat bahwa menjadi bagian dari komunitas budaya yang beragam sering mengakibatkan pergulatan makna, interpretasi, identitas dan control. Pergulatan-pergulatan ini atau perang budaya menunjukkan bahwa seringkali terdapat pemisahan-pemisahan yang dalam persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya. Makna dalam budaya dibentuk oleh media. Michael Real (1996) berpendapat “media menginvasi runga kehidupan kita, membentuk selera dari mereka yang berada disekitar kita, memberikan informasi dan mempersuasi kita mengenai produk dan kebijakan, mencampuri mimpi pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebagai gantinya, mengundang kita untuk hidup didalam mereka”.
2.   Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis. Kekuasaan bekerja didalam semua level kemanusiaan (Grossberg, 1989), dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas (Weedon, 2004). Makna dan kekuasaan berkaitan erat, “makna tidak dapat dikonseptualisasikan diluar bidang permainan dari hubungan kekuasaan” (Hall, 1989). Dalam kaitannya dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok sub-ordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada dipuncak hierarki sosial. Mungkin sumber kekuatan yang paling mendasar didalam masyarakat adalah media. Dalam budaya yang beragam, tidak ada institusi yang harus memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang di dengar oleh publik. Gery Woodward (1997) juga menarik kesimpulan serupa ketika ia menyatakan bahwa terdapat sebuah tradisi dimana jurnalis bertindak sebagai pelindung dari kegiatan budaya bangsa: jika media menganggap sesuatu untuk memiliki nilai yang penting, maka sesuatu tersebut penting: suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting menjadi penting.

Hegemoni: Pengaruh Terhadap Masa
Hegemoni dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasasan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain. Antonio Gramsci mendasarkan Hegemoni pada pemikiran Marx mengenai kesadaran palsu (orang tidak sadar akan adanya dominasi didalam kehidupan mereka). Gramsci berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh system sosial yang juga mereka dukung (secara financial). Gramsci merasa bahwa kelompok-kelompok yang dominan didalam masyarakat berhasil mengarahkan orang menjadi tidak waspada. Persetujuan adalah komponen utama dari Hegemoni. Serta kita mengetahui, budaya korporat sekarang ini menekankan pengambilan keputusan untuk persetujuan sering didominasi oleh kelompok yang dominan.

Hegemoni Tandingan: Masa mulai Mempengaruhi Kekuatan Dominan
Khalayak tidak selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apapun yang diberikan oleh kekuatan dominan. Khalayak terkadang juga akan menggunakan seumber daya dan strategi yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok sosial yang dominan. Hingga pada batas tertentu, individu-individu akan menggunakan praktik-praktik dominasi Hegemonis yang sama untuk menantang dominasi yang ada (hegemoni tandingan). Hegemoni tandingan penting dalam kajian budaya sebab menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan menurut. Maksudnya, didalam hegemoni tandingan, para peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam. Pemikiran mengenai hegemoni tandingan sebagai suatu titik dimana individu-individu menyadari mengenai ketaatan mereka dan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal tersebut.

Pendekodean oleh Khalayak
Pendekodean sangat penting didalam kajian budaya. Para teoritikus berpendapat bahwa publik harus dilihat sebagai bagian dari konteks budaya yang lebih besar, sebuah konteks dimana mereka yang berjuang untuk menyuarakan diri mereka sedang di tindas (Budd dan Steinmann, 1992) karena seperti yang kita tahu mereka secara tidak sadar menaati pesan yang disampaikan oleh ideologi dominan. Ada tiga sudut pandang yang digunakan khalayak untuk melakukan pendekodean pesan, yaitu :
1.         Posisi dominan – hegemonis, hal ini berpendapat bahwa indiidu-individu bekerja didalam sebuah kode yang mendominasi dan menjalankan kekuasaan yang lebih besar daripada lainnya.
2.         Posisi ternegosiasi, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak dapat menerima ideologi dominan tetapi akan bekerja dengan beberapa pengecualian terhadap aturan budaya.
3.         Posisi oposisional, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak mensubtitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media.

Kritik dan Penutup
   Kegunaan
Kajian Budaya membuat sarana yang dapat mengubah citra diri kita. Karenanya, sangat mudah untuk menerjemahkan beberapa bagian dari teori ini ke dalam kehidupan sehari-hari, membuat teori ini berguna hingga pada batasan tertentu. Kegunaannya juga dapat ditemukan dalam dedikasinya dalam mempelajari pergulatan budaya dari mereka yang kurang diuntungkan.
Heurisme
Banyak prinsip dan fitur dari Kajian Budaya telah diteliti lebih lanjut. Ideologi telah dipelajari dan konsep hegemoni juga telah diterapkan dalam episode-episode komedi situasi yang berjalan cukup lama. Lawrence Grossberg (1986) dan Linda Steiner (1988) menemukan pengodean oposisional dengan khalayak di dalam penelitian mereka. Jennifer Harding dan E. Deirdre Pribram (2004) menemukan bahwa emosi dalam kerangka Kajian Budaya merupakan bagian dari pengalaman personal dan penerapan relasi kekuasaan yang lebih luas. Emosi dapat dipahami dengan melihat struktur tertentu dari emosi dan beberapa contoh emosional tertentu.

   Konsistensi Logis
Konsistensi logis dari teori ini dipertanyakan. Kritiknya berkaitan dengan kahalayak. Walau beberapa khalayak menentang peranan tipuan, apakah mereka mampu menjadi penentang yang aktif dan interpretif? Sejauh mana khalayak dapat melakukan hegemoni tandingan? Terlalu berlebihan menilai kemampuan mereka yang tertindas dan populasi yang termarginalkan untuk melarikan diri dari budaya mereka.

BAB.22
Analisis Kultivasi (Cultivation Analysis)George Gerbner
Epistimologis dari cultivation adalah penanaman. Cultivation Theory (Teori Kultivasi), adalah sebuah teori dalam konteks keterkaitan media massa dengan penanaman terhadap suatu nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Teori ini, digagas oleh seorang Pakar komunikasi dari Annenberg School of Communication, Profesor George Gerbner. Pada 1960, Profesor Gerbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” untuk mempelajari pengaruh televisi. Profesor Gerbner ingin mengetahui pengaruh-pengaruh televisi terhadap tingkah laku, sikap, dan nilai khalayak. Dalam bahasa lain, Profesor Gerbner memberikan penegasan dalam penelitiannya berupa dampak yang di timbulkan televisi kepada khalayak.
Teori Kultivasi berpandangan bahwa media massa, yang dalam konteks teori ini adalah televisi, memiliki andil besar dalam penanaman dan pembentukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. “Menurut teori ini, televisi menjadi alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya”(Nurudin, 2004). Persepsi dan cara pandang yang ada dalam masyarakat, sangat besar dipengaruhi oleh televisi. Atau dalam kalimat lain, apa yang kita pikirkan adalah apa yang dipikirkan media massa.

Asumsi Analisis Kultivasi:
1.      Televisi secara esensi dan fundamental, berbeda dengan bentuk-bentuk media massa lainnya.
2.      Televisi membentuk cara berpikir dan membuat kaitan dari masyarakat kita.
3.      Pengaruh dari televise terbatas.

Proses dan Produk Analisis Kultivasi:
1.      Proses Empat Tahap;
a.       Analisis pesan.
b.      Formulasi pertanyaan mengenai realitas social penonton.
c.       Menyurvei khalayak.
d.      Membandingkan realitas social dari penonton kelas berat dan kelas ringan.
2.      Pengarusutamaan dan Resonansi;
a.       Pengarusutamaan; adalah kecenderungan bagi para penonton kelas berat untuk menerima realitas budaya dominan yang mirip dengan yang ditampilkan di televise walaupun hal ini sebenarnya berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya.
b.      Resonansi; adalah terjadi ketika realitas penonton yang sedang dijalaninya sesuai dengan realitas yang digambarkan di dalam media.

3.      Indek dunia yang kejam;
a.       Kebanyakan orang berhati-hati untuk diri mereka sendiri.
b.      Anda tidak dapat terlalu berhati-hati dalam berurusan dengan orang lain.
c.       Kebanyakan orang akan mengambil keuntungan dari Anda jika mereka memiliki kesempatan.

Kritik dan Penutup
Gerbner dan koleganya telah begitu berpengaruh dalam mengidentifikasikan televise sebagai kekuatan pembentuk di dalam masyarakat. Analisis Kultivasi membantu menjelaskan implikasi dari kebiasaan menonton, dan teori ini telah menjadi teori yang begitu popular dalam penelitian komunikasi massa. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jennings Bryant dan Dorina Miron (2004) yang menyurvei hamper 2.000 artikel yang diterbitkan oleh tiga jurnal ilmu komunikasi massa terkemuka sejak tahun 1956, Analisis Kultivasi adalah teori ketiga yang paling banyak digunakan setelah Uses and Gratifications dan Agenda setting.


BAB.23
Teori Kegunaan dan Gratifikasi (Use and Gratification Theory)--(Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974).
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl dalam Bungin, 2007): (1) Kebutuhan dasar tertentu, dalam interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan (3) struktur masyarakat, termasuk struktur media, menghasilkan (4) berbagai percampuran personal individu, dan (5) persepsi mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian persoalan, yang menghasikan (7) perbedaan pola konsumsi media dan ( perbedaan pola perilaku lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yang dapat memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula (11) struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam masyarakat.
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg digunakan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
 Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

BAB.24
Teori Spiral Keheningan (Spiral of Silence Theory)--(Elizabeth Noelle-Neuman (1976).
Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat umum ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang pendapatnya dalam hubungannya dengan pendapat orang-orang lain dalam masyarakat.
Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neuman (1976), berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya pendapat umum ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang pendapatnya dalam hubungannya dengan pendapat orang-orang lain dalam masyarakat.

Kesimpulan
a.         Latar Belakang:
Teori ini muncul karena orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas. Dapat dikatakan bahwa seseorang sering merasa perlu menyembunyikan “sesuatu”-nya ketika berada dalam kelompok mayoritas.

b. Asumsi dasar:
Media massa mempunyai dampak yang sangat kuat pada opini publik tetapi dampak ini diremehkan atau tidak terdeteksi di masa lalu karena keterbatasan riset. Dalam teori ini opini publik terbentuk melalui proses spiral kesunyian. Orang merasa perlu diam seandainya pendapat mayoritas bertolak belakang dengan dirinya. Bahkan ia merasa perlu merubah pendiriannya sesuai dengan kelompok mayoritas dimana dia berada kalau pendapat tersebut tidak merugikan dirinya.

c. Prinsip penting teori tersebut: [1] Media massa memainkan peran penting dalan spiral kesunyian karena media massa merupakan sumber yang diandalkan orang untuk menemukan distribusi opini public; [2] Media massa memainkan peran penting ketika orang berusaha untuk menentukan opini mayoritas; [3] Individu mempunyai organ indra yang mirip statistik yang digunakan untuk menentukan “opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan perilaku mana yang memperoleh dan kehilangan kekuatan.”; [4] Opini yang berkembang dalam kelompok mayoritas dan kecenderungan seseorang untuk diam karena berasal dari kelompok minoritas juga bisa dipengaruhi oleh isu-isu dari media massa; [5] Salah satu alasan individu-individu dari kelompok minoritas dan sedang berada dalam kelompok mayoritas merasa perlu untuk diam adalah dia tidak mau diisolasi dari pergaulan sosial dimana dia berada.

d.Kelebihan :
Dengan hadirnya teori ini, membantu kalangan minoritas secara tidak langsung.

e. Kelemahan :
Jika seseorang mempunyai keinginan yang kuat, maka orang tersebut tidak akan mudah mengikuti opini mayoritas yang ada di sekitar nya.

BAB.25
Teori Ekologi Media (Media Ecology Theory).
Menurut Marshall McLuhan, media elektronik telah mengubah masyarakat secara radikal. Masyarakat sangat bergantung pada teknologi yang menggunakan media dan bahwa ketertiban sosial suatu masyarakat didasarkan pada kemampuannya untuk menghadapi teknologi tersebut. Media membentuk dan mengorganisasikan sebuah budaya. Ini yang disebut Teori Ekologi Media.
Teori ini memusatkan pada banyak jenis media dan memandang media sebagai sebuah lingkungan. Menurut Lance Strate, ekologi media adalah kajian mengenai lingkungan media, ide bahwa teknologi dan teknik, mode (cara penyampaian), informasi, dan kode komunikasi memainkan peran utama dalam kehidupan manusia.
Harold Innis menyebut kekuatan membentuk yang dimiliki oleh teknologi terhadap masyarakat sebagai bias komunikasi. Orang menggunakan media untuk memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi dan karenanya mengubah susunan sosial dari sebuah masyarakat. Media komunikasi memiliki bias yang terdapat di dalam diri mereka untuk mengendalikan aliran ide di dalam sebuah masyarakat.

Asumsi Teori Ekologi Media
1)      Media melingkupi setiap tindakan di dalam masyarakat. Kita tidak dapat melarikan diri dari media. Bahkan McLuhan menyebut angka, permainan, dan uang sebagai mediasi. Media-media ini mentransformasi masyarakat kita melalui permainan yang dimainkan, radio yang didengarkan, atau TV yang ditonton. Pada saat bersamaan, media bergantung pada masyarakat untuk “pertukaran dan evolusi”.
2)      Media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman kita. Kita secara langsung dipengaruhi oleh media. Media cukup kuat dalam pandangan kita mengenai dunia. Kita tanpa sadar termanipulasi oleh TV. Sikap dan pengalaman kita secara langsung dipengaruhi oleh apa yang kita tonton di TV, dan sistem kepercayaan kita dapat dipengaruhi secara negatif oleh TV. McLuhan mempersepsikan TV sebagai hal yang memegang peranan penting dalam pengikisan nilai-nilai keluarga.
3)      Media menyatukan seluruh dunia. Media menghubungkan dunia. McLuhan menggunakan istilah desa global (global village) untuk mendeskripsikan bagaimana media mengikat dunia menjadi sebuah sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang besar. Manusia tidak lagi dapat hidup dalam isolasi, melainkan akan selalu terhubung oleh media elektronik yang bersifat instan dan berkesinambungan. Media elektronik memiliki kemampuan untuk menjembatani budaya-budaya yang tidak akan pernah berkomunikasi sebelum adanya koneksi ini.

Memahami Sejarah Media
1)      Era Tribal; Zaman di mana tradisi lisan dianut dan pendengaran merupakan indra yang sangat penting.
2)      Era Melek Huruf; Zaman di mana komunikasi tertulis berkembang pesat dan mata menjadi organ indra yang dominan.
3)      Era Cetak; Zaman di mana mendapatkan informasi melalui kata-kata tercetak merupakan hal yang biasa dan penglihatan merupakan indra yang dominan.
4)      Era Elektronik; Zaman di mana media elektronik melingkupi semua indra kita dan memungkinkan orang-orang di seluruh dunia terhubung.

Medium Adalah Pesan
Teori Ekologi Media dikenal karena slogan: medium adalah pesan. Frase tersebut merujuk pada kekuatan dan pengaruh medium terhadap masyarakat, bukan isi pesannya. Medium mampu mengubah bagaimana kita berpikir mengenai orang lain, diri kita sendiri, dan dunia di sekeliling kita. Akan tetapi McLuhan tidak mengesampingkan pentingnya isi. McLuhan merasa bahwa isi mendapatkan perhatian lebih dari kita dibandingkan dengan yang didapat medium. Walaupun sebuah pesan mempengaruhi keadaan sadar kita, medium lebih besar mempengaruhi keadaan bawah sadar kita.

Memperkirakan Temperatur: Media Panas & Media Dingin
            Media panas adalah media komunikasi definisi tinggi yang menuntut sedikit keterlibatan dari audiensnya. Makna pada dasarnya telah disediakan. Contohnya adalah film, radio, kuliah, buku, dan foto digital.
            Media dingin adalah media yang membutuhkan tingkat partisipasi yang tinggi dan rendah definisi. Sedikit yang disediakan oleh medium dan sangat banyak yang harus dilengkapi sendiri oleh audiens. Media dingin mengharuskan khalayak untuk menciptakan makna melalui keterlibatan indra yang tinggi dan imajinatif. Contohnya adalah kartun, percakapan, seminar, telepon, dan TV.

Lingkaran Telah Sempurna: Sebuah Tetrad
Dengan putranya, Eric McLuhan, McLuhan mengembangkan sebuah cara untuk melihat lebih jauh ke dalam efek teknologi terhadap masyarakat. Perluasan teorinya mencakup hukum media. Hukum media adalah perluasan lebih jauh dari Teori Ekologi Media dengan fokus pada dampak teknologi terhadap masyarakat.
Karya McLuhan dan putranya yang terakhir mempertimbangkan dampak dari internet dan membawa teori ini pada suatu lingkaran yang sempurna. Teknologi mempengaruhi komunikasi melalui teknologi baru, dampak dari teknologi baru mempengaruhi masyarakat, dan perubahan dalam masyarakat menyebabkan perubahan lebih jauh dalam teknologi. Mereka mengajukan tetrad sebagai konsep organisasi yang memungkinkan para ilmuwan untuk memahami dampak masa lalu, masa kini, dan terkini dari media. Mereka menawarkan empat hukum media yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan:
a.         Apakah yang ditingkatkan oleh media? Peningkatan (enhancement) adalah hukum yang menyatakan bahwa media menegaskan atau memperkuat masyarakat. Contohnya, telepon meningkatkan kata-kata lisan yang ditemukan dalam percakapan tatap muka. Radio memperkuat suara melampaui jarak. TV memperkuat kata-kata dan gambar visual melampaui benua. Internet meningkatkan beberapa fungsi indra sekaligus.
b.         Apakah yang dibuat ketinggalan zaman oleh media? Ketinggalan zaman adalah hukum yang menyatakan bahwa media menyebabkan sesuatu menjadi ketinggalan zaman. ContohnyaTV membuat radio ketinggalan zaman, walaupun banyak dari kita terus mendengarkan radio saat berkendara di mobil.
c.         Apakah yang diambil kembali oleh media? Pengambilan kembali adalah hukum yang menyatakan bahwa media menyelamatkan sesuatu yang tadinya hilang. Contohnya, TV membawa kembali pentingnya unsur visual yang tidak dapat dicapai oleh radio, tetapi yang dulunya ada di dalam percakapan tatap muka.
d.        Apakah yang diputarbalikkan oleh media? Pemutarbalikan adalah hukum yang menyatakan bahwa media akan menghasilkan atau menjadi sesuatu yang lain jika didorong mencapai batasnya. Contohnya, keinginan publik untuk memiliki akses terhadap hiburan dalam medium yang relatif murah mendorong terciptanya drama dan program komedi.

Membawa Panji McLuhan: Postman dan Meyrowitz
Neil Postman diakui telah memperkenalkan secara formal istilah ekologi media. Karyanya memunculkan sisi gelap dari McLuhan. Ia berhipotesis bahwa teknologi mengubah struktur masyarakat secara negatif. Alat-alat teknologi berfungsi untuk mengambil alaih budaya di mana mereka berada. Akibatnya, tradisi, adat-istiadat sosial, mitos, politik, ritual, dan agama harus berjuang demi kehidupan mereka.
Joshua Meyrowitz (1985) setuju dengan McLuhan bahwa media elektronik memiliki konsekuensi sosial. Meyrowitz memperluas pemikiran bahwa hubungan kekuasaan dan kelas sosial dapat dilacak ke media elektronik. Ia menggunakan penelitian sosiologi untuk menyimpulkan bahwa media telah menyebabkan buramnya peranan dan tempat yang tadinya jelas. Ini karena komponen-komponen tempat yang secara tradisional berhubungan satu sama lain telah dikacaukan oleh media elektronik. Kemudian apa yang tadinya bersifat pribadi, sekarang bisa menjadi konsumsi publik.





Kritik dan Penutup
    Heurisme
Ekologi Media dan tulisan-tulisan McLuhan disambut dengan antusias. Beberapa penulis menggunakan isu dan konsep teoretis McLuhan dalam penelitian mereka, tetapi integrasi ekstensif dari karya McLuhan belum muncul secarasignifikan dalam keilmuan. Karya McLuhan merepresentasikan pemikiran asli dan intelektual multisisi yang telah menjadi bagian dari warisan kita. Ia merupakan figur penting dalam pemahaman kita akan budaya, media, dan komunikasi akan tetapi nilai heuristik dari Teori Ekologi Media agak terbatas.

    Konsistensi Logis dan Kemungkinan Pengujian
Teori Ekologi Media dikritik karena banyak konsepnya sulit dipahami, sehingga kemungkinan pengujian teori ini menjadi hal yang menantang dan hampir tidak mungkin. Teori ini terlalu optimis mengenai peranan teknologi dalam masyarakat. McLuhan memberikan terlalu banyak penekanan pada seberapa banyak teknologi mempengaruhi masyarakat, membuat pondasi dari teori ini agak goyah (Baran & Davis, 2003).
Tidak ada bukti ilmiah yang dipertahankan atau direplikasi, induktif atau deduktif, yang hingga hari ini menjustifikasi slogan, metafora, atau ucapan mana pun dari McLuhan yang paling terkenal (George Gordon, 1982). McLuhan gagal mendefinisikan kata-katanya dengan hati-hati dan ia terlalu banyak menggunakan istilah yang dilebih-lebihkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI