KAPITA SELEKTA (URAIAN TEORI KRITIS) Oleh. I DA Hendrawathy Putri
1.
Marxis Klasik
Paham Marxisme
klasik akan mengacu pada pandangan tentang teori-teori yang dikemukan oleh Karl
Marx (1818-1883). Marxisme klasik dianggap sebagai paham awal yang dijelaskan
oleh Marx, sebelum kemudian dikembangkan lagi oleh para pengikutnya setelah
itu, yang kemudian disebut dengan Neo Marxisme.
Marx memulai
teorinya ketika memunculkan karangan berjudul The Communist Manifesto tahun 1888 dan Das Kapital tahun 1909. Buku ini muncul justru setelah Marx
meninggal dunia. Miller (2002;61) menjelaskan bahwa pemikiran Marx sangat
dipengaruhi oleh ide-ide yang dikemukakan oleh Hegel mengenai ketegangan antara
pengalaman subjektif internal dan dunia luar dengan kondisi alami dari
ketegangan itu sendiri. Marx percaya bahwa dunia luar adalah sesuatu yang
diciptakan manusia, kemudian mengkonstruksinya dan membuatnya terlihat seperti
objektif dan terpisah dari subjektifitas individu. Proses melakukan
objektifikasi dan reifikasi, terkadang justru mengesampingkan sumber-sumber
yang mendasar.
Teori dari Marx
(Burnell dan Morgan, 1979;281) memulai dari premis keterasingan manusia. Marx
melihat bahwa masyarakat dalam hari-harinya lebih didominasi oleh
pengalaman-pengalaman kemanusiaan; merefleksikan penciptaan sosial secara
objektif sebagai sebuah pemaksaan keterasingan, mendominasi esensi alam dan
keberadaaan. Asumsi dasar dari keterasingan manusia ini adalah
individu-individu menjadi terasing ketika ada kondisi yang terstruktur yang
mengambil indepedensi individu dari harapan dan kebutuhan dasarnya; masyarakat
menganggap terjadinya kontrol atas prilaku manusia.
Marx lebih
lanjut menegaskan bahwa kondisi keterasingan ini dalam sejarah kehidupan
manusia-sejalan dengan pertumbuhan kapitalisme dan industrialisasi. Secara khusus, Marx kemudian mengembangkan
pemikirannya dari seorang yang idealis yang menekankan keteraturan dalam
penciptaan dan reifikasi dunia sosial dan tekanan dialektik pada keterasingan
yang muncul dari proses tersebut. Sebagai gantinya, setelah keluar dari
kerangka epistemologinya, Marx lebih banyak menguraikan soal realitas dan
interpretasi materialis dari dunia sosial. Inti dari pendapatnya adalah pembedaan
antara substruktur dan superstruktur dari masyarakat (Miller, 2002;62).
Substruktur
yang dimaksud Marx disini adalah faktor ekonomi dan produksi sebagai dasar dari
masyarakat dan termasuk semua moda-moda produksi, seperti komunisme dan
kapitalisme. Termasuk juga pemaknaan terhadap produksi itu sendiri. Dalam Marxisme
klasik, basis ekonomi dalam masyarakat menciptakan supra-struktur
(politik-ideologi dll)—hubungan-hubungan ekonomi menghasilkan fenomena-fenomena
sosial, budaya dan politik yang meliputi semua hal termasuk diantaranya
ideologi, kesadaran politik hingga budaya yang berhubungan dengan media. Faktor ekonomi dasar dan perbedaan antar kelas
dalam sebuah masyarakat adalah inti dari Teori Marxis Klasik. Sementara untuk
aspek supra struktur adalah faktor-faktor non ekonomi seperti agama, ideologi,
politik, seni, dan lainnya.
Atas dasar itu
tampak bahwa ekonomi adalah dasar dari semua struktur sosial. Dalam sistem
kapitalis, keuntungan mendorong produksi, suatu proses yang berakhir dengan
menekan buruh atau pekerja. Tetapi, ketika buruh atau pekerja menentang
kelompok-kelompok dominan, pada saat itulah cara-cara produksi dapat diubah dan
kebebasan pekerja bisa dicapai (Littlejohn, 2009;69).
Dalam memandang
masyarakat, dari perspektif keilmuan sosial, Marxis klasik memiliki tiga asumsi
dasar yang disebutnya tiga unsur utama (Outhwaite ed., 2008;496-497).
a.
Analisis
terhadap tipe masyarakat dan suksesi historisnya, sangat tergantung pada
struktur ekonomi atau mode produksi sebagai penentu seluruh kehidupan sosial.
Mode produksi kehidupan material akan menentukan akan menentukan karakter umum
dari proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Mode produksi ini
didefinisikan dalam dua faktor yaitu, kekuatan produksi dan relasi produksi.
Dari sinilah munculnya dua ide dasar dari teori Marxis yaitu, periodesasi
sejarah (materialisme historis) dan konsep peran kelas sosial dalam membangun
dan mengubah struktur sosial.
b.
Skema
yang menjelaskan perubahan dari tipe suatu masyarakat ke tipe lain. Ada dua
proses penting didalam ini yaitu, perubahan dilahirkan oleh kemajuan teknologi
dan perubahan (transformasi) sosial adalah akibat perjuangan kelas yang sadar.
Marx menegaskan bahwa dua proses tersebut saling berkaitan, karena perkembangan
kekuatan produksi terkait dengan perkembangan kelas baru, dan kelas dominan
yang ada akan menghalangi perkembangan selanjutnya.
c.
Analisis
kapitalisme modern. Kapitalisme adalah bentuk final dari masyarakat kelas,
dimana konflik antara kelas borjuis dan proletar semakin sengit seiring dengan
kontradiksi ekonomi dalam kapitalisme yang menghasilkan krisis dan sosialisasi
ekonomi yang dipercepat oleh perkembangan kartel dan tingkat kepercayaan.
Gagasan dari
Marx kemudian mengilhami banyak pihak lain dan mengembangkannya sendiri sebagai
bentuk interpretasi. Akan tetapi, jika membicarakan gagasan utama dari Marxis
Klasik maka akan mengacu pada pola hubungan antar kelas dalam kaitan dengan
perkembangan industrialisasi dan kapitalisme. Gagasan inilah yang kemudian
memunculkan teori Materialisme Historis yang menyatakan masyarakat
ditentukan secara fundamental oleh kondisi material dalam waktu tertentu. Ini
berarti hubungan dimana masyarakat saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan
pokok mereka, misalnya makanan dan minuman. Inti dari pemahaman inilah yang
kemudian memunculkan lima tahapan pembangunan berdasarkan kondisi-kondisi
material. Pemikiran ini merupakan dialektika antara Marx sendiri dengan
Friedriech Engel (Outhwaite
ed., 2008;496-497). Lima tahapan tersebut adalah :
1.
Primitive Communism, sebagaimana dapat dilihat
di kerjasama masyarakat suku (Cooperative Tribal Society).
2.
Slave Society, yang terbangun setelah
suku-suku berubah menjadi negara kota. Disinilah para aristokrat lahir.
3.
Feudalism, yaitu dimana para aristokrat
menjadi golongan yang berkuasa (ruling class), dan para pedagang mulai berubah
menjadi kapitalis.
4.
Capitalism, para kapitalis menjadi golongan
yang berkuasa, yang memciptakan dan mempekerjakan kelas pekerja yang
sesungguhnya.
5.
Socialism (Dictatorship of the Proletariat),
yaitu saat ketika para pekerja meraih kesadaran kelas (Class Consciousness),
menyingkirkan para kapitalis, dan mengambil alih kendali negara.
6.
Communism, yaitu sebuah masyarakat tanpa kelas
(Classless) dan tanpa negara (Stateless).
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat ditarik beberapa hal penting bahwa teori Marxis Klasik
memiliki tiga aspek utama yaitu :
a.
Materialisme
Sejarah dan Dialektis Konsep Masyarakat .
b.
Perubahan Kelas
Sosial sebagai Perjuangan kaum proletar
c.
Analisis dan
Kritik Terhadap Kapatalisme.
Sementara jika
dilihat dari prinsip dasar gagasan utama Marxisme Klasik adalah :
a. Ekonomi adalah dasar dari semua struktur
sosial
b. Dalam struktur ekonomi masyarakat selalu
terdapat substruktur dan supra struktur (Perbedaan kelas kaum
pekerja (proletar) dan kaum pemilik modal (borjuis)).
c.
Perubahan sosial
bisa terjadi karena :
i.
Adanya
perkembangan teknologi baru
ii.
Adanya kesadaran
kelompok pekerja untuk melawan struktur dari kaum pemilik modal (revolusi)
Sementara teori penting yang muncul
dari gagasan Marxis klasik adalah Teori Materialisme Historis. Teori ini
sendiri bisa dikelompokkan ke dalam tradisi teori kritis. Dasarnya adalah, Marx
berusaha mengkritik realitas yang terjadi saat itu di Eropa yang sangat
dipengaruhi oleh paham-paham fungsionalisme dan selalu mendorong pada situasi
keteraturan dan harmonis. Situasi inilah yang ditentang oleh Marx sehingga
teori Marx juga kerap disebut sebagai Teori Konflik.
Tokoh yang bisa disebut sebagai
pengembang teori ini adalah Karl Marx sendiri, Friedrich Engel, dan Lenin di
Rusia. Khusus Lenin, ia mengambil gagasan Marx sebagai sebuah pandangan
filsafat yang mendasarinya untuk mengembangkan ide “kesadaran Sosialis” yang
dimasukkan ke dalam kelas pekerja oleh pihak luar. Inilah yang kemudian dipakai
dalam sistem ekonomi Uni Sovyet sebelum pecah. Sebelum Lenin, di Rusia terlebih
dahulu dipopulerkan oleh Plenakov sebagai landasan filsafat kaum revolusioner
dalam menentang munculnya kapitalisme baru.
Oleh karena itu, jika dirinci beberapa
tokoh yang mengembangkan Marxis klasik adalah :
a. Karl Marx
b. Friedrich Engel
c.
Plekanov
d. Lenin
e. Stalin
f.
Mao Tse Tung (Mao
Ze Dong)
g. Louis Althuser
Para tokoh di
atas (selain Marx) yang kemudian banyak mengadopsi pemikiran Marx dan
menerapkannya di ranah masing-masing. Uni Sovyet yang kemudian menjadi daerah
dengan tema-tema sosialis adalah bentuk utama penerapan gagasan Marx. Hal yang
sama kemudian juga mengilhami pemikiran Mao Tse Tung yang menerapkannya di
China sehinga muncul paham Moisme.
Maoisme
menyebutkan perlunya melakukan “Sicnification
of Marxism” yaitu perlunya mengadaptasikan Marxisme dalam kondisi China (Outhwaite ed., 2008;484). Konsep inilah yang menjadi tema utama
kampanye Mao, yaitu pembentukan ulang ideologi, proses studi kelompok kecil dan
swa kritik untuk melahirkan perubahan dalam sikap dan gaya kerja. Mao kemudian
menyebutkan istilah “sentralisme demokratik”, yaitu kekuatan kontrol dari
pusat. Ia menyebutnya sebagai “jalan menuju Sosialisme China.”
Pemikir lain yang
juga menganut Marxis klasik adalah Louis Althuser (1918-1990). Pemikiran
Althuser berasal dari Marxis dengan kecondongan Strukturalis. Gagasan utamanya
adalah sikapnya yang anti humanisme. Ia menentang gagasan bahwa individu itu
ada sebelum munculnya kondisi-kondisi sosial. Althuser menggambarkan masyarakat
sebagai satu kesatuan struktural yang tersusun dari tingkatan-tingkatan otonom
yang cara efektifitasnya sangat ditentukan oleh faktor ekonomi (Lechte,
2001;64).
Sebenarnya
gagasan Marx mengilhami munculnya pemikir-pemikir lain. Akan tetapi beberapa
tokoh yang konsisten dengan gagasan Marx klasik adalah sebagaimana disebut di
atas. Para tokoh tersebut (sebagian adalah pemimpin politik di negaranya)
memberikan pengaruh besar dalam menyebarluaskan gagasan Marx. Indonesia sendiri
juga demikian, dimana tampaknya dari kuatnya gerakan paham komunis di Indonesia
semasa orde lama. Pemikiran Tan Malaka dalam bukunya Madilog juga memperlihatkan gagasan Marx sebagai akar pemikirannya.
Hanya saja gagasan Marxis klasik banyak dikritik oleh berbagai pihak, kendati
kemudian mereka mengembangkan gagasan baru namun bersumber dari pemikiran Marx.
Hal inilah yang kemudian memunculkan kaum Neo Marxis.
b.
Neo Marxis
Sebagaimana
disebutkan di awal bahwa teori Marxis klasik juga mendapatkan kritik atau lebih
tepatnya mengalami pengembangan dari apa yang ditegaskan oleh Marx pada
mulanya. Gagasan baru inilah yang kemudian melahirkan kelompok yang disebut
dengan Neo Marxis. Kelompok yang melakukan pengembangan dari karya Marx, yang
memberikan perluasan pada bidang-bidang lain.
Gagasan dari para
penganut Neo Marxis sebenarnya masih mengambil titik pijak dari Marx sendiri,
namun kemudian mengalami pengembangan pada beberapa sisi. Ada perubahan dari
bentuk orisinilnya yang sangat “deterministik”, sehingga kemudian disebut juga
dengan marxisme kultural. Neo Marxisme juga mengkaji soal hubungan antara yang
berkuasa dengan tidak berkuasa, akan tetapi lebih menekankan pada isu-isu yang
berhubungan dengan penggunaan media, teknologi, dan praktek waktu luang umumnya
(Hardt, 1992;viii).
Pemikiran Neo
Marxis kemudian ada juga yang disebut penganut Mazhab Frankfurt. Tetapi, tidak
semua penganut Neo marxis adalah kelompok Frankfur. Namun kelompok Frankfur
sudah bisa dipastikan adalah kalangan Neo marxis. Kelompok Neo Marxis dibedakan
dari Frankfurt untuk memberikan batasan dan memperlihatkan sejarah pergerakan
ide-ide dari masing-masing tokohnya.
Aspek-aspek utama
Hal dasar dari
kalangan Neo Marxis terletak pada kritiknya terhadap pandangan Marx klasik. Yang
pertama adalah soal kekuasaan. Neo marxis memfokuskan bahwa soal kekuasaan tidak
hanya soal ekonomi, namun juga soal media massa, teknologi, dan kegiata
lainnya. Stuart Hall adalah orang yang membicarakan soal ini. Sementara itu
Korsch (1938) yang menyatakan bahwa tendensi utama dari materialisme historis
tidak lagi filosofis, tapi metode ilmiah empiris. Hal ini kemudian menjadi fokus pada neo marxis
bahwa materialisme juga harus dilihat dari aspek humanisme, tidak hanya
berdasarkan pendekatan empiris belaka.
Dana
Cloud (Littlejohn, 2009;470) mengatakan bahwa popularitas dari kritik
konstruksionisme sosial-alur pemikiran yang menyimbolkan pembentukan dunia
kita-adalah enggan untuk berpendapat bahwa kondisi politik dan materi dikaitkan
dengan teks. Materi untuk kebanyakan orang bukan lagi kondisi fisik dari dunia,
tetapi juga wacana dan teks. Fokus bagi Cloud adalah kembali kepada marxis yang
mendasari kondisi fisik dan ekonomi tanpa mengabaikan peran wacana yang
mempengaruhi semua kondisi yang ada.
Marxis pada
periode neo marxis ini terbagi menjadi dua pemikiran yaitu, Marxisme barat dan
Marxisme Sovyet. Kelompok barat lebih humanis, demokratis dan emansipatoris.
Penekanannya adalah pada kesadaran dan tindakan individu dan kelompok sosial. Kelompok Sovyet lebih menekankan pada sisi
ilmiahnya, dan pada skema konseptual dan teori pengetahuan yang mendasarinya.
Paham neo
marxis kemudian juga terus berkembang dan terus menunjukkan peningkatan
argumennnya. Sampai sekarangpun, kelompok neo marxis dalam bentuk kajian-kajian
media studies dan culture studies juga terus eksis, bahkan mempelopori
kajian-kajian posmodernisme. Dengan kata lain, sulit membatasi neo marxis hanya
pada tataran waktu tertentu. Ia terus berkembang hingga saat ini dan
seterusnya.
Apabila
dirincikan maka aspek utama kajian pada kelompok neo marxis adalah dari sisi :
§
Fokus
kajian saat ini bukan hanya soal ekonomi antara yang berkuasa dan yang
dikuasai, namun lebih jauh lagi adalah soal-soal perkembangan kontemporer
seperti teknologi, media massa, ideologi, dan pertarungan wacana.
§
Penyelesaian
masalah dengan perubahan sosial, tidak selamanya dengan perbenturan antara kaum
pekerja dengan pemilik modal, namun menekankan pada bagaimana akses bisa
dimasuki semua pihak dengan menggunakan pendekatan yang lebih lunak.
§
Penguasaan
dari kalangan pemilik modal saat ini menggunakan pola-pola hegemoni
(sebagaimana dilansir oleh Gramsci) dengan menguasai wacana-wacana publik.
§
Kajian
budaya adalah aspek penting yang harus dipahami lebih lanjut, karena disini
juga berlangsung hegemoni kekuasaan melalui berbagai media budaya, seperti
linguistik, sastra, antropologi dan sejarah.
Prinsip-Prinsip
Utama
Dikarenakan kaum neo marxis beranjak dari pandangan dan
kritik terhadap Marx, maka prinsip-prinsip dasar dalam penekanan yang dilakukan
oleh penganutnya, juga tidak jauh berbeda. Hanya saja, pada beberapa hal ada
prinsip-prinsip dasar yang memperlihatkan karakteristik kelompok ini.
§
Media
massa adalah forum publik majemuk, dimana berbagai kekuatan berjuang untuk
membentuk pengertian-pengertian populer mengenai keberadaan sosial.
§
Budaya
rakyat adalah budaya tinggi yang harus diperjuangkan, sementara budaya massa
adalah budaya yang dikembangkan oleh kaum kapitalis untuk melakukan hegemoni
terhadap budaya rakyat.
§
Budaya
populer “adalah pijakan ketika transformasi bekerja”, akan tetepi elit memang
terus mendapatkan banyak keuntungan dalam perjuangan untuk mendefinisikan
realitas sosial. Kelompok-kelompok tandingan harus bekerja keras untuk
mengatasi upaya elit mengangkat ediologi mereka dapat gagal, dan upaya yang
terencana baik untuk mempromosikan perpektif alternatif dapat berhasil, bahkan
melawan rintangan-rintangan besar. Meskipun demikian, keuntungan yang dinikmati
elite memungkinkan mereka untuk terus mencengkramkan kekuasaan mereka untuk
jangka panjang.
§
Seseorang
tidak akan menjadi teoritikus sosial yang baik kecuali secara pribadi memiliki
komitmen untuk menghasilkan perubahan. Hal ini dipentingkan karena teoritikus
ini biasanya membuat analisis objektif
mengenai gerakan dan budaya gerakan menjadi sulit.
§
Para
elite cenderung berusaha mendapatkan keuntungan dari kegiatan budaya populer
untuk mencengkeramkan kekuasaannya dalam jangka waktu yang panjang.
Asumsi
Dasar
Berdasarkan prinsip-prinsip neo marxis yang dijelaskan di
atas, tampak bahwa wilayah kajian kelompok ini memang lebih cenderung melihat
pada sisi kekuatan ideologi dan pengaruh media massa dalam menciptakan budaya
populer. Pertarungan kuasa tidak lagi antara buruh dan majikan, namun pada soal
kekuatan ideologi yang dibawa media dengan budaya rendah yang dimiliki
masyarakat. Oleh karena itu asumsi-asumsi dasarnya adalah :
§
Senantiasa
terjadi dominasi kelompok elite dengan menggunakan media massa.
Media
massa dianggap bukan lagi wilayah yang netral. Melalui media massa lah
paham-paham budaya baru diperkenalkan dan dijadikan ajang untuk melakukan
hegemoni. Gramsci, Stuart Hall, O Connor adalah pemikir yang banyak membahas
wilayah ini.
§
Perkembangan
budaya populer adalah bentuk penguasaan gaya baru yang lebih menekankan pada
pengaruh-pengaruh secara ideologis. Hal ini menjadi titik fokus karena ranah
media sudah menjadikan berbagai bentuk pertukaran ideologi yang sepertinya
tidak memiliki batasan yang jelas. Ahli-ahli yang bicara mengenai ini seperti
Dennis Mc Quail, John Fiske, Foucoult, Derida, dan sebagainya. Banyak juga
dikembangkan oleh tradisi Posmodernisme.
§
Kritik
budaya bisa memunculkan tranformasi radikal dalam kelompok super struktur. Hal
ini terutama ditekankan oleh Stuart Hall, Raymond William, O Connor.
§
Reformasi
yang sederhana dapat menghasilkan perubahan yang lebih berguna. Hal ini untuk
menegaskan bahwa beberapa konsep Marx klasik yang diadopsi oleh beberapa
pemimpin besar seperti Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, tidak selamanya harus
diterapkan. Ada penyesuaian karena perkembangan teknologi dan media massa.
§
Ideologi
adalah citra, konsep, dan premis yang menyediakan kerangka melalui apa kita
merepresentasikan, menafsirkan, mengerti, dan memahamahi aspek keberadaan
sosial. Kelompok ini banyak dikembangkan oleh kalangan posmodernisme dalam
bentuk Culture Studies.
Teori-teori
yang dikembangkan
Teori yang dikembangkan dalam kelompok neo marxis sangat
dinamis, dalam arti kata berkembang terus hingga era kontemporer saat ini. Pada
saat sekarang lebih banyak dibahas pada sisi Culture Studies dan Media Studies.
Oleh karena itu beberapa teori yang muncul seperti :
§
Teori
Hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori yang menekankan adanya proses penguasaan
kepada kelompok masyarakat dari berbagai metode dan cara. Pemanfaatan media
massa adalah salah satuya. Disinilah kapitalisme bermain untuk menanamkan
ideologinya.
§
Teori
Media Studies. Teori ini banyak dikembangkan oleh kelompok posmodernisme
semacam Derida, Boudrillard, Fiske, Lyotard, Sausure, dan sebagainya.
§
Teori
Genealogi Kekuasaan yang dikembangkan oleh Michel Foucoult. Teori ini
menekankan pada adanya model-model penciptaan kekuasaan melalui relasi media,
bahasa, dan ilmu pengetahuan.
§
Culture
Studies yang juga dikembangkan oleh kelompok posmodernisme semacam Fiske,
Umberto Eco, Roland Barthes dan lain sebagainya.
§
Teori
Analisis Wacana Kritis (Critical
Discourse Analisys) dari Norman Fariclough ataupun dari Teun A van Dijk
yang menekankan pada keharusan membongkar berbagai ideologi media massa.
Pemikir
dan Penganutnya
Pada bagian atas sebenarnya sudah disebutkan beberapa
kutipan pendapat dari para ahli yang termasuk dalam kelompok neo marxis.
Sebenarnya paham neo marxis ini memiliki korelasi yang kuat dengan Mazhab
Franfurt. Bahkan beberapa literatur juga menyamakan antara neo marxis dengan
Mazhab Frankfurt. Oleh karena itu, kutipan yang diambil dari materi ini
berusaha untuk melakukan pemilahan walaupun masih ditemukan kesamaan dengan
Frankfurt. Beberapa pemikir yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan
neo marxis adalah :
§
Stuart
Hall (1982) yang banyak mengkaji soal analisis media massa dengan menentang
gagasan efek terbatas dari media massa. Ia lebih cenderung mengatakan bahwa
media dalam forum publik yang majemuk, merupakan ajang pertarungan berbagai
kepentingan.
§
Graham
Murdock (1986) memfokuskan pada pemaksaan budaya-budaya populer kepada kaum
minoritas. Ini dianggap sebagai permainan kuasa yang dilakukan oleh ragam
kepentingan.
§
O’Connor
(1989) yan menekankan pada aspek keterlibatan teoritikus sosial dalam
gerakan-gerakan radikal. Ia berasumsi bahwa perubahan sosial, harus juga
didorong dengan keterlibatan aktif para teoritikus sosial tersebut.
§
Antonio
Gramsci dengan teori Hegemoni juga mendasarkan diri pada pandangan neomarxis.
Ia menekankan pada aspek adanya kekuatan hegemoni melalui media massa dan
kajian budaya.
§
Korsch (1938)
yang menyatakan bahwa tendensi utama dari materialisme historis tidak lagi
filosofis, tapi metode ilmiah empiris.
Ini jelas sebuah pengembangan dari paham Marxis klasik.
§
Dana Cloud yang
mengatakan bahwa popularitas dari kritik konstruksionisme sosial-alur pemikiran
yang menyimbolkan pembentukan dunia kita-adalah enggan untuk berpendapat bahwa
kondisi politik dan materi dikaitkan dengan teks.
§
Kalangan
posmodernisme juga termasuk kelompok neomarxis yang banyak membahas kajian
budaya dan media.
§
Michel Foucoult
dengan konsep relasi media, bahasa dan ilmu pengetahuan sebagai alat hegemoni
terhadap kelompok masyarakat.
c.
Frankfurt School
Kelompok
Frankfurt School atau sering juga disebut dengan Mazhab Frankfurt. Penamaan ini
didasarkan pada tempat pemikiran-pemikiran ini dikembangkan yaitu di Frankfurt.
Frankfurt School adalah cabang kedua
dari tradisi teori kritik. Kelompok ini jugalah yang memunculkan istilah Critical Theory. Terdapat tiga nama
besar sebagai pelopor pendirian mazhab ini yang berasal dari disiplin ilmu
sosiologi dan ekonomi. Mereka adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan
Herbert Marcuse. Ketiga orang inilah yang mengawali munculnya
pemikiran-pemikiran kritis dari Frankfur School sehingga kemudian berkembang
pada wilayah lain. Dalam prakteknya, Frankfurt School sebenarnya adalah Marxis
sebagai sumber inspirasi (Litlejohn, 2009;70).
Dalam
perkembangannya, Frankfurt School memulai dari paham-paham Marxis yang kemudian
dikembangkan dalam melihat realitas sosial yang ada. Mereka melakukan kritikan
tajam terhadap kapitalisme dan demokrasi liberal. Kapitalisme dipandang sebagai
tahapan perubahan dalam perkembangan, yaitu sosialisme dan komunisme.
Membahas
Frankfurt School berarti akan membahas teori kritis. Keduanya adalah satu
rangkaian. Hal ini tak bisa dipungkiri karena tokoh-tokoh yang terlibat dalam
kelompok ini adalah mereka-mereka yang disebut beraliran kiri, yaitu Walter
Benyamin, Leo Lowenthal, Friedrich Pollock, Max Horkheimer, Theodor Adorno,
Erich Fromm, Bruno Bettelheim, Nathan Ackerman, Otto Kichheimer, Franz Neumann,
Herbert Marcuse, Hendrik Grossmann. Kelompok ini disebut dengan generasi
pertama. Sementara generasi kedua adalah Juergen Habermass, Albrech Welmer,
Oskar Negt, Clauss Offe, Alfred Schmidt, Klaus Eder, dan Karl Otto Apel
(Beilharz, 2002;137-138).
Sebelum
tahun 1930-an perhatian kelompok Frankfurt lebih cenderung pada Marxisme. Namun
kemudian mulai melebarkan diri dengan menghubungkannya pada konteks budaya dan
ideologi. Pembahasan ekonomi politik (sebagaimana ciri khas Marxis klasik)
tidak terlalu menonjol. Pembahasan yang sering dibicarakan adalah soal
tritunggal yang sering bermasalah yaitu, kapitalisme liberal, Stalinisme, dan
fasisme. Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Adorno bahwa dibalik reduksi
manusia sebagai agen-agen serta pembawa nilai-nilai pertukaran, sesungguhnya
terdapat dominasi manusia atas manusia (Lubis, 2006;14).
Pendirian
Frankfur School sendiri oleh Horkheimer dan kawan-kawan awalnya adalah upaya
untuk mengatasi determinisme ekonomi dari Marxisme ortodoks yang dianut secara
membabi buta oleh Uni Sovyet. Teori Marx dilihat hanya sebagai teori sosial,
sebagai produk rasionalisme barat pasca Renaisance yang berusaha untuk
membebaskan manusia secara universal. Kebebasan itu diyakini bisa diperoleh
dengan menggunakan rasio tanpa batas. Kehidupan sosialis diyakini bisa diraih
melalui perjuangan kelas serta merombak susunan masyarakat yang berkelas serta
penghapusan hak milik dan alienasi (Lubis, 2006;25). Konsep seperti inilah yang
oleh Frankfur School dianggap keliru dan menyimpang dari konsep dasar Karl Marx
sendiri.
Gagasan
dasar Mazhab Frankfur berkutat soal masyarakat yang teradministrasi secara
total atau masyarakat satu dimensi, yang intinya merupakan teori yang berupaya
menjelaskan meningkatnya kekuatan kapitalisme atas berbagai aspek kehidupan
sosial dan berkembangnya bentuk-bentuk baru kontrol sosial.
Aspek-aspek Utama
Wilayah kajian dari teori kritis yang
dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt berkutat soal yang lebih luas dari sekedar
ekonomi politik. Bahkan hal ini tidak terlalu disinggung. Justru kelompok ini
banyak membicarakan soal budaya dan ideologi sebagai alat baru kekuasaan dan
disitulah kapitalisme berada. Beberapa aspek yang bisa diperlihatkan disini,
berdasarkan inti-inti gagasan Mazhab Frankfur generasi pertama adalah:
§
Tujuan
teori kritis adalah menyadarkan manusia akan hubungannya dengan masyarakat dan
adanya perbedaan antara kegiatan mereka sehari-hari dengan azas-azas yang
menjadi panduan dalam kegiatan masyarakat (Hardt, 1992;196).
§
Pemikiran
kritis menuntut dukungan penuh kebebasan, namun tetap pada posisi adanya
penghargaan terhadap humanisme sejati.
§
Tempat
penelitian komunikasi ada pada budaya ilmiah masyarakat, yang merumuskan
sendiri perannya dalam memberikan wawasan tentang posisi dan fungsi komunikasi
serta media dalam kehidupan masyarakat.
§
Kritik
terhadap budaya massa yang dianggap sebagai bentuk kapitalisme baru dan ajang
hegemoni budaya dan ideologi yang semakin menguat.
§
Media
massa bukan sekedar penjumlahan keseluruhan tindakan yang digambarkan media
atau pesan-pesan yang muncul dari tindakan tersebut, namun dengan memiliki
warisan makna polimorfis yang sudah lama diambil alih oleh industri budaya
sehingga apa yang disampaikan melahirkan pesona spektator pada berbagai level
psikologisnya secara simultan.
§
Melakukan
gerakan sosial politik yang dimotori kelompok kiri radikal sekaligus juga
gerakan intelektual. Gerakan inilah yang dimotori oleh Adorno, Marsuche dan
Horkheimer.
Berdasarkan
semua itu, sebenarnya jika dikelompokkan dalam wilayah yang lebih besar, aspek
kajian Mazhab Frankfur adalah :
§
Ideologi
pada media untuk melakukan hegemoni
§
Penguatan
kapitalisme pada budaya massa dan media
§
Pengabaian
hak-hak minoritas baik secara budaya maupun secara politik
§
Kritikan
terhadap pola pikir Marxisme ortodok yang berkembang di Uni Sovyet yang
mengabaikan aspek humanisme dan demokrasi.
§
Bentuk-bentuk
sumber keterasingan sebagai titik pangkal tercerabutnya manusia dari aspek
kemanusiaan itu sendiri.
Prinsip-Prinsip
Prinsip-prinsip dasar akan berkaitan dengan
tatanan pokok yang akan dikembangkan oleh penganut teori ini sekaligu menjadi
sandaran berpikir dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, beranjak dari
pemikiran, konsep yang dikembangkan, serta dialektika yang berlangsung, Bureel
dan Morgan (Miller, 2002) menempatkan prinsip-prinsip dalam teori kritis Mazhab
Frankfurt dalam beberapa kelompok yaitu :
Totalitas. Gagasan bahwa pemahaman apa pun tentang
masyarakat harus mencakup dalam keseluruhan dunia objektif dan subjektif yang
memberi karakteristik untuk jangka waktu tertentu. Totalitas melingkupi
segalanya. Ia tidak memiliki batas. Pemahaman tentang totalitas ini harus menjadi
pemahaman tentang unsur-unsurnya, ketika keseluruhan itu mendominasi
bagian-bagian dalam seluruh cakupannya
Kesadaran. Kekuatan yang secara ultim menciptakan dan
menopang dunia sosial. Kesadaran dibangun secara internal tetapi dipengaruhi
oleh bentuk-bentuk yang diasumsikan lewat proses objektivikasi dan dialektika
antara dunia objektif dan subjektif.
Keterasingan. Keadaan di mana, dalam totalitas tertentu,
keterjepitan kognitif muncul di antara kesadaran seseorang dan dunia sosial
objektif, maka orang tersebut melihat apa hal esensial dari penciptaan
kesadarannya sendiri dalam bentuk kekerasan, dominasi, realitas eksternal.
Keterjepitan ini adalah keterjepitan yang disebabkan alienasi yang mencerabut
seseorang dari dirinya yang sejati dan menghambat pemenuhan potensialitas
dirinya sebagai manusia.
Kritik. Dalam kritik mereka tentang masyarakat
kontemporer, teori kritis memfokuskan diri pada bentuk dan sumber-sumber
keterasingan, yang mereka lihat sebagai penghambat kemungkinan pemenuhan
kemanusiaan sejati. Beragam perangkat perspektif ini mendekatinya dengan jalan
yang berbeda, pada beragam tingkatan generalitas.
Selain beberapa prinsip dasar
tersebut, dalam literatur lain juga ditemukan beberapa hal penting pada teori
ini yaitu :
§
Menolak perbedaan
antara teori dan praktek, antara bahasa obyek dengan meta bahasa, antara fakta
yang diamati dengan nilai-nilai yang diberikan.
§
Budaya modern
bersifat homogen dan tanpa potensi kritis, sehingga hanya berguna untuk
mempertahankan status quo semata.
§
Penggunaan metode
dialektika dapat memberikan wawasan tertentu mengenai totalitas masyarakat dan
mencegah isolasi fakta artifisial dan berbagai masalah. Masyarakat dianggap
sebagai sesuatu yang sangat dialektif.
§
Teknologi modern
tidak bersifat netral, tetapi digunakan untuk menguasai rakyat.
§
Dominasi alam
oleh akal (rasionalitas pencerahan) tidak terelakkan dan hal ini menuju
dominasi manusia. Karena itu pencerahan tanpa disadari telah menjadi totaliter.
§
Rasionalitas
teknokratis bertujuan memperkuat dominasi dan bukan membantu memerdekan
individu dari dominasi.
Asumsi-asumsi
Dasar
Beberapa
asumsi dasar yang melatarbelakangi kemunculan teori kritis Frankfur School ini
tampak dari berbagai kritik dan gagasan para tokohnya. Beberapa aspek tersebut
bisa dilihat dari penjelasan berikut ini (Lubis, 2006;29-32).
§
Teori pertentangan
kelas yang begitu dominan dalam masyarakat kapitalisme tidak relevan lagi,
karena jiwa revolusioner kaum proletariat telah berhasil dijinakkan dan
diintegrasikan ke dalam masyarakat konsumtif. Kaum buruh tidak bisa lagi
diharapkan sebagai penggerak revolusi. Ini adalah kritik terhadap teori Marx,
karena itu Mazhab Frankfur menggeser perhatian pada persoalan kebudayaan.
§
Harus ada
perlawanan terhadap asumsi bahwa ketundukan manusia terhadap sistem ekonomi
pasar adalah bentuk irrasionalitas baru yang menempatkan manusia di bawah
teori-teori dan tuntutan ekonomi. Upaya manusia melepaskan diri dari segala
bentuk irrasionalitas dan mitos agama, menumbuhkan irrasionalitas baru yang
lebih dahsyat dan menyeluruh.
§
Terjadinya
penyimpangan dalam melihat aspek ekonomi dan manusia. Ekonomi tidak hanya
diarahkan mengupayakan bagaimana memenuhi kebutuhan manusia, tetapi kebutuhan
manusia dimanipulasi demi kepentingan pemasaran dan produksi. Untuk memenuhi
tuntutan ekonomi pasar manusia dijinakkan dan dijadikan komoditas.
Atas dasar asumsi tersebut, yang
menjadi bahan kritikan tajam para penganut Mazhab Frankfur, maka mereka
membangun sebuah bangunan teori kritis. Semua asumsi yang dikembangkan kemudian
beranjak dari prinsip humanisme dan perlunya penghargaan terhadap aspek kemanusiaan
itu sendiri. Asumsi dasar yang kemudian dikembangkan adalah :
§
Manusia adalah
makhluk yang aktif, rasional, dan memiliki potensi serta budaya
sendiri-sendiri. Harus ada penghargaan terhadap aspek ini, sehingga dominasi
kebudayaan harus dihilangkan karena mengancam aspek kemanusiaan itu sendiri.
§
Terjadinya
berbagai kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat adalah akibat dari
dominasi budaya oleh sekelompok yang dominan dalam penguasaan teknologi dan
media. Mereka selalu memanfaatkan potensi tersebut untuk memperkuat
kekuasaannya dan menindas kelompok grass
root.
§
Pertarungan
kekuasaan yang terjadi bukan lagi soal ekonomi politik, namun adalah soal
ideologi dan kebudayaan. Hal ini yang harus dikritisi dan dicermati dalam
masa-masa mendatang.
Teori dan
Pemikirnya
Telah
disebutkan pada bagian awal bahwa kemunculan teori kritis tidak lepas dari
peran besar para intelektual yang melakukan kritik terhadap teori Marxis
ortodok. Teori-teori kemudian mereka kembangkan dan menjadi panutan dalam
kerangka berpikir yang lebih luas. Beberapa teori yang muncul dalam tradisi ini
sekaligus para pemikirnya adalah :
§
Teori Estetika
(Aesthetic Theory) dari Theodor Adorno yang menekankan pada upaya memotong
pereduksian seni dan pemikiran sebagai suatu industri kultural.
§
Teori
Hermeneutika yang digabungkan dengan teori kritis oleh Adorno dan Horkheimer
§
Culture Studies
oleh Stuart Hall yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk budaya seperti film, TV,
dan musik pop telah disingkirkan oleh pendekatan-pendekatan budaya sebelumnya.
§
Teori Feminis
yang banyak dikembangkan kelompok-kelompok setelah Mazhab Frankfur seperti
Sonja K Foss
§
Teori Budaya
Massa dari Theodor Adorno dan Horkheimer yang menjelaskan dominasi budaya kelas
tertentu kepada kelompok lainnya.
§
Teori Masyarakat
Aktif oleh Juergen Habermas yang menyoroti nilai-nilai penting dari kelompok
masyarakat sebagai sebuah kekuatan tersendiri yang harus diperhitungkan dengan
baik.
Sebenarnya masih
banyak teori-teori lain yang beranjak dari pemahaman kritis mazhab ini.
Bentuk-bentuk teori posmodernisme sebenarnya juga beranjak dari pemikiran
kritis. Demikian pula dengan teori konflik juga bagian dari pandangan kelompok
ini.
Buah
Pikiran Juergen Habermas
Juergen Habermas
adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfur.Tetapi ia memegang peranan sangat
penting dalam memajukan pandangan teori kritis dan perkembangan Frankfur School
sendiri. Habermas sendiri awalnya adalah asisten dari Theodor Adorno.
Sebagaimana
dipahami dari awal bahwa teori kritis yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfur,
terutama generasi pertama dilandasi oleh sinisme dan kritik terhadap kaum
positivistik yang menganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Faktanya
dikarenakan dominasi kaum positivistik inilah terjadinya Perang Dunia II dan
pembantaian oleh Nazi di Jerman (Lubis, 2006;30).
Gagasan
kritik yang disampaikan oleh Mazhab Frankfur, bagi sebagian kalangan dianggap
menemui jalan buntu. Kritik yang mereka lakukan ternyata tidak mampu mencari
jalan keluar dari keterperangkapan situasi irasional masyarakat modern. Kritik
tidak bisa memberikan solusi terbaik, bahkan untuk sampai ke tingkat aplikasi
dari kritik itu sendiri.
Kondisi
inilah kemudian dijembatani oleh Habermas. Habermas kemudian berhasil melakukan
rekonstruksi teori kritis dengan memasukkan komponen filsafat ilmu pengetahuan
kontemporer. Ia kemudian berhasil mengukuhkan keberadaan teori kritis dengan
argumentasi dan praktek secara nyata. Capaian terbesar yang kemudian banyak
dipakai adalah metode penelitian teori kritis yang menganut metode riset aksi.
Sebuah
penegasan dari Habermas adalah mengenai pentingnya rekonstruksi historis dengan
maksud sistematis. Ini bisa mengatasi kebuntuan para pendahulunya dan pemikir
klasik sebelumnya. Ia mengatakan bahwa proses ini bertujuan untuk menggali dan
mengumpulkan kontribusi positif dari pemikir sebelumnya, mengkritisi dan
memperbaiki kelemahan-kelemahan mereka, menggunakan pemikiran mereka untuk
melampaui mereka sendiri (Habermas, 2007;vii).
Habermas
berargumen bahwa positivisme menyembunyikan komitmen kepada rasionalitas
teknologi dibalik kedok bebas nilai. Melalui kritik agresif atas segala bentuk
non ilmiah dari teori dan semua konsepsi non teknologis dari hubungan teori dan
praktek, positivisme berusaha menghilangkan segala kendala yang akan menghambat
dominasi pemikiran ilmiah dan manfaat teknis yang ada padanya. Namun ini
menimbulkan keberpihakan terhadap bentuk rasionalisasi yang lain dengan
implikasi lebih jauh bagi organiasi masyarakat. Implikasi ini bervariasi
tergantung kepada level rasionalisasi yang dihadapi (Mc Carthy, 2006;9).
Habermas
juga mengatakan bahwa aspek bebas nilai dari positivisme hanya tampak luar
saja. Suka atau tidak suka, postivisme tetap mengambil posisi sebagai partisan
karena telah memilih rasionalisasi progresif. Rasionalitas ilmiah teknologis
yang dimilikinya mencerminkan kepentingan tertentu, suatu cara yang khas dalam
berhubungan dengan kehidupan.
Gagasan penting lainnya yang
dijelaskan oleh Habermas adalah, dialektika antara potensi dan kehendak yang
direfleksikan, yaitu mediasi rasional antara kemajuan teknis dengan prilaku
kehidupan sosial, hanya dapat direalisasikan dengan mendasarkan proses
pengambilan keputusan kepada diskusi umum dan diskusi publik yang bebas paksaan
(Mc Carthy, 2006;16). Hal ini menegaskan pentingnya dialog dan penempatan
posisi manusia dalam konteks kesetaraan dan keadilan. Ini konsep dasar bagi
Habermas, tanpa kesetaraan dan menjunjung tinggi aspek dialogis dan argumentasi
yang rasional maka dialektika tersebut tidak akan terjadi.
Pemikiran seperti ini menunjukkan
bahwa Habermas sangat menentang pandangan postivistik yang linear dan objektif.
Sikap dialogis adalah sikap yang subjektif dan penghargaan terhadap semua
perbedaan dan karakteristik masyarakat. Habermas percaya bahwa semua komponen
masyarakat, sebagai sebuah kelompok aktif, adalah komponen yang mampu dan bisa
melakukan perubahan. Memandang mereka harus dari sudut pandang keterasingan
yang menyebabkan mereka seperti itu. Oleh karena itu, lagi-lagi persoalan ini
akan bisa diatasi dengan menerapkan metod riset aksi.
Gagasan riset aksi disebabkan oleh
Habermas melihat bahwa teori tidak bisa dipisahkan dari praktek. Keduanya harus
sejalan. Teori harus bisa dipraktekkan, dan dasar teori ada pada potensi dan
kemampuan masyarakat itu sendiri. Inilah yang dikatakan oleh Habermas sebagai
masyarakat yang komunikatif, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan
argumentasi rasional dan mampu melihat potensi serta kemampuan diri mereka
sendiri.
Pemikiran terpenting Habermas tampak
dari kemunculan Teori Tindakan Komunikatif (The
Theory of Communicative Action), sebagai karya fenomenalnya mengenai teori
kritis. Habermas menegaskan tujuan dari teori ini adalah untuk (Habemas,
2007;23) :
a. Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak
lagi terikat pada, dan dibatasi premis-premis subjektif filsafat modern dan
teori sosial.
b. Mengkonstruksi konsep masyarakat dua level
yang mengintegrasikan dunia kehidupan dan paradigma sistem.
c.
Mensketsakan
teori kritis tentang modernitas yang menganalisis dan membahas
patologi-patologinya dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada pengabaian
proyek pencerahan.
Ketika memunculkan teori ini, Habermas
tidak menafikan pemikiran-pemikiran yang sudah digagas oleh para teoritisi
sosial klasik sebelumnya, semacam Karl Marx, Max Weber, Herbert Mead, George
Lukacs, Horkheimer, Theodor Adorno, dan Talcot Parson. Habermas melihat bahwa
dari para pemikir ini masih banyak aspek yang bisa dipelajari dan memiliki signifikansi
kekinian. Inilah yang dikatakan di atas bahwa Habermas ingin menggunakan
pemikiran para tokoh tersebut untuk melampaui pemikiran mereka sendiri.
Dalam teori tindakan komunikatif,
Habermas (2007;101) mengatakan bahwa model tindakan komunikatif tidak
menyamakan tindakan dengan komunikasi. Bahasa adalah sarana komunikasi yang
mencari pemahaman timbal balik, sementara aktor, yang berusaha mencapai
pemahaman satu sama lain agar bisa menata tindakan-tindakan mereka, mengejar
tujuan tertentu. Konsep tindakan sosial dibedakan menurut caranya
menspesifikasikan koordinasi ini di antara berbagai tindakan berorientasi
tujuan dari berbagai partisipan, yaitu :
a. Sebagai kalkulasi egosentris atas manfaat yang
saling mempengaruhi.
b. Sebagai konsensus integratif tentang berbagai
norma dan nilai yang ditanamkan melalui tradisi budaya dan sosialisasi
c.
Sebagai
pencapaian pemahaman menurut proses penafsiran secara kooperatif
Dalam hal ini, Habermas berargumen
bahwa kemampuan kita dalam berkomunikasi memiliki inti yang universal, struktur
dasar dan aturan fundamental yang dikuasai seluruh subjek dalam belajar
berbicara dengan suatu bahasa. Kompetensi komunikatif bukan hanya soal
kemampuan memproduksi kalimat-kalimat gramatikal. Dengan berbicara, kita akan
menceritakan diri kita pada dunia, pada subjek lain, tentang maksud, perasaan
dan hasrat-hasrat kita.
Kata kunci bagi konsep Habermas ini
tentang pencapaian pemahaman ini adalah kemungkinan dan kesempatan menggunakan
alasan atau dasar demi memperoleh pengakuan intersubjektif atas klaim validitas
yang dapat dikritik. Karena klaim validitas bisa dikritik maka kemungkinan
untuk mengidentifikasi dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan sangat dimungkinkan.
Ini untuk menegaskan bahwa ilmu tidak pernah melakukan klaim kebenaran secara
total, ia selalu terbuka untuk kritik, karena ilmu sangat subjektif.
Dalam tindakan sosial manusia,
Habermas (2007;100) juga mengatakan bahwa terdapat empat konsep tindakan yang
paling menentukan yaitu :
a. Tindakan teleologis
b. Tindakan normatif
c.
Tindakan dramaturgis
d. Tindakan komunikatif.
Dari semua tindakan tersebut, tindakan
komunikatif adalah yang sepenuhnya melibatkan bahasa sebagai media pencapaian
pemahaman dalam tawar menawar tentang suatu situasi yang mesti disepakati
bersama. Terjadi sebuah proses penafsiran bersama, dimana tidak ada partisipan
yang memonopoli penafsiran yang tepat. Tugas interpretif adalah melibatkan
penafsiran atas situasi oleh orang lain ke dalam penafsirannya sendiri
sedemikian rupa sehingga definisi yang berlainan dapat dipertemukan.
Untuk itu, dalam model tindakan
komunikatif, aktor-aktor sosial membekali dirinya dengan kapasitas interpretif
yang sama sebagaimana penafsir sosial ilmiah. Penafsir sosial ilmiah tidak
dapat mengklaim dirinya berstatus netral. Mereka harus terlibat dan
partisipatif dengan objek yang diamatiya. Inilah yang kemudian disebut sebagai
pendekatan partisipatif secara berperan serta. Karena itu sebagai kata kunci
utama buah pikir Habermas adalah tindakan komunikatif memerlukan penafsiran
yang pendekatannya rasional.
Dalam hal ini, Habermas mengemukakan
ada beberapa bentuk argumentasi yang masing-masing memiliki rasionalitas yang
secara implisit terdapat dalam praktek komunikasi. Bentuk-bentuk argumentasi
itu antara lain:
Bentuk-Bentuk Argumentasi (Habermas)
Bentuk
Argumentasi/
Dimensi Acuan
|
Ekspresi
Problematik
|
Klaim Validitas
|
Wacana Teoritis
|
Instrumental kognitif
|
Kebenaran (truth) proposisi; efektifitas
tindakan teleologis
|
Wacana Praktis
|
Praktik Moral
|
Kebenaran (correctness) norma tindakan
|
Kritik Estetis
|
Evaluatif
|
Terpenuhinya standar nilai
|
Kritik Teraupetik
|
Ekspresif
|
Keseriusan ungkapan
|
Sumber : Akhyar
Yusuf Lubis, 2006;35
Pemikiran Habermas, sebagaimana
disebutkan di atas merupakan refleksinya atas pemikiran pendahulunya di dalam
Mazhab Frankfur. Buah pikirnya ini pula yang kemudian bisa mengkonkritkan dan
mengaplikasikan pemikir kritis lainnya. Artinya, Habermas berperan penting
dalam “membumikan” teori kritis menjadi sesuatu yang bermakna dan bisa
mendorong ke arah perubahan sosial dengan pendekatan humanitas dan demokrasi.
Aspek keberpihakan didahulukan yaitu pada objek yang diteliti, sebagai komponen
yang setara dan memiliki persepsi sendiri. Tindakan komunikatif akan bisa
menjembatani hal-hal tersebut. Perubahan bisa dilakukan dengan menggunakan
tindakan-tindakan yang selamanya komunikatif.
Komentar
Posting Komentar