Rangkuman : “Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Introducing Communication Theory: Analysis and Application)” Richard West & Lynn H. Turner. (BAB. VI) Oleh. I Dewa Ayu Hendrawathy Putri



Manajemen Makna Terkoordinasi (Coordinated Management of Meaning).
(CMM-W. Barnett Pearce & Vernon Cronen).
Banyak orang menganggap percakapan mereka sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya. Ketika orang berbicara satu sama lain, mereka sering kali mengikuti pola yang dapat ditebak, dan mereka bergantung pada norma sosial yang ada. Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce & Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi (Coordinated Management of Meaning-CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Aturan-aturan memainkan peranan yang penting dalam teori ini; para pencetusnya brpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita.

Asumsi-asumsi Teori Manajemen Makna Terkoordinasi;
CMM berfokus pada diri dan hubungannya dengan orang lain; serta mengkaji bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Teori ini penting karena berfokus pada hubungan antara individual dengan masyarakatnya (Philipsen, 1995,  dalam West & Turner, 2009:115-116). Jika kita kembali melihat metafora mengenai teater, pertimbangkan bahwa semua aktor harus dapat berimprovisasi menggunakan pengalaman-pengalaman acting pribadinya, serta merujuk pada naskah yang mereka bawa dalam drama tersebut.
Manusia, karenanya mampu menciptakan dan menginterpretasikan makna. Selain itu, juga terdapat beberapa asumsi :
(1)         Manusia hidup dalam komunikasi.
Asumsi pertama dari CMM merupakan pentingnya komunikasi, yaitu manusia hidup dalam komunikasi. Sekilas, premis ini memberikan pernyataan yang sedikit aneh mengenai komunikasi: fakta bahwa manusia mendiami proses komunikasi. Akan tetapi Pearce (1989) berpendapat bahwa “komunikasi adalah, dan akan selalu ada , menjadi lebih penting bagi manusia dari yang seharusnya”. Lebih jauh lagi, para teoritikus CMM meminta adanya pengujian ulang mengenai bagaiman individu-individu memandang  komunikasi karena “sejarah intelektual Barat cenderung menggunakan komunikasi seakan-akan komunikasi adalah sarana penyampaian pemikiran dan ekspresi yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa (Pearce, 1989, hal.7). Pearce dan Cronen menyatakan menyatakan bahwa komunikasi harus ditata ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks demi memahami perilaku manusia. Ketika para peneliti memulai perjalanan dan pendefinisian ulang ini, mereka mulai mereka mulai menyelidiki sifat konsekuensial komunikasi (bahwa komunikasi selalu memiliki konsekuensi), dan bukannya perilaku atau variable yang menyertai proses komunikasi (Cronen, 1995a).


(2)   Manusia saling menciptakan realitas.
Asumsi kedua dari CMM adalah bahwa manusia saling menciptakan realitas sosial. Kepercayaan bhawa orang-orang saling menciptakan realitas sosial mereka dalam percakapan tersebut sebagai konstruksionisme sosial (social constructionism). Cronen, Chen dan Pearce (1988) menyatakan bahwa “terkadang tampaknya individu-individu berkomunikasi untuk mengekspresikan emosi mereka dan untuk merujuk pada dunia di sekeliling mereka”. Terkadang pengalaman-pengalaman komunikasi ini cukup lancar; pada saat lainnya menyulitkan. Sebagaimana dinyatakan oleg Gerry Philipsen (1995), “banyak interaksi menjadi lebih banyak kacau dari pada teratur, dan lebih sering kikuk dari pada elegan” (hal. 19).
(3)           Transaksi informasi bergantung kepada makna pribadi dan interpersonal.
Asumsi ketiga yang ada dalam teori CMM berkaitan dengan cara orang mengendalikan percakapan. Pada dasarnya, transaksi tergantung pada makna pribadi dan interpersonal, sebagaimana dikemukakan oleh Donald Cushman dan Gordon Whiting (1972). Makna pribadi (personal meaning) didefinisikan sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan yang lain sambil membawa pengalamannya yang unik ke dalam interaksi. Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah mencapai makna interpersonal (interpersonal meaning). Cushman dan Whiting (1972) berpendapat bahwa makna interpersonal dapat dipahami dalam berbagai macam konteks, termasuk keluarga, kelompok kecil, dan organisasi.

Ketiga asumsi ini membentuk suatu latar untuk mendiskusikan Manajemen Makna Terkoordinasi.
Sebagaimana diindikasikan oleh ketiga asumsi ini, teori ini didasarkan pada konsep-konsep komunikasi, realitas sosial, dan makna. Selain itu kita dapat memahami teori ini dengan lebih baik dengan cara mengamati beberapa isu lain dengan lebih mendalam. Salah satu isu ini adalah bagaimana makna dikategorikan.

Seluruh Dunia adalah Sebuah Panggung
Hidup ini diibaratkan sebagai “teater tanpa sutradara”. Manusia di dalam teater (hidup) tersebut berperan sebagai aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis. Drama yang dimainkan adalah realitas hidup mereka. Sehingga, manusia dalam hidupnya secara tidak sadar seakan-akan menyutradarai hidupnya sendiri bagai sebuah teater disamping mereka menjadi aktor utama dalam hidupnya tersebut. Dan kemudian mereka memaknai drama yang dimainkan tersebut dengan mengkoordinasikan makna yang dimiliki masing-masing individu menjadi makna yang sama merujuk pada naskah drama yang dimainkan.

Hierarki dari Makna yang Terorganisasi
Para teoritikus manajemen makna terkoordinasi mengemukakan enam elemen makna, yaitu:
1)      Isi (content), merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
2)      Tindak tutur (speech act), merujuk pada tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara termasuk memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan dan bertanya.
3)      Episode (episode), merujuk pada rutinitas komunikasi memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas.
4)      Hubungan (relationship), dapat diartikan sebagai kontrak kesepakatan dan pengertian antara dua orang di mana terdapat tuntunan dalam berperilaku.
5)      Naskah kehidupan (life scripts), merujuk pada kelompok-kelompok episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu system makna yang dapat dikelola bersama dengan orang lain.
6)      Pola budaya (cultural pattern), merujuk pada gambaran mengenai dunia dan bagaimana berhubungan seseorang dengan hal tersebut.

Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi (coordination) ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Hasil yang mungkin dalam perbincangan ada tiga, yaitu: mencapai koordinasi, tidak mencapai koordinasi, atau mencapai koordinasi pada tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Dari ketiga hasil tersebut yang paling mungkin adalah mencapai koordinasi pada tingkat tertentu karena sulit untuk mencapai koordinasi yang sempurna dan menyeluruh.

Pengaruh Terhadap Proses Koordinasi
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas dan ketersediaan sumber daya. Moralitas harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih penting dan lebih tinggi. Hal ini didasari bahwa setiap orang membawa berbagai tingkat moral kedalam percakapan. Selain moralitas, koordinasi juga dipengaruhi sumberdaya (resources), mereka merujuk pada cerita, gambar, simbol, dan institusi yang digunakan orang untuk memaknai dunia mereka (Pearce, 1989)

Aturan dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah satu cara yang digunakan individu untuk mengelola dan mengkoordinasikan makna adalah melalui penggunaan aturan. Ada dua tipe aturan: pertama, aturan konstitutif yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan dalam suatu konteks. Aturan ini memberitahukan kita makna dari suatu perilaku tertentu. Sedangkan yang kedua, aturan regulative yang merujuk pada urutan yang dilakukan seseorang, dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan. Aturan ini memberikan tuntunan kepada orang untuk berperilaku. Suatu ketika ada batasan antara aturan konstitutif dan regulatif selama digunakan dalam proses percakapan, apabila terjadi perseteruan akan timbul pola berulang yang tidak diinginkan (unwanted repetitive patterns), atau konflik yang berulang dan tidak diinginkan yang terjadi dalam sebuah hubungan.

Rangkaian Seimbang dan Rangkaian Tidak Seimbang
Sebelumnya kita telah mengetahui enam elemen makna yang apabila disusun dari level yang lelah tinggi ke level yang lebih rendah: pola budaya, naskah kehidupan, hubungan, episode, tindak tutur dan isi. Ketika rangkaian berjalan dengan konsisten melalui tindakan-tindakan yang ada dalam hierarki maka disebut rangkaian seimbang (charmed loop). Dan suatu ketika, beberapa episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih tinggi didalam hierarki yang ada maka hal tersebut dinamai rangkaian tidak seimbang (strange loop).

Kesimpulan
Ruang Lingkup
Tidak jelas  apakah CMM dapat dianggap memiliki ruang lingkup yang terlalu luas. Beberapa peneliti komunikasi (misalnya Brenders, 1987) menyatakan bahwa teori ini terlalu abstrak dan didalamnya terdapat definisi-definisi yang tidak tepat. Selain itu, Brenders juga melihat bahwa pada beberapa ide yang dikemukakan oleh Pearce & Cronen terdapat kekuarangan tolok ukur dan harus lebih diklarifikasi. Adanya system bahasa yang personal dalam teori ini, menurut Brenders, menimbulkan masalah dan “tidak menjelaskan sifat sosial sebuah makna” (hal. 342).
Sebaliknya, para teoritikus CMM berargumen bahwa kritik ini tidak mempertimbangkan evolusi yang dialami oleh teori ini serta perbaikan-perbaikan yang terjadi sejalan dengan waktu (Barge & Pearce, 2004). Pearce dan Cronen melihat bahwa para kritikus lupa bahwa mereka dididik dengan menggunakan tradisi empiris. Oleh karena itu, para kritikus harus menginterpretasikan teori ini berdasarkan adanya semangat perubahan yang terjadi; bahkan para teoritikus juga ikut berubah ketika tujuan yang ingin dicapai  oleh teori mereka semakin jelas. Selain itu Cronen (1995b) mengakui adanya masalah-masalah awal yang muncul dalam konseptualisasi CMM dengan menyatakan cara ia dan Pearce mendiskusikan penciptaan makna pada awalnya membingungkan dan “kurang terarah”.

CONTOH KASUS:
Yanto tak bisa menyembunyikan ketegangannya. Wajar, inilah kali pertama dia ketemu dengan calon mertuanya. ”Nak Yanto kerja di mana,” tanya calon mertuanya. Sarjana Ekonomi itu sedikit gugup, meski sudah memperkirakan akan ditanya soal itu. ”Ehm, saya sedang merintis bisnis telekomunikasi, Pak. Saya membuka kios seluler.”
”Omsetnya udah sampai berapa?” Yanto diam sejenak, menyiapkan jawaban yang paling tepat. ”Sekarang ini sih belum terlalu banyak, tapi proyeksi saya bulan-bulan mendatang insya Allah akan lumayan, karena saya sudah mendapat mitra kerja yang menguntungkan.” Yanto mencoba mengalihkan pembicaraan, karena dia merasa belum ada yang bisa dibanggakan dari usahanya. ”O ya, sini masuk kelurahan mana ya Pak?”
Seiring dengan menjamurnya berbagai tayangan infotainment di televisi, maka kehidupan keluarga dan berbagai peristiwa yang semula tersembunyi di ruang-ruang privat seseorang kini semakin terbuka dan dapat diketahui oleh siapa saja. Tidak hanya para artis, selebritis dan public figure yang kehidupan pribadinya menjadi komoditas tontonan di layar kaca. Kini masyarakat umum yang tidak dikenal pun bisa menayangkan kehidupan dan masalah pribadinya melalui berbagai tayangan berbungkus reality show di televisi.
Salah satu menu infotainment maupun reality show yang sering menjadi incaran wartawan adalah masalah keluarga. Perceraian pasangan selebritis, pertengkaran antara ibu dan anak, dan sebagainya sering mengkambinghitamkan komunikasi yang tidak lancar sebagai pokok penyebab permasalahan mereka.
Teori coordinated management of meaning berusaha membuat kehidupan menjadi lebih baik melalui penataan kehidupan komunikasinya, seperti yang dilakukan Yanto pada contoh di atas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI