SUMMARY THEORIES OF COMMUNICATION
BAB. 6
|
Manajemen
Makna Terkoordinasi (Coordinated Management of Meaning).
(CMM-W.
Barnett Pearce & Vernon Cronen).
Banyak
orang menganggap percakapan mereka sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya.
Ketika orang berbicara satu sama lain, mereka sering kali mengikuti pola yang
dapat ditebak, dan mereka bergantung pada norma sosial yang ada. Untuk
memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce &
Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi (Coordinated
Management of Meaning-CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi
berdasar aturan. Aturan-aturan memainkan peranan yang penting dalam teori
ini; para pencetusnya brpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam
berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa
yang dikomunikasikan orang lain kepada kita.
Asumsi-asumsi
Teori Manajemen Makna Terkoordinasi;
CMM
berfokus pada diri dan hubungannya dengan orang lain; serta mengkaji
bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Teori ini
penting karena berfokus pada hubungan antara individual dengan masyarakatnya
(Philipsen, 1995, dalam West &
Turner, 2009:115-116). Jika kita kembali melihat metafora mengenai teater,
pertimbangkan bahwa semua aktor harus
dapat berimprovisasi menggunakan pengalaman-pengalaman acting pribadinya,
serta merujuk pada naskah yang mereka bawa dalam drama tersebut.
Manusia,
karenanya mampu menciptakan dan menginterpretasikan makna. Selain itu, juga terdapat beberapa asumsi
:
(1)
Manusia
hidup dalam komunikasi.
Asumsi pertama dari CMM merupakan pentingnya
komunikasi, yaitu manusia hidup dalam komunikasi. Sekilas, premis ini
memberikan pernyataan yang sedikit aneh mengenai komunikasi: fakta bahwa
manusia mendiami proses komunikasi. Akan tetapi Pearce (1989) berpendapat
bahwa “komunikasi adalah, dan akan selalu ada , menjadi lebih penting bagi
manusia dari yang seharusnya”. Lebih jauh lagi, para teoritikus CMM meminta
adanya pengujian ulang mengenai bagaiman individu-individu memandang komunikasi karena “sejarah intelektual
Barat cenderung menggunakan komunikasi seakan-akan komunikasi adalah sarana
penyampaian pemikiran dan ekspresi yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak
berasa (Pearce, 1989, hal.7). Pearce dan Cronen menyatakan menyatakan bahwa
komunikasi harus ditata ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks demi
memahami perilaku manusia. Ketika para peneliti memulai perjalanan dan
pendefinisian ulang ini, mereka mulai mereka mulai menyelidiki sifat
konsekuensial komunikasi (bahwa komunikasi selalu memiliki konsekuensi), dan
bukannya perilaku atau variable yang menyertai proses komunikasi (Cronen,
1995a).
(2)
Manusia
saling menciptakan realitas.
Asumsi kedua dari CMM adalah bahwa manusia saling
menciptakan realitas sosial. Kepercayaan bhawa orang-orang
saling menciptakan realitas sosial
mereka dalam percakapan tersebut sebagai konstruksionisme sosial
(social constructionism). Cronen, Chen dan Pearce (1988) menyatakan bahwa
“terkadang tampaknya individu-individu berkomunikasi untuk mengekspresikan
emosi mereka dan untuk merujuk pada dunia di sekeliling mereka”. Terkadang
pengalaman-pengalaman komunikasi ini cukup lancar; pada saat lainnya
menyulitkan. Sebagaimana dinyatakan oleg Gerry Philipsen (1995), “banyak
interaksi menjadi lebih banyak kacau dari pada teratur, dan lebih sering
kikuk dari pada elegan” (hal. 19).
(3)
Transaksi
informasi bergantung kepada makna pribadi dan interpersonal.
Asumsi ketiga yang ada dalam teori CMM berkaitan
dengan cara orang mengendalikan percakapan. Pada dasarnya, transaksi
tergantung pada makna pribadi dan interpersonal, sebagaimana dikemukakan oleh
Donald Cushman dan Gordon Whiting (1972). Makna pribadi (personal meaning)
didefinisikan sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan
yang lain sambil membawa pengalamannya yang unik ke dalam interaksi. Ketika
dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan
telah mencapai makna interpersonal (interpersonal meaning). Cushman dan Whiting
(1972) berpendapat bahwa makna interpersonal dapat dipahami dalam berbagai
macam konteks, termasuk keluarga, kelompok kecil, dan organisasi.
Ketiga
asumsi ini membentuk suatu latar untuk mendiskusikan Manajemen Makna
Terkoordinasi.
Sebagaimana
diindikasikan oleh ketiga asumsi ini, teori ini didasarkan pada konsep-konsep
komunikasi, realitas sosial, dan makna. Selain itu kita dapat
memahami teori ini dengan lebih baik dengan cara mengamati beberapa isu lain
dengan lebih mendalam. Salah satu isu ini adalah bagaimana makna
dikategorikan.
Seluruh
Dunia adalah Sebuah Panggung
Hidup
ini diibaratkan sebagai “teater tanpa sutradara”. Manusia di dalam teater
(hidup) tersebut berperan sebagai aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku
dramatis. Drama yang dimainkan adalah realitas hidup mereka. Sehingga,
manusia dalam hidupnya secara tidak sadar seakan-akan menyutradarai hidupnya
sendiri bagai sebuah teater disamping mereka menjadi aktor utama dalam
hidupnya tersebut. Dan kemudian mereka memaknai drama yang dimainkan tersebut
dengan mengkoordinasikan makna yang dimiliki masing-masing individu menjadi
makna yang sama merujuk pada naskah drama yang dimainkan.
Hierarki
dari Makna yang Terorganisasi
Para
teoritikus manajemen makna terkoordinasi mengemukakan enam elemen makna,
yaitu:
1)
Isi
(content), merupakan langkah awal di mana data mentah
dikonversikan menjadi makna.
2)
Tindak
tutur (speech act), merujuk pada tindakan-tindakan yang
kita lakukan dengan cara berbicara termasuk memuji, menghina, berjanji,
mengancam, menyatakan dan bertanya.
3)
Episode
(episode), merujuk pada rutinitas komunikasi memiliki awal,
pertengahan dan akhir yang jelas.
4)
Hubungan
(relationship), dapat diartikan sebagai kontrak
kesepakatan dan pengertian antara dua orang di mana terdapat tuntunan dalam
berperilaku.
5)
Naskah
kehidupan (life scripts), merujuk pada kelompok-kelompok
episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu system makna yang
dapat dikelola bersama dengan orang lain.
6)
Pola
budaya (cultural pattern), merujuk pada gambaran mengenai dunia
dan bagaimana berhubungan seseorang dengan hal tersebut.
Koordinasi
Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi
(coordination) ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan
yang berurutan dalam percakapan mereka. Hasil yang mungkin dalam perbincangan
ada tiga, yaitu: mencapai koordinasi, tidak mencapai koordinasi, atau
mencapai koordinasi pada tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Dari ketiga
hasil tersebut yang paling mungkin adalah mencapai koordinasi pada tingkat
tertentu karena sulit untuk mencapai koordinasi yang sempurna dan menyeluruh.
Pengaruh
Terhadap Proses Koordinasi
Koordinasi
dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas dan ketersediaan sumber
daya. Moralitas harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih penting dan lebih
tinggi. Hal ini didasari bahwa setiap orang membawa berbagai tingkat moral
kedalam percakapan. Selain moralitas, koordinasi juga dipengaruhi sumberdaya
(resources), mereka merujuk pada cerita, gambar, simbol, dan institusi yang
digunakan orang untuk memaknai dunia mereka (Pearce, 1989)
Aturan
dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah
satu cara yang digunakan individu untuk mengelola dan mengkoordinasikan makna
adalah melalui penggunaan aturan. Ada dua tipe aturan: pertama, aturan
konstitutif yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan
dalam suatu konteks. Aturan ini memberitahukan kita makna dari suatu perilaku
tertentu. Sedangkan yang kedua, aturan regulative yang merujuk pada urutan
yang dilakukan seseorang, dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya
dalam sebuah percakapan. Aturan ini memberikan tuntunan kepada orang untuk
berperilaku. Suatu ketika ada batasan antara aturan konstitutif dan regulatif
selama digunakan dalam proses percakapan, apabila terjadi perseteruan akan
timbul pola berulang yang tidak diinginkan (unwanted repetitive patterns),
atau konflik yang berulang dan tidak diinginkan yang terjadi dalam sebuah
hubungan.
Rangkaian
Seimbang dan Rangkaian Tidak Seimbang
Sebelumnya
kita telah mengetahui enam elemen makna yang apabila disusun dari level yang
lelah tinggi ke level yang lebih rendah: pola budaya, naskah kehidupan,
hubungan, episode, tindak tutur dan isi. Ketika rangkaian berjalan dengan
konsisten melalui tindakan-tindakan yang ada dalam hierarki maka disebut
rangkaian seimbang (charmed loop). Dan suatu ketika, beberapa episode dapat
menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih tinggi didalam hierarki
yang ada maka hal tersebut dinamai rangkaian tidak seimbang (strange loop).
Kesimpulan
Ruang
Lingkup
Tidak
jelas apakah CMM dapat dianggap
memiliki ruang lingkup yang terlalu luas. Beberapa peneliti komunikasi
(misalnya Brenders, 1987) menyatakan bahwa teori ini terlalu abstrak dan
didalamnya terdapat definisi-definisi yang tidak tepat. Selain itu, Brenders
juga melihat bahwa pada beberapa ide yang dikemukakan oleh Pearce &
Cronen terdapat kekuarangan tolok ukur dan harus lebih diklarifikasi. Adanya
system bahasa yang personal dalam teori ini, menurut Brenders, menimbulkan
masalah dan “tidak menjelaskan sifat sosial
sebuah makna” (hal. 342).
Sebaliknya,
para teoritikus CMM berargumen bahwa kritik ini tidak mempertimbangkan
evolusi yang dialami oleh teori ini serta perbaikan-perbaikan yang terjadi
sejalan dengan waktu (Barge & Pearce, 2004). Pearce dan Cronen melihat
bahwa para kritikus lupa bahwa mereka dididik dengan menggunakan tradisi
empiris. Oleh karena itu, para kritikus harus menginterpretasikan teori ini
berdasarkan adanya semangat perubahan yang terjadi; bahkan para teoritikus
juga ikut berubah ketika tujuan yang ingin dicapai oleh teori mereka semakin jelas. Selain itu
Cronen (1995b) mengakui adanya masalah-masalah awal yang muncul dalam
konseptualisasi CMM dengan menyatakan cara ia dan Pearce mendiskusikan
penciptaan makna pada awalnya membingungkan dan “kurang terarah”.
Contoh
Kasus:
Yanto tak bisa menyembunyikan
ketegangannya. Wajar, inilah kali pertama dia ketemu dengan calon mertuanya.
”Nak Yanto kerja di mana,” tanya calon mertuanya. Sarjana Ekonomi itu sedikit
gugup, meski sudah memperkirakan akan ditanya soal itu. ”Ehm, saya sedang
merintis bisnis telekomunikasi, Pak. Saya membuka kios seluler.”
”Omsetnya udah sampai berapa?” Yanto diam
sejenak, menyiapkan jawaban yang paling tepat. ”Sekarang ini sih belum
terlalu banyak, tapi proyeksi saya bulan-bulan mendatang insya Allah akan
lumayan, karena saya sudah mendapat mitra kerja yang menguntungkan.” Yanto
mencoba mengalihkan pembicaraan, karena dia merasa belum ada yang bisa
dibanggakan dari usahanya. ”O ya, sini masuk kelurahan mana ya Pak?”
Seiring dengan menjamurnya berbagai
tayangan infotainment di televisi, maka kehidupan keluarga dan berbagai
peristiwa yang semula tersembunyi di ruang-ruang privat seseorang kini
semakin terbuka dan dapat diketahui oleh siapa saja. Tidak hanya para artis,
selebritis dan public figure yang
kehidupan pribadinya menjadi komoditas tontonan di layar kaca. Kini
masyarakat umum yang tidak dikenal pun bisa menayangkan kehidupan dan masalah
pribadinya melalui berbagai tayangan berbungkus reality show di televisi.
Salah satu menu infotainment maupun reality show yang sering menjadi
incaran wartawan adalah masalah keluarga. Perceraian pasangan selebritis,
pertengkaran antara ibu dan anak, dan sebagainya sering mengkambinghitamkan
komunikasi yang tidak lancar sebagai pokok penyebab permasalahan mereka.
Teori
coordinated management of meaning
berusaha membuat kehidupan menjadi lebih baik melalui penataan kehidupan
komunikasinya, seperti yang dilakukan Yanto pada
contoh di atas.
|
BAB. 7
|
Teori
Disonansi Kognitif (Cognitive Disonance Theory)—Leon Festinger
Teori
disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai
perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran,
dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil
langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Menurut Leon Festinger, Perasaan
yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan
yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai
pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang” (1957,
hal 4).
Konsep ini membentuk inti dari
teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah
perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi
mengurangi ketidaknyamanan
itu.
Teori
disonansi kognitif
beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan
(tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua eleman itu sendiri
pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa
disonansi, secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang
untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan.
Orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang
sekiranya akan memunculkan disonansi dalam berkomunikasi.
Konsep ini membentuk inti dari Teori Disonansi
Kognitif (Cognitive Dissonance Theoy—CDT) Festinger, teori yang berpendapat
bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang
untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu. Sebagaimana Roger
Brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang
cukup sederhana: “Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaan ketidaknyamanan
psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai
konsonansi. Disonansi adalah sebutan untuk ketidakseimbangan (hal.584).
Selanjutnya, brown menyatakan bahwa teori ini memungkinkan dua elemen untuk
memiliki tiga hubungan yang berbeda satu sama lain: mungkin saja konsosnan
(consonant), disonan (dissonant), atau tidak relevan (irrelevant).
Roger Brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti
sebuah prinsip yang cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan
sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi
usaha-usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi adalah sebutan
ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown
menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang
berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant), disonansi
(dissoanant), atau tidak relevan (irrelevan).
Hubungan konsonan (consonant
relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi
seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, jika bahwa kesehatan dan
kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga
sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesehatan dan
perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama
lain. Atau pada kasus kaum lesbian. Jika perilaku lesbian dan norma agama
atau sosial tidak ada pertentangan, berarti lesbian dengan norma agama dan
sosial merupakan hubungan yang konsonan.
Hubungan disonansi (dissonant relationship)
berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Contoh
dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang penganut agama yang
mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam kasus ini,
keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai
aborsi. Atau kasus kaum lesbian, mengenai perilakunya yang lesbi dengan
konflik dengan norma agama atau sosial yang bertentangan, membuat hubungan
ini disonan.
Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship)
ada ketika elemen-elemen tidak mengimplikasikan
apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti
komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang
disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan.
Asumsi-Asumsi Teoritis
Asumsi
dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar
diantaranya adalah:
(1)
Manusia
memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari
manusia yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi.
(2)
Disonansi
diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta
harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan
disonansi kognitif.
(3)
Disonansi
adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu
tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan
seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan
tersebut.
(4)
Disonansi
akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi
disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan
akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan
mengembalikannya pada konsistensi.
Konsep dan Proses Disonansi Kognitif
Ketika teoretikus disonansi
berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau
disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat
disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah
kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan
menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia
gunakan untuk mengurangi disonansi. Teori CDT membedakan antara situasi yang
menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih
sedikit disonansi.
Tingkat Disonansi.
Merujuk kepada jumlah
inkonsistensi yang dialami seseorang, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, Ebbsen & Maslach, 1977):
(1)
Kepentingan,
atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat
disonansi yang dirasakan.
(2)
Rasio
disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang
konsonan.
(3)
Rasionalitas
yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini
merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi
muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi
kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.
Disonansi Kognitif dan Persepsi.
Teori CDT berkaitan dengan proses
pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective
attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan
retensi (selective retention), karena teori ini memprediksi bahwa orang akan
menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini
merupakan dasar dari penghindaran ini.
a.
Terpaan Selektif (Selective
Exposure);
Mencari informasi yang konsisten
yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa
orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari
informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.
b. Pemilihan
Perhatian (Selective Attention)
Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu
konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang
sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi
yang tidak konsisten.
c.
Interpretasi Selektif
(Selective Interpretation)
Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu
sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif,
kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap
mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi (Bescheid & Walster, 1978).
d. Retensi Selektif (Selective
Retention)
Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang
konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan
lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar
dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.
Kritik Terhadap Teori Disonansi
(1)
Teori
ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan
secara menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi
disonansi.
(2)
Kemungkinan
pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan pengujian
berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau salah.
Contoh Kasus :
Seseorang
pembeli alat elektronik mencari informasi tentang barang yang mereka beli,
karena ingin mengetahui apa saja yang di dapat dari manfaat barang yang akan
mereka beli tersebut. Melalui iklan karena berupaya mencari penguatan atau
keputusan mereka dengan membaca iklan-iklan tentang elektronik yang telah
mereka beli.
|
BAB .8
|
Teori
Pelanggaran Harapan (Expectacy Violations Theory)—
( JudeeBurgoon)
Lengkapnya
disebut dengan expectancy violation
theory. Dikemukakan oleh Jodee Burgoon pada tahun 1978. Teori ini
memandang komunikasi sebagai alat pertukaran informasi tingkat tinggi dalam
hal hubungan isi komunikasi , sehingga bisa digunakan oleh masing-masing
pelaku komunikasi untuk menyerang harapan-harapan pihak lawan bicaranya, baik
dalam arti positif maupun negatif, bergantung kepada suka atau tidak sukanya
para pelaku komunikasi masing-masing.
Didalam
perusahaan tempat saya bekerja, ada atasan dan bawahan tentunya. Jika ada
bawahan misalnya; saya sebut saja dia seorang sekretaris
ingin mengajukan kepada atasannya pulang cepat karena ada keperluan mendadak,
tetapi ketika dia baru menghadap atasanya tersebut kemudian sambutan dari
atasanya ketika dia datang sudah menunjukan sikap tidak ingin diganggu, dengan
nada suaranya yang jutek dan bahasa tubuh atau bahasa non verbalnya
menunjukan dia sangat sibuk dan terlihat sangan membutuhkan bantuan sang sekretaris itu,
tentunya si sekretaris
tidak bisa mengungkapkan apa yang di harapkannya yaitu bisa pulang lebih awal
karena dari orang yang akan menerima pesan sudah menggambarkan tidak bisa
menerima pesan selanjutnya dari kita.
Teori
pelanggaran harapan berfokus pada mempelajari berbagai pesan dan pengaruh
komunikasi nonverbal terhadap produksi pesan. Teori ini menjadi teori utama
dalam mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku. Teori
ini menyatakan setiap orang memiliki pengharapan perilaku nonverbal dari
orang lain. Oleh karena itu, apabila perilaku nonverbal yang diterima tidak
sesuai dengan yang diinginkan maka akan terjadi pelanggaran harapan.
Hubungan
Ruang
Ruang
yang dimaksud adalah ruang yang digunakan dalam sebuah percakapan. Setiap
orang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi dan ruang pribadi. Oleh karena
itu, mereka dalam melakukan percakapan, mereka menjaga jarak dirinya dengan
orang lain dengan menggunakan ruang. Seperti yang ditekankan dari teori ini,
bahwa komunikasi nonverbal memiliki pengaruh terhadap produksi pesan,
komunikasi nonverbal yang dimaksud adalah jarak yang dipilih seseorang
terhadap orang lain.
Zona
proksemik merupakan jarak yang dipilih seseorang terhadap orang lain dalam
percakapan, diantaranya:
1) Jarak
intim (0-18 inci), zona spasial yang sangat dekat. Dalam zona ini orang
membicarakan hal yang sangat pribadi. Biasanya dengan orang terdekat atau
pasangan.
2) Jarak
personal (18 inci-4 kaki), zona spasial yang digunakan untuk keluarga dan
teman.
3) Jarak
sosial (4-12 kaki), zona yang digunakan untuk hubungan-hubungan formal
seperti dengan rekan kerja.
4) Jarak
publik (lebih dari 12 kaki), zona yang digunakan untuk diskusi yang sangat
formal seperti dosen dengan mahasiswa.
Ada
elemen tambahan yaitu kewilayahan yang juga harus diperhatikan. Kewilayahan
yang dimaksud adalah kepemilikan seseorang akan sebuah area atau benda. Ada
tiga jenis kewilayahan, yaitu: kewilayahan primer (menunjukkan kepemilikan
eksklusif seorang terhadap sebuah area atau benda), kewilayahan sekunder
(merupakan afiliasi seseorang dengan sebuah area atu benda) dan kewilayahan
publik (menandai tempat-tempat terbuka untuk semua orang).
Asumsi
Teori Pelanggaran Harapan
1. Harapan
mendorong terjadinya interaksi antar manusia.
2. Harapan
terhadap perilaku manusia dipelajari
3. Orang
membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal.
Valensi
Penghargaan Komunikator
Valensi
adalah jumlah dari karakteristik-karakteristik positif dan negatif dari
seseorang dan potensi bagi orang untuk memberikan penghargaan atau hukuman.
Dalam hal ini yang perlu diingat tidak semua pelanggaran harapan dinilai
sebagai sesuatu yang negatif, bahkan terkadang bias ditangkap sebagai sesuatu
yang positif.
Rangsangan
Rangsangan
adalah minat atau perhatian yang meningkat ketika penyimpangan harapan
terjadi. Seseorang dapat terangsang secara kognitif maupun fisik. Rangsangan
kognitif adalah kesiagaan atau orientasi terhadap pelanggaran. Sedangkan
rangsangan fisik adalah perilaku-perilaku yang digunakan komunikator dalam
sebuah interaksi.
Batas
Ancaman
Begitu
rangsangan timbul, ancaman akan timbul. Batas ancaman adalah jarak dimana orang
yang berinteraksi mengalami ketidaknyamanan fisik dan fisiologis dengan
kehadiran orang lain. Dalam kata lain, batas ancaman adalah toleransi bagi
pelanggar jarak. Burgoon menyatakan “ketika jarak disamakan dengan ancaman,
jarak yang lebih dekat dilihat sebagai lebih mengancam dari jarak yang lebih
jauh lebih aman”.
Valensi
Pelanggaran
Dalam
teori ini, ditekankan bahwa ketika orang berbicara pada orang lain, mereka
memiliki harapan. Ketika harapan dilanggar, banyak orang mengevaluasi
pelanggaran tersebut berdasarkan sebuah valensi pelanggaran (penilaian
positif atau negatif dari sebuah perilaku yang tidak terduga). Valensi
pelanggaran berbeda dengan valensi penghargaan komunikator. Valensi
pelanggaran lebih berfokus pada penyimpangan itu sendiri. Valensi pelanggaran
melibatkan pemahaman suatu pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi
(Burgoon dan Hale, 1988). Singkatnya, para komunikator berusaha untuk
menginterpretasikan makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah
mereka menyukainya atau tidak. Sedangkan apabila pelanggaran tersebut
bersifat ambigu atau tidak kentara secara jelas maka lebih baik menggunakan
valensi penghargaan komunikator dalam memandang pelanggaran tersebut.
|
PENGEMBANGAN
HUBUNGAN (RELATIONSHIP DEVELOPMENT).
|
|
BAB. 9
|
Teori Pengurangan
Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory).
Teori pengurangan ketidakpastian (Uncertainly Reduction
Theory) kadang kala disebut dengan Teori Interaksi Awal (Initial Interaction
Theory). Teori pengurangan ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan
Richard Calabrese pada tahun 1975. Tahun 1987 Lester mengembangkan teori ini
menjadi termasuk teori dalam suatu organisasi.
Perkembangan.
Setelah Berger dan Calabrese mengemukakan teori ini
(1975), dengan tujuan untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk
mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam
pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin
bahwa ketika orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk
meningkatkan prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi
mereka. Teori ini kemudian sedikit diperjelas (Berger, 1979; Berger &
Bradac, 1982). Versi terbaru dari teori ini meyarankan bahwa terdapat dua
tipe ketidakpastian dari perjumpaan awal: kognitif dan perilaku. Kognitif
merujuk pada keyakinan dan sikap yang kita dan orang lain anut.
Ketidakpastian kognitif (cognitive uncertainty), merujuk kepada tingkat
ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap tersebut.
Ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainty) merupakan ”batasan sampai
mana perilaku dapat di prediksi dalam sebuah situasi tertentu” (Berger &
bradac,1982) Lebih lanjut lagi, Berger dan calabrese beragumen bahwa
pengurangan ketidakpastian memiliki baik proses proaktif maupun retroaktif.
Pengurangan ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir
mengenai pilihan-pilihan komunikasi sebelum melakukannya dengan orang lain.
Penguranagan ketidakpastian retroaktif terdiri atas usaha-usaha untuk
menjelaskan perilaku setelah perjumpaan itu sendiri. Pada tahun 1987 Lester
mengembangkan teori ini dengan mengaplikasikan proses sosialisasi dari
anggota-anggota suatu organisasi ketika pertama kali bergabung dengan suatu
organisasi.
Asumsi Dasar Teori Pengurangan Ketidakpastian
Menurut Charles Berger dan Richard Calabrese:
1) Orang mengalami ketidakpastian dalam latar
interpersonal.
Terdapat harapan berbeda-beda mengenai kejadian interpersonal, maka masuk akal untuk menyimpulkan bahwa orang merasakan ketidakpastian atau bahkan cemas untuk bertemu orang lain;
2) Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan,
menimbulkan stres secara kognitif.
Berada di dalam ketidakpastian membutuhkan energi emosional dan
psikologis yang tidak sedikit;
3) Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka
adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan
prediktabilitas.
Pencarian informasi biasanya dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan dengan tujuan untuk memperoleh prediktabilitas;
4) Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses
perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Menurut Berger dan
Calabrese, biasanya, kebanyakan orang memulai interaksi dalam sebuah fase
awal (entry phase), yang dapat didefinisikan sebagai tahap awal interaksi
antara orang lain. Setelah itu, orang memasuki tahapan kedua, yang disebut
sebagai fase personal (personal phase) tahap di mana pertisipan mulai
berkomunikasi dengan lebih spontan dan membuka lebih banyak informasi
pribadinya. Tahap ketiga, fase akhir (exit phase), individu membuat keputusan
mengenai apakah mereka ingin untuk melanjutkan interaksi dengan pasangannya
di masa yang akan datang;
5) Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi
ketidakpastian. Komunikasi mensyaratkan beberapa kondisi diantaranya adalah
kemampuan untuk mendengar,tanda respons nonverbaal dan bahasa yang sama;
6) Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang
akan berubah seiring berjalannya waktu. Berfokus pada fakta bahwa komunikasi
interpersonal adalah perkembangan. Teorikus penguiranagan ketidakpastian
percaya bahwa interaksi awal adalah elemen kunci dalam proses perkembangan
ini;
7) Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan
menggunakan cara seperti hukum. Perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip
umum yang berfungsi dengan cara seperti hukum. Tujuan dari teori cakupan
hukum adalah untuk menghasilkan hukum yang akan menjelaskan bagaimana kita
berkomunikasi.
Sedangkan Asumsi menurut Lester sebagai berikut:
1) Set pertama dalam suatu hubungan adalah menyinggung
tentang aktivitas yang berhubungan dengan organisasi. Anggota-anggota suatu
organisasi akan meningkatkan penilaian kepercayaan mereka sebagaimana mereka
menjadi lebih merasa pasti dalam organisasi tersebut.
2) Apabila keuntungan dan kerugian (seperti pembayaran,
promosi, atau resiko kerja) perbandingannya sangat berbeda, maka
anggota-anggota suatu organisasi akan menilai kepercayaan diri mereka akan
rendah. Tetapi apabila antara keuntungan dan kerugian sama antar organisasi
maka mereka akan merasa percaya diri.
3) Mendengar cerita dari organisasi lain atau cerita dari
organisasi sendiri yang bisa terbilang sukses dapat meningkatkan kepercayaan
diri untuk setiap pendatang baru.
4) Suatu organisasi yang bersih dan tujuan organisasi yang
jelas akan meningkatkan suatu sikap yang pasti akan suatu organisasi. setiap
anggota dan membentuk sikap yang pasti.
Aksioma
Teori Pegurangan Ketidakpastian
1) Dengan
adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada permulaan fase awal, ketika
jumlah komunikasi verbal antara dua orang asing meningkat, tingkat
ketidakpastian untuk tiap partisipan dalam sebuah hubungan akan menurun. Jika
ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal meningkat.
2) Ketika
ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam
situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan
menyebabkan peningkatan keekspresian afiliatif nonverbal.
3) Tingkat
ketidakpastian yang tinggi menyebabkan meningkatnya perilaku pencarian
informasi ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku pencarian informasi
juga menurun.
4) Tingkat
ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah hubungan menyebabkan penurunan
tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan
tingkat keintiman yang tinggi.
5) Ketidakpastian
yang tinggi menghasilkan tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat
ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat resiprositas yang rendah
pula.
6) Kemiripan
diantara orang akan mengurangi ketidakpastian, sementara ketidakpastian akan
meningkatkan ketidakpastian.
7) Peningkatan
tingkat ketidakpastian akan menghasilkan penurunan dalam kesukaan penurunan
dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam kesukaan.
Perluasan
Teori pengurangan Ketidakpastian
Aksioma
tambahan
1) Ketidakpastian
berhubungan secara negatif dengan interaksi dalam jaringan sosial. Makin
orang berinteraksi dengan teman dan keluarga dari mitra hubungan mereka,
makin sedikit ketidakpastian yang mereka alami.
2) Terdapat
hubungan kebalikan atau negatif antara ketidakpastian dan kepuasan
komunikasi.
Kondisi
Pendahulu
Ada
tiga jenis kondisi pendahulu, yaitu: (1) ketika orang satunya mempunyai
potensi untuk memberikan penghargaan atau hukuman, (2) ketika orang satunya
berperilaku keblaikan dari yang diharapkan, dan (3) ketika seseorang
mengharapkan interkasi selanjutnya dengan orang lain.
Strategi
Ada
tiga jenis strategi yang digunakan untuk memperoleh informasi, yaitu : (1)
strategi aktif; mengurangi ketidakpastian dengan cara lain selain kontak
langsung, (2) strategi pasif; mengurangi ketidakpastian dengan pengamatan
yang tidak mengganggu terhadap orang lainnya, dan (3) strategi interaktif;
mengurangi ketidakpastian dengan terlibat dalam percakapan.
Hubungan
yang Mapan: Melampaui Perjumpaan Awal
Tujuan
dari teori ini adalah untuk mengurangi ketidakpastian. Sangat diharpakan
dengan pengurangan ketidakpastian akan membuat hubungan menjadi mapan
melebihi ketika awal perjumpaan. Dengan terus berupaya mengurangi
ketidakpastian tersebut akan menciptakan hubungan yang lebih dan lebih mapan,
sehingga dapat menghindari ketidakpastian hubungan.
Konteks
Teori
pengurangan ketidakpastian diterapkan dalam konteks komunikasi interpersonal.
Akan tetapi beberapa peneliti mencoba menerapkan konsep-konsep teori
pengurangan ketidakpastian dalam konteks komunikasi antar budaya yang disebut
dengan teori manajemen kecemasan ketidakpastian (Gudykunst, 1955).
Karakteristik
Setiap anggota kelompok yang baru bergabung menjadi
anggota baru suatu organisasai akan melakukan sosialisasi diri terhadap
lingkungan barunya. Organisasi sendiri baik faktor internal maupun eksternal
juga sangat mendukung proses sosialisasi yang dilakukan oleh pendatang baru
yang bersangkutan.
Implementasi
Ketika seorang anak baru saja menjadi murid baru di
salah satu tempat les bahasa inggris, dia akan mencoba untuk memprediksikan
bagiamana mereka akan berhasil dalam organisasi tersebut. Baik ketika berkomunikasi dengan
anggota lainnya maupaun sikap yang sesuai dengan keadaan organisasi tersebut.
Lester percaya anggota-anggota baru di suatu organisasi akan memiliki rasa percaya diri yang lebih dalam
mempredikasi bagaiamana mereka akan
berhasil dalam suatu organisasi apabila diperlihatkan tentang sikap dari
organisasi yang bersangkutan (kepastian sikap).
|
BAB. 10
|
Teori
Penetrasi Sosial (Social Penetration
Theory).
Social
Penetration Theory (Irwin
Daltman & Dalmas Taylor).
Ketika kita mengatakan bahwa kita
dekat dengan seseorang, kita sering kali bertindak seakan orang lain memahami
secara tepat apa yang kita maksudkan. Akan tetapi, kejadiannya tidak selalu
demikian. Mengatakan Anda dekat atau intim dengan seseorang mungkin tidak
dapat dipahami secara universal. Untuk memahami kedekatan hubungan antara dua
orang, Irwin Daltman & Dalmas Taylor (1973) mengonseptualisasikan Teori
Penetrasi Sosial (Sosial Penetration
Theory-SPT). Penetrasi sosial
(social penetration) merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana
individu-individu bergerak dari
komunikasi superficial menuju ke
komunikasi yang lebih intim. Menurut Altman dan Taylor, keintiman di sini
lebih dari sekedar keintiman secara fisik; dimensi lain dari keintiman
termasuk intelektual dan emosional, dan hingga pada batasan di mana pasangan
melakukan aktivitas bersama (West & Turner, 2006). Proses penetrasi sosial, karenanya mencakup di dalamnya perilaku verbal
(kata-kata yang kita gunakan), perilaku nonverbal (postur tubuh kita, sejauh
mana kita tersenyum, dan sebagainya) dan perilaku yang berorientasi pada
lingkungan (ruang antara komunikator, objek fisik yang ada di dalam
lingkungan dan sebagainya).
Altman & Taylor (1973) percaya
bahwa hubungan orang sangat bervariasi dalam penetrasi sosial mereka. Dari
suami-istri, supervisor-karyawan, pasangan main golf, dokter-pasien, hingga
para teoritikus menyimpulkan bahwa hubungan “melibatkan tingkatan berbeda
dari perubahan keintiman atau tingkat penetrasi sosial” (hal. 3). Para penulis ini menyatakan bahwa hubungan
mengikuti suatu trayek (trajectory), atau jalan setapak menuju kedekatan.
Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa hubungan bersifat teratur dan dapat
diduga dalam perkembangannya. Karena hubungan adalah sesuatu yang penting dan
“sudah ada dalam hati kemanusiaan kita” (Rogers & Escudero, 2004, hal.
3), para teoritikus Penetrasi Sosial berusaha untuk menguraikan kompleksitas
dan prediktabilitas yang terus menerus dari suatu hubungan.
Asumsi-asumsi Teori Penetrasi
Sosial:
Teori Penetrasi Sosial sudah
diterima secara luas melalui sejumlah ilmuwan dalam disiplin ilmu komunikasi.
Sebagian alasan dari daya tarik teori ini adalah pendekatannya yang langsung
pada perkembangan hubungan. Meskipun secara sekilas telah disebutkan beberapa
asumsi sebelumnya, akan dibahas asumsi-asumsi yang mengarahkan SPT berikut
ini :
(1)
Hubungan-hubungan mengalami
kemajuan dari tidak intim menjadi intim.
Assumsi pertama, hubungan komunikasi
antara orang dimulai pada tahapan superficial dan bergerak pada sebuah
kontinum menuju tahapan yang lebih intim. Tidak semua hubungan terletak pada
titik ekstrim baik tidak intim maupun intim. Bahkan banyak dari hubungan kita
terletak pada suatu titik diantara dua kutub tersebut. Sering kali, kita
mungkin menginginkan kedekatan hubungan yang moderat.
(2)
Secara umum, perkembangan hubungan
sistematis dan dapat diprediksi.
Asumsi kedua dari teori Penetrasi
Sosial berhubungan dengan prediktabilitas. Secara khusus, para teoritikus
penetrasi social berpendapat bahwa hubungan-hubungan berkembang secara
sistematis dan dapat diprediksi. Beberapa orang mungkin memiliki kesulitan
untuk menerima klaim ini. Hubungan seperti proses komunikasi bersifat dinamis
dan terus berubah, tetapi bahkan sebuah hubungan yang dinamis mengikuti
standard dan pola perkembangan yang dapat
diterima.
(3)
Perkembangan hubungan mencakup
depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi.
Asumsi ketiga SPT berhubungan
dengan pemikiran bahwa perkembangan hubungan mencakup depenetrasi dan solusi.
Mulanya, kedua hal ini mungkin terdengar aneh. Sejauh ini kita telah membahas
titik temu dari sebuah hubungan. Akan tetapi, hubungan dapat menjadi
berantakan, atau menarik diri (depenetrasi), dan kemunduran ini dapat
menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Berbicara mengenai penarikan diri
dan disolusi, Altman dan Taylor menyatakan kemiripan proses ini dengan sebuah
film yang diputar mundur. Sebagaimana komunikasi memungkinkan sebuah hubungan
untuk bergerak maju menuju tahap keintiman, komunikasi dapat menggerakkan
hubungan untuk mundur menuju ketidakintiman. Jika suatu komunikasi penuh
dengan konflik, contohnya, dan konflik ini terus berlanjut menjadi destruktif
dan tidak bisa diselesaikan, hubungan itu mungkin akan mengambil langkah
mundur dan menjadi lebih jauh. Para teoritikus penetrasi sosial berpikir
bahwa penarikan diri seperti halnya proses penetrasi sering kali sistematis.
Jika sebuah hubungan mengalami
depenetrasi, hal itu tidak berarti bahwa hubungan itu akan secara otomatis
hilang atau berakhir. Sering kali, suatu hubungan akan mengalami transgresi
(transgression), atau pelanggaran aturan, pelaksanaan, dan harapan dalam
berhubungan. Transgresi ini mungkin tampak tidak dapat diselesaikan dan
sering kali memang demikian.
(4)
Pembukaan diri adalah inti dari
perkembangan hubungan.
Asumsi terakhir, menyatakan bahwa
pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan. Pembukaan diri
(self-disclosure) dapat secara umum didefinisikan sebagai proses informasi
mengenai diri sendiri kepada orang lain yang memiliki tujuan. Biasanya
informasi yang ada di dalam pembukaan diri adalah informasi yang signifikan.
Menurut Altman dan Taylor (1973), hubungan yang tidak intim bergerak menuju
hubungan yang intim karena adanya keterbukaan diri. Proses ini memungkinkan
orang untuk saling mengenal dalam sebuah hubungan. Pembukaan diri membantu
membentuk hubungan masa kini dan masa depan antara dua orang, dan “membuat
diri terbuka terhadap orang lain memberikan kepuasan instrinsik” (hal.50).
Kesimpulan.
Teori Penetrasi Sosial sudah
memiliki daya tarik sejak dicetuskannya lebih dari tiga puluh tahun yang
lalu. Altman dan Taylor mengajukan model yang menarik untuk melihat
perkembangan hubungan. Teori ini diawali pada masa di mana terdapat
keterbukaan di dalam masyarakat. Ketika Anda memikirkan mengenai nilai teori
ini, pertimbangkan kerangka waktu teori ini. Oleh karena itu, di antara semua
kriteria untuk mengevaluasi sebuah
teori, terdapat dua yang relevan yakni; heurisme dan ruang lingkup.
Heurisme.
Tak diragukan bahwa Teori
Penetrasi Sosial dan konsep pembukaan diri menghasilkan beratus-ratus macam kajian. Banyak peneliti telah mempelajari
dan menulis mengenai pengaruh pembukaan diri, contohnya pada pelbagai tipe
hubungan dan melintasi berbagai macam populasi. Keluarga (Turner & West,
2006), guru (Mottet, Beebe, Raffled & Medlock, 2004); Russ, Simonds &
Hart, 2002), pernikahan (Caughlin & Petronio, 2004), dan hubungan
dokter-pasien (Duggan & Parrott, 2001) semuanya telah diteliti.
Selanjutnya, pengaruh budaya pada proses penetrasi sosial (misalnya,
Gudykunst & Nishida, 1986a) juga sudah diamati. Ilmuwan pada area
pengembangan hubungan dan area lainnya, termasuk control hubungan (Rogers
& Escudero, 2004), persahabatan (Johnson et al, 2004), dan mempertahankan
hubungan (Dindia, 2003) banyak berhutang pada tulisan-tulisan penetrasi sosial.
Ruang Lingkup.
Seseorang berpendapat bahwa ruang
lingkup SPT terbatas. Beberapa ilmuwan menyatakan, contohnya, bahwa pembukaan
diri khususnya mungkin diinterpretasikan secara sempit. Misalnya, Valerin Derlega, Sandra Metts, Sandra Petronio, dan Stephen Margulis (1993) yakin
bahwa pembukaan diri tergantung pada sejumlah faktor, tidak hanya pada
kebutuhan untuk membuka diri kepada orang sejalan dengan waktu. Karena orang
secara konstan berubah, mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap sebagai
pembukaan diri sering kali tergantung pada sikap pasangan. Selain itu,
Derlega dan koleganya menyatakan bahwa pembukaan diri tidak selalu merupakan
peristiwa yang linear, seperti yang dikemukan SPT. Derlega dan koleganya
menyimpulkan bahwa “pembukaan diri dan hubungan yang dekat tidak selalu
perkembangannya sejalan dengan waktu secara paralel, perlahan-lahan dan
berkelanjutan” (hal. 26).
Ruang lingkup teori ini juga
dipertanyakan oleh yang lainnya. Mark Knapp dan Anita Vangelisti (2005)
menolak pemikiran bahwa perkembangan hubungan bersifat linier. Mereka yakin
hubungan tertanam di dalam hubungan yang lain, dan sebagai akibatnya,
hubungan ini memengaruhi komunikasi antara pasangan. Oleh karenanya, orang
lain mungkin dapat memengaruhi arah sebuah hubungan. Selanjutnya, sifat
linear dari teori ini mengindikasikan bahwa kebalikan dari keterlibatan dalam
hubungan (ingat kembali bahwa Altman & Taylor menyamakan berakhirnya
suatu hubungan dengan sebuah film yang diputar terbalik) adalah sebuah
kehancuran hubungan. Leslie Baxter dan erin Sahlstein (2000) menyatakan bahwa
konsep keterbukaan informasi dan ketertutupan informasi tidak dapat dipahami
dalam isolasi; terdapat banyak hal lain dalam sebuah hubungan daripada
sekadar pembukaan diri. Selanjutnya, Baxter (1984) menemukan bahwa beberapa
elemen terdapat dalam rusaknya sebuah hubungan, melemahkan konsep linear dari
berakhirnya sebuah hubungan.
Walaupun terdapat kritik, Teori
Penetrasi Sosial merupakan sebuah teori yang integral berkaitan dengan
perkembangan hubungan dan telah menghasilkan ratusan kajian. Walaupun
pemunculan aslinya mungkin sedikit problematik, teori ini memiliki pengaruh
bagi para ilmuwan komunikasi interpersonal. Pengembangan hubungan dapat
menjadi hal yang menantang pada waktu-waktu tertentu, dan SPT membantu orang
memahami tantangan-tantangan tersebut.
|
Komentar
Posting Komentar