SUMMARY THEORIES OF COMMUNICATION



BAB. 6
Manajemen Makna Terkoordinasi (Coordinated Management of Meaning).
(CMM-W. Barnett Pearce & Vernon Cronen).
Banyak orang menganggap percakapan mereka sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya. Ketika orang berbicara satu sama lain, mereka sering kali mengikuti pola yang dapat ditebak, dan mereka bergantung pada norma sosial yang ada. Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce & Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi (Coordinated Management of Meaning-CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Aturan-aturan memainkan peranan yang penting dalam teori ini; para pencetusnya brpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita.

Asumsi-asumsi Teori Manajemen Makna Terkoordinasi;
CMM berfokus pada diri dan hubungannya dengan orang lain; serta mengkaji bagaimana seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Teori ini penting karena berfokus pada hubungan antara individual dengan masyarakatnya (Philipsen, 1995,  dalam West & Turner, 2009:115-116). Jika kita kembali melihat metafora mengenai teater, pertimbangkan bahwa semua aktor harus dapat berimprovisasi menggunakan pengalaman-pengalaman acting pribadinya, serta merujuk pada naskah yang mereka bawa dalam drama tersebut.
Manusia, karenanya mampu menciptakan dan menginterpretasikan makna. Selain itu, juga terdapat beberapa asumsi :
(1)         Manusia hidup dalam komunikasi.
Asumsi pertama dari CMM merupakan pentingnya komunikasi, yaitu manusia hidup dalam komunikasi. Sekilas, premis ini memberikan pernyataan yang sedikit aneh mengenai komunikasi: fakta bahwa manusia mendiami proses komunikasi. Akan tetapi Pearce (1989) berpendapat bahwa “komunikasi adalah, dan akan selalu ada , menjadi lebih penting bagi manusia dari yang seharusnya”. Lebih jauh lagi, para teoritikus CMM meminta adanya pengujian ulang mengenai bagaiman individu-individu memandang  komunikasi karena “sejarah intelektual Barat cenderung menggunakan komunikasi seakan-akan komunikasi adalah sarana penyampaian pemikiran dan ekspresi yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa (Pearce, 1989, hal.7). Pearce dan Cronen menyatakan menyatakan bahwa komunikasi harus ditata ulang dan disesuaikan kembali terhadap konteks demi memahami perilaku manusia. Ketika para peneliti memulai perjalanan dan pendefinisian ulang ini, mereka mulai mereka mulai menyelidiki sifat konsekuensial komunikasi (bahwa komunikasi selalu memiliki konsekuensi), dan bukannya perilaku atau variable yang menyertai proses komunikasi (Cronen, 1995a).
(2)   Manusia saling menciptakan realitas.
Asumsi kedua dari CMM adalah bahwa manusia saling menciptakan realitas sosial. Kepercayaan bhawa orang-orang saling menciptakan realitas sosial mereka dalam percakapan tersebut sebagai konstruksionisme sosial (social constructionism). Cronen, Chen dan Pearce (1988) menyatakan bahwa “terkadang tampaknya individu-individu berkomunikasi untuk mengekspresikan emosi mereka dan untuk merujuk pada dunia di sekeliling mereka”. Terkadang pengalaman-pengalaman komunikasi ini cukup lancar; pada saat lainnya menyulitkan. Sebagaimana dinyatakan oleg Gerry Philipsen (1995), “banyak interaksi menjadi lebih banyak kacau dari pada teratur, dan lebih sering kikuk dari pada elegan” (hal. 19).
(3)           Transaksi informasi bergantung kepada makna pribadi dan interpersonal.
Asumsi ketiga yang ada dalam teori CMM berkaitan dengan cara orang mengendalikan percakapan. Pada dasarnya, transaksi tergantung pada makna pribadi dan interpersonal, sebagaimana dikemukakan oleh Donald Cushman dan Gordon Whiting (1972). Makna pribadi (personal meaning) didefinisikan sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan yang lain sambil membawa pengalamannya yang unik ke dalam interaksi. Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah mencapai makna interpersonal (interpersonal meaning). Cushman dan Whiting (1972) berpendapat bahwa makna interpersonal dapat dipahami dalam berbagai macam konteks, termasuk keluarga, kelompok kecil, dan organisasi.

Ketiga asumsi ini membentuk suatu latar untuk mendiskusikan Manajemen Makna Terkoordinasi.
Sebagaimana diindikasikan oleh ketiga asumsi ini, teori ini didasarkan pada konsep-konsep komunikasi, realitas sosial, dan makna. Selain itu kita dapat memahami teori ini dengan lebih baik dengan cara mengamati beberapa isu lain dengan lebih mendalam. Salah satu isu ini adalah bagaimana makna dikategorikan.

Seluruh Dunia adalah Sebuah Panggung
Hidup ini diibaratkan sebagai “teater tanpa sutradara”. Manusia di dalam teater (hidup) tersebut berperan sebagai aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis. Drama yang dimainkan adalah realitas hidup mereka. Sehingga, manusia dalam hidupnya secara tidak sadar seakan-akan menyutradarai hidupnya sendiri bagai sebuah teater disamping mereka menjadi aktor utama dalam hidupnya tersebut. Dan kemudian mereka memaknai drama yang dimainkan tersebut dengan mengkoordinasikan makna yang dimiliki masing-masing individu menjadi makna yang sama merujuk pada naskah drama yang dimainkan.


Hierarki dari Makna yang Terorganisasi
Para teoritikus manajemen makna terkoordinasi mengemukakan enam elemen makna, yaitu:
1)      Isi (content), merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
2)      Tindak tutur (speech act), merujuk pada tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara termasuk memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan dan bertanya.
3)      Episode (episode), merujuk pada rutinitas komunikasi memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas.
4)      Hubungan (relationship), dapat diartikan sebagai kontrak kesepakatan dan pengertian antara dua orang di mana terdapat tuntunan dalam berperilaku.
5)      Naskah kehidupan (life scripts), merujuk pada kelompok-kelompok episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu system makna yang dapat dikelola bersama dengan orang lain.
6)      Pola budaya (cultural pattern), merujuk pada gambaran mengenai dunia dan bagaimana berhubungan seseorang dengan hal tersebut.

Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi (coordination) ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Hasil yang mungkin dalam perbincangan ada tiga, yaitu: mencapai koordinasi, tidak mencapai koordinasi, atau mencapai koordinasi pada tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Dari ketiga hasil tersebut yang paling mungkin adalah mencapai koordinasi pada tingkat tertentu karena sulit untuk mencapai koordinasi yang sempurna dan menyeluruh.

Pengaruh Terhadap Proses Koordinasi
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas dan ketersediaan sumber daya. Moralitas harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih penting dan lebih tinggi. Hal ini didasari bahwa setiap orang membawa berbagai tingkat moral kedalam percakapan. Selain moralitas, koordinasi juga dipengaruhi sumberdaya (resources), mereka merujuk pada cerita, gambar, simbol, dan institusi yang digunakan orang untuk memaknai dunia mereka (Pearce, 1989)

Aturan dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah satu cara yang digunakan individu untuk mengelola dan mengkoordinasikan makna adalah melalui penggunaan aturan. Ada dua tipe aturan: pertama, aturan konstitutif yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan dalam suatu konteks. Aturan ini memberitahukan kita makna dari suatu perilaku tertentu. Sedangkan yang kedua, aturan regulative yang merujuk pada urutan yang dilakukan seseorang, dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan. Aturan ini memberikan tuntunan kepada orang untuk berperilaku. Suatu ketika ada batasan antara aturan konstitutif dan regulatif selama digunakan dalam proses percakapan, apabila terjadi perseteruan akan timbul pola berulang yang tidak diinginkan (unwanted repetitive patterns), atau konflik yang berulang dan tidak diinginkan yang terjadi dalam sebuah hubungan.



Rangkaian Seimbang dan Rangkaian Tidak Seimbang
Sebelumnya kita telah mengetahui enam elemen makna yang apabila disusun dari level yang lelah tinggi ke level yang lebih rendah: pola budaya, naskah kehidupan, hubungan, episode, tindak tutur dan isi. Ketika rangkaian berjalan dengan konsisten melalui tindakan-tindakan yang ada dalam hierarki maka disebut rangkaian seimbang (charmed loop). Dan suatu ketika, beberapa episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih tinggi didalam hierarki yang ada maka hal tersebut dinamai rangkaian tidak seimbang (strange loop).

Kesimpulan
Ruang Lingkup
Tidak jelas  apakah CMM dapat dianggap memiliki ruang lingkup yang terlalu luas. Beberapa peneliti komunikasi (misalnya Brenders, 1987) menyatakan bahwa teori ini terlalu abstrak dan didalamnya terdapat definisi-definisi yang tidak tepat. Selain itu, Brenders juga melihat bahwa pada beberapa ide yang dikemukakan oleh Pearce & Cronen terdapat kekuarangan tolok ukur dan harus lebih diklarifikasi. Adanya system bahasa yang personal dalam teori ini, menurut Brenders, menimbulkan masalah dan “tidak menjelaskan sifat sosial sebuah makna” (hal. 342).
Sebaliknya, para teoritikus CMM berargumen bahwa kritik ini tidak mempertimbangkan evolusi yang dialami oleh teori ini serta perbaikan-perbaikan yang terjadi sejalan dengan waktu (Barge & Pearce, 2004). Pearce dan Cronen melihat bahwa para kritikus lupa bahwa mereka dididik dengan menggunakan tradisi empiris. Oleh karena itu, para kritikus harus menginterpretasikan teori ini berdasarkan adanya semangat perubahan yang terjadi; bahkan para teoritikus juga ikut berubah ketika tujuan yang ingin dicapai  oleh teori mereka semakin jelas. Selain itu Cronen (1995b) mengakui adanya masalah-masalah awal yang muncul dalam konseptualisasi CMM dengan menyatakan cara ia dan Pearce mendiskusikan penciptaan makna pada awalnya membingungkan dan “kurang terarah”.

Contoh Kasus:
Yanto tak bisa menyembunyikan ketegangannya. Wajar, inilah kali pertama dia ketemu dengan calon mertuanya. ”Nak Yanto kerja di mana,” tanya calon mertuanya. Sarjana Ekonomi itu sedikit gugup, meski sudah memperkirakan akan ditanya soal itu. ”Ehm, saya sedang merintis bisnis telekomunikasi, Pak. Saya membuka kios seluler.”
”Omsetnya udah sampai berapa?” Yanto diam sejenak, menyiapkan jawaban yang paling tepat. ”Sekarang ini sih belum terlalu banyak, tapi proyeksi saya bulan-bulan mendatang insya Allah akan lumayan, karena saya sudah mendapat mitra kerja yang menguntungkan.” Yanto mencoba mengalihkan pembicaraan, karena dia merasa belum ada yang bisa dibanggakan dari usahanya. ”O ya, sini masuk kelurahan mana ya Pak?”
Seiring dengan menjamurnya berbagai tayangan infotainment di televisi, maka kehidupan keluarga dan berbagai peristiwa yang semula tersembunyi di ruang-ruang privat seseorang kini semakin terbuka dan dapat diketahui oleh siapa saja. Tidak hanya para artis, selebritis dan public figure yang kehidupan pribadinya menjadi komoditas tontonan di layar kaca. Kini masyarakat umum yang tidak dikenal pun bisa menayangkan kehidupan dan masalah pribadinya melalui berbagai tayangan berbungkus reality show di televisi.
Salah satu menu infotainment maupun reality show yang sering menjadi incaran wartawan adalah masalah keluarga. Perceraian pasangan selebritis, pertengkaran antara ibu dan anak, dan sebagainya sering mengkambinghitamkan komunikasi yang tidak lancar sebagai pokok penyebab permasalahan mereka.
Teori coordinated management of meaning berusaha membuat kehidupan menjadi lebih baik melalui penataan kehidupan komunikasinya, seperti yang dilakukan Yanto pada contoh di atas.

BAB. 7
Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Disonance Theory)—Leon Festinger
Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Menurut Leon Festinger, Perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang” (1957, hal 4).
Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan itu.
Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua eleman itu sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa disonansi, secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan. Orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan memunculkan disonansi dalam berkomunikasi.
Konsep ini membentuk inti dari Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theoy—CDT) Festinger, teori yang berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu. Sebagaimana Roger Brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana: “Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaan ketidaknyamanan psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi. Disonansi adalah sebutan untuk ketidakseimbangan (hal.584). Selanjutnya, brown menyatakan bahwa teori ini memungkinkan dua elemen untuk memiliki tiga hubungan yang berbeda satu sama lain: mungkin saja konsosnan (consonant), disonan (dissonant), atau tidak relevan (irrelevant).
Roger Brown (1965) mengatakan, dasar dari teori ini mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana ”Keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai keadaam ketidaknyaman psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi adalah sebutan ketidakseimbangan dan konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan. Brown menyatakan teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja konsonan (consonant), disonansi (dissoanant), atau tidak relevan (irrelevan).
Hubungan konsonan (consonant relationship) ada antara dua elemen ketika dua elemen tersebut pada posisi seimbang satu sama lain. Jika anda yakin, misalnya, jika bahwa kesehatan dan kebugaran adalah tujuan yang penting dan anda berolahraga sebanyak tiga sampai lima kali dalam seminggu, maka keyakinan anda mengenai kesehatan dan perilaku anda sendiri akan memiliki hubungan yang konsonan antara satu sama lain. Atau pada kasus kaum lesbian. Jika perilaku lesbian dan norma agama atau sosial tidak ada pertentangan, berarti lesbian dengan norma agama dan sosial merupakan hubungan yang konsonan.

Hubungan disonansi (dissonant relationship) berarti bahwa elemen-elemennya tidak seimbang satu dengan lainnya. Contoh dari hubungan disonan antarelemen adalah seorang penganut agama yang mendukung hak perempuan untuk memilih melakukan aborsi. Dalam kasus ini, keyakinan keagamaan orang itu berkonflik dengan keyakinan politiknya mengenai aborsi. Atau kasus kaum lesbian, mengenai perilakunya yang lesbi dengan konflik dengan norma agama atau sosial yang bertentangan, membuat hubungan ini disonan.
Hubungan tidak relevan (irrelevan relationship) ada ketika elemen-elemen tidak mengimplikasikan apa pun mengenai satu sama lain. Pentingnya disonansi kognitif bagi peneliti komunikasi ditunjukkan dalam pernyataan Festinger bahwa ketidaknyaman yang disebabkan oleh disonansi akan mendorong terjadinya perubahan.

Asumsi-Asumsi Teoritis       
Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:
(1)            Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi. 
(2)            Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif. 
(3)            Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. 
(4)            Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.

Konsep dan Proses Disonansi Kognitif
Ketika teoretikus disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Teori CDT membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi.

Tingkat Disonansi.
Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan seseorang (Zimbardo, Ebbsen & Maslach, 1977):
(1)         Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. 
(2)         Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. 
(3)         Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang rasakan.

Disonansi Kognitif dan Persepsi.
Teori CDT berkaitan dengan proses pemilihan terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention), karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari penghindaran ini.
a.         Terpaan Selektif (Selective Exposure);
Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. CDT memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap dan prilaku mereka.
b.   Pemilihan Perhatian (Selective Attention)
Merujuk pada melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu ada. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.
c.  Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)
Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan menggunakan interpretasi selektif, kebanyakan orang menginterpretasikan sikap teman dekatnya sesuai dengan sikap mereka sendiri daripada yang sebenarnya terjadi (Bescheid & Walster, 1978).
d.   Retensi Selektif (Selective Retention)
Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.

Kritik Terhadap Teori Disonansi
(1)         Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi disonansi. 
(2)         Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau salah.

 Contoh Kasus :
Seseorang pembeli alat elektronik mencari informasi tentang barang yang mereka beli, karena ingin mengetahui apa saja yang di dapat dari manfaat barang yang akan mereka beli tersebut. Melalui iklan karena berupaya mencari penguatan atau keputusan mereka dengan membaca iklan-iklan tentang elektronik yang telah mereka beli.

BAB .8
Teori Pelanggaran Harapan (Expectacy Violations Theory)—
( JudeeBurgoon)
Lengkapnya disebut dengan expectancy violation theory. Dikemukakan oleh Jodee Burgoon pada tahun 1978. Teori ini memandang komunikasi sebagai alat pertukaran informasi tingkat tinggi dalam hal hubungan isi komunikasi , sehingga bisa digunakan oleh masing-masing pelaku komunikasi untuk menyerang harapan-harapan pihak lawan bicaranya, baik dalam arti positif maupun negatif, bergantung kepada suka atau tidak sukanya para pelaku komunikasi masing-masing.
Didalam perusahaan tempat saya bekerja, ada atasan dan bawahan tentunya. Jika ada bawahan misalnya; saya sebut saja dia seorang sekretaris ingin mengajukan kepada atasannya pulang cepat karena ada keperluan mendadak, tetapi ketika dia baru menghadap atasanya tersebut kemudian sambutan dari atasanya ketika dia datang sudah menunjukan sikap tidak ingin diganggu, dengan nada suaranya yang jutek dan bahasa tubuh atau bahasa non verbalnya menunjukan dia sangat sibuk dan terlihat sangan membutuhkan bantuan sang sekretaris itu, tentunya si sekretaris tidak bisa mengungkapkan apa yang di harapkannya yaitu bisa pulang lebih awal karena dari orang yang akan menerima pesan sudah menggambarkan tidak bisa menerima pesan selanjutnya dari kita.
Teori pelanggaran harapan berfokus pada mempelajari berbagai pesan dan pengaruh komunikasi nonverbal terhadap produksi pesan. Teori ini menjadi teori utama dalam mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku. Teori ini menyatakan setiap orang memiliki pengharapan perilaku nonverbal dari orang lain. Oleh karena itu, apabila perilaku nonverbal yang diterima tidak sesuai dengan yang diinginkan maka akan terjadi pelanggaran harapan.

Hubungan Ruang
Ruang yang dimaksud adalah ruang yang digunakan dalam sebuah percakapan. Setiap orang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi dan ruang pribadi. Oleh karena itu, mereka dalam melakukan percakapan, mereka menjaga jarak dirinya dengan orang lain dengan menggunakan ruang. Seperti yang ditekankan dari teori ini, bahwa komunikasi nonverbal memiliki pengaruh terhadap produksi pesan, komunikasi nonverbal yang dimaksud adalah jarak yang dipilih seseorang terhadap orang lain.

Zona proksemik merupakan jarak yang dipilih seseorang terhadap orang lain dalam percakapan, diantaranya:
1)   Jarak intim (0-18 inci), zona spasial yang sangat dekat. Dalam zona ini orang membicarakan hal yang sangat pribadi. Biasanya dengan orang terdekat atau pasangan.
2)   Jarak personal (18 inci-4 kaki), zona spasial yang digunakan untuk keluarga dan teman.
3)   Jarak sosial (4-12 kaki), zona yang digunakan untuk hubungan-hubungan formal seperti dengan rekan kerja.
4)   Jarak publik (lebih dari 12 kaki), zona yang digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti dosen dengan mahasiswa.

Ada elemen tambahan yaitu kewilayahan yang juga harus diperhatikan. Kewilayahan yang dimaksud adalah kepemilikan seseorang akan sebuah area atau benda. Ada tiga jenis kewilayahan, yaitu: kewilayahan primer (menunjukkan kepemilikan eksklusif seorang terhadap sebuah area atau benda), kewilayahan sekunder (merupakan afiliasi seseorang dengan sebuah area atu benda) dan kewilayahan publik (menandai tempat-tempat terbuka untuk semua orang).

Asumsi Teori Pelanggaran Harapan
1. Harapan mendorong terjadinya interaksi antar manusia.
2. Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari
3. Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal.

Valensi Penghargaan Komunikator
Valensi adalah jumlah dari karakteristik-karakteristik positif dan negatif dari seseorang dan potensi bagi orang untuk memberikan penghargaan atau hukuman. Dalam hal ini yang perlu diingat tidak semua pelanggaran harapan dinilai sebagai sesuatu yang negatif, bahkan terkadang bias ditangkap sebagai sesuatu yang positif.

Rangsangan
Rangsangan adalah minat atau perhatian yang meningkat ketika penyimpangan harapan terjadi. Seseorang dapat terangsang secara kognitif maupun fisik. Rangsangan kognitif adalah kesiagaan atau orientasi terhadap pelanggaran. Sedangkan rangsangan fisik adalah perilaku-perilaku yang digunakan komunikator dalam sebuah interaksi.

Batas Ancaman
Begitu rangsangan timbul, ancaman akan timbul. Batas ancaman adalah jarak dimana orang yang berinteraksi mengalami ketidaknyamanan fisik dan fisiologis dengan kehadiran orang lain. Dalam kata lain, batas ancaman adalah toleransi bagi pelanggar jarak. Burgoon menyatakan “ketika jarak disamakan dengan ancaman, jarak yang lebih dekat dilihat sebagai lebih mengancam dari jarak yang lebih jauh lebih aman”.

Valensi Pelanggaran
Dalam teori ini, ditekankan bahwa ketika orang berbicara pada orang lain, mereka memiliki harapan. Ketika harapan dilanggar, banyak orang mengevaluasi pelanggaran tersebut berdasarkan sebuah valensi pelanggaran (penilaian positif atau negatif dari sebuah perilaku yang tidak terduga). Valensi pelanggaran berbeda dengan valensi penghargaan komunikator. Valensi pelanggaran lebih berfokus pada penyimpangan itu sendiri. Valensi pelanggaran melibatkan pemahaman suatu pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi (Burgoon dan Hale, 1988). Singkatnya, para komunikator berusaha untuk menginterpretasikan makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah mereka menyukainya atau tidak. Sedangkan apabila pelanggaran tersebut bersifat ambigu atau tidak kentara secara jelas maka lebih baik menggunakan valensi penghargaan komunikator dalam memandang pelanggaran tersebut.

PENGEMBANGAN HUBUNGAN (RELATIONSHIP DEVELOPMENT).
BAB. 9
Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory).
Teori pengurangan ketidakpastian (Uncertainly Reduction Theory) kadang kala disebut dengan Teori Interaksi Awal (Initial Interaction Theory). Teori pengurangan ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Tahun 1987 Lester mengembangkan teori ini menjadi termasuk teori dalam suatu organisasi.      

Perkembangan.
Setelah Berger dan Calabrese mengemukakan teori ini (1975), dengan tujuan untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka. Teori ini kemudian sedikit diperjelas (Berger, 1979; Berger & Bradac, 1982). Versi terbaru dari teori ini meyarankan bahwa terdapat dua tipe ketidakpastian dari perjumpaan awal: kognitif dan perilaku. Kognitif merujuk pada keyakinan dan sikap yang kita dan orang lain anut. Ketidakpastian kognitif (cognitive uncertainty), merujuk kepada tingkat ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap tersebut. Ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainty) merupakan ”batasan sampai mana perilaku dapat di prediksi dalam sebuah situasi tertentu” (Berger & bradac,1982) Lebih lanjut lagi, Berger dan calabrese beragumen bahwa pengurangan ketidakpastian memiliki baik proses proaktif maupun retroaktif. Pengurangan ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir mengenai pilihan-pilihan komunikasi sebelum melakukannya dengan orang lain. Penguranagan ketidakpastian retroaktif terdiri atas usaha-usaha untuk menjelaskan perilaku setelah perjumpaan itu sendiri. Pada tahun 1987 Lester mengembangkan teori ini dengan mengaplikasikan proses sosialisasi dari anggota-anggota suatu organisasi ketika pertama kali bergabung dengan suatu organisasi.

Asumsi Dasar Teori Pengurangan Ketidakpastian
Menurut Charles Berger dan Richard Calabrese:
1)      Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal.
Terdapat harapan berbeda-beda mengenai kejadian interpersonal, maka masuk akal untuk menyimpulkan bahwa orang merasakan ketidakpastian atau bahkan cemas untuk bertemu orang lain;
2)      Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stres secara kognitif.  Berada di dalam ketidakpastian membutuhkan energi emosional dan psikologis yang tidak sedikit;
3)      Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas.
Pencarian informasi biasanya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan dengan tujuan untuk memperoleh prediktabilitas;
4)      Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Menurut Berger dan Calabrese, biasanya, kebanyakan orang memulai interaksi dalam sebuah fase awal (entry phase), yang dapat didefinisikan sebagai tahap awal interaksi antara orang lain. Setelah itu, orang memasuki tahapan kedua, yang disebut sebagai fase personal (personal phase) tahap di mana pertisipan mulai berkomunikasi dengan lebih spontan dan membuka lebih banyak informasi pribadinya. Tahap ketiga, fase akhir (exit phase), individu membuat keputusan mengenai apakah mereka ingin untuk melanjutkan interaksi dengan pasangannya di masa yang akan datang;
5)      Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian. Komunikasi mensyaratkan beberapa kondisi diantaranya adalah kemampuan untuk mendengar,tanda respons nonverbaal dan bahasa yang sama;
6)      Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang akan berubah seiring berjalannya waktu. Berfokus pada fakta bahwa komunikasi interpersonal adalah perkembangan. Teorikus penguiranagan ketidakpastian percaya bahwa interaksi awal adalah elemen kunci dalam proses perkembangan ini;
7)      Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum. Perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip umum yang berfungsi dengan cara seperti hukum. Tujuan dari teori cakupan hukum adalah untuk menghasilkan hukum yang akan menjelaskan bagaimana kita berkomunikasi.

Sedangkan Asumsi menurut Lester sebagai berikut:
1)      Set pertama dalam suatu hubungan adalah menyinggung tentang aktivitas yang berhubungan dengan organisasi. Anggota-anggota suatu organisasi akan meningkatkan penilaian kepercayaan mereka sebagaimana mereka menjadi lebih merasa pasti dalam organisasi tersebut.
2)      Apabila keuntungan dan kerugian (seperti pembayaran, promosi, atau resiko kerja) perbandingannya sangat berbeda, maka anggota-anggota suatu organisasi akan menilai kepercayaan diri mereka akan rendah. Tetapi apabila antara keuntungan dan kerugian sama antar organisasi maka mereka akan merasa percaya diri.
3)      Mendengar cerita dari organisasi lain atau cerita dari organisasi sendiri yang bisa terbilang sukses dapat meningkatkan kepercayaan diri untuk setiap pendatang baru.
4)      Suatu organisasi yang bersih dan tujuan organisasi yang jelas akan meningkatkan suatu sikap yang pasti akan suatu organisasi. setiap anggota dan membentuk sikap yang pasti.

Aksioma Teori Pegurangan Ketidakpastian
1)      Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada permulaan fase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua orang asing meningkat, tingkat ketidakpastian untuk tiap partisipan dalam sebuah hubungan akan menurun. Jika ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal meningkat.
2)      Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresian afiliatif nonverbal.
3)      Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan meningkatnya perilaku pencarian informasi ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku pencarian informasi juga menurun.
4)      Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah hubungan menyebabkan penurunan tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi.
5)      Ketidakpastian yang tinggi menghasilkan tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat resiprositas yang rendah pula.
6)      Kemiripan diantara orang akan mengurangi ketidakpastian, sementara ketidakpastian akan meningkatkan ketidakpastian.
7)      Peningkatan tingkat ketidakpastian akan menghasilkan penurunan dalam kesukaan penurunan dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam kesukaan.

Perluasan Teori pengurangan Ketidakpastian
Aksioma tambahan
1)      Ketidakpastian berhubungan secara negatif dengan interaksi dalam jaringan sosial. Makin orang berinteraksi dengan teman dan keluarga dari mitra hubungan mereka, makin sedikit ketidakpastian yang mereka alami.
2)      Terdapat hubungan kebalikan atau negatif antara ketidakpastian dan kepuasan komunikasi.

Kondisi Pendahulu
Ada tiga jenis kondisi pendahulu, yaitu: (1) ketika orang satunya mempunyai potensi untuk memberikan penghargaan atau hukuman, (2) ketika orang satunya berperilaku keblaikan dari yang diharapkan, dan (3) ketika seseorang mengharapkan interkasi selanjutnya dengan orang lain.

Strategi
Ada tiga jenis strategi yang digunakan untuk memperoleh informasi, yaitu : (1) strategi aktif; mengurangi ketidakpastian dengan cara lain selain kontak langsung, (2) strategi pasif; mengurangi ketidakpastian dengan pengamatan yang tidak mengganggu terhadap orang lainnya, dan (3) strategi interaktif; mengurangi ketidakpastian dengan terlibat dalam percakapan.


Hubungan yang Mapan: Melampaui Perjumpaan Awal
Tujuan dari teori ini adalah untuk mengurangi ketidakpastian. Sangat diharpakan dengan pengurangan ketidakpastian akan membuat hubungan menjadi mapan melebihi ketika awal perjumpaan. Dengan terus berupaya mengurangi ketidakpastian tersebut akan menciptakan hubungan yang lebih dan lebih mapan, sehingga dapat menghindari ketidakpastian hubungan.

Konteks
Teori pengurangan ketidakpastian diterapkan dalam konteks komunikasi interpersonal. Akan tetapi beberapa peneliti mencoba menerapkan konsep-konsep teori pengurangan ketidakpastian dalam konteks komunikasi antar budaya yang disebut dengan teori manajemen kecemasan ketidakpastian (Gudykunst, 1955).

Karakteristik
Setiap anggota kelompok yang baru bergabung menjadi anggota baru suatu organisasai akan melakukan sosialisasi diri terhadap lingkungan barunya. Organisasi sendiri baik faktor internal maupun eksternal juga sangat mendukung proses sosialisasi yang dilakukan oleh pendatang baru yang bersangkutan.

Implementasi
Ketika seorang anak baru saja menjadi murid baru di salah satu tempat les bahasa inggris, dia akan mencoba untuk memprediksikan bagiamana mereka akan berhasil dalam organisasi tersebut. Baik ketika berkomunikasi dengan anggota lainnya maupaun sikap yang sesuai dengan keadaan organisasi tersebut. Lester percaya anggota-anggota baru di suatu organisasi akan memiliki rasa percaya diri yang lebih dalam mempredikasi bagaiamana mereka akan berhasil dalam suatu organisasi apabila diperlihatkan tentang sikap dari organisasi yang bersangkutan (kepastian sikap).

BAB. 10
Teori Penetrasi Sosial (Social Penetration Theory).
Social Penetration Theory (Irwin Daltman & Dalmas Taylor).
Ketika kita mengatakan bahwa kita dekat dengan seseorang, kita sering kali bertindak seakan orang lain memahami secara tepat apa yang kita maksudkan. Akan tetapi, kejadiannya tidak selalu demikian. Mengatakan Anda dekat atau intim dengan seseorang mungkin tidak dapat dipahami secara universal. Untuk memahami kedekatan hubungan antara dua orang, Irwin Daltman & Dalmas Taylor (1973) mengonseptualisasikan Teori Penetrasi  Sosial (Sosial Penetration Theory-SPT). Penetrasi sosial (social penetration) merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-individu  bergerak dari komunikasi superficial menuju ke komunikasi yang lebih intim. Menurut Altman dan Taylor, keintiman di sini lebih dari sekedar keintiman secara fisik; dimensi lain dari keintiman termasuk intelektual dan emosional, dan hingga pada batasan di mana pasangan melakukan aktivitas bersama (West & Turner, 2006). Proses penetrasi sosial, karenanya mencakup di dalamnya perilaku verbal (kata-kata yang kita gunakan), perilaku nonverbal (postur tubuh kita, sejauh mana kita tersenyum, dan sebagainya) dan perilaku yang berorientasi pada lingkungan (ruang antara komunikator, objek fisik yang ada di dalam lingkungan dan sebagainya).
Altman & Taylor (1973) percaya bahwa hubungan orang sangat bervariasi dalam penetrasi sosial mereka. Dari suami-istri, supervisor-karyawan, pasangan main golf, dokter-pasien, hingga para teoritikus menyimpulkan bahwa hubungan “melibatkan tingkatan berbeda dari perubahan keintiman atau tingkat penetrasi sosial” (hal. 3). Para penulis ini menyatakan bahwa hubungan mengikuti suatu trayek (trajectory), atau jalan setapak menuju kedekatan. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa hubungan bersifat teratur dan dapat diduga dalam perkembangannya. Karena hubungan adalah sesuatu yang penting dan “sudah ada dalam hati kemanusiaan kita” (Rogers & Escudero, 2004, hal. 3), para teoritikus Penetrasi Sosial berusaha untuk menguraikan kompleksitas dan prediktabilitas yang terus menerus dari suatu hubungan.

Asumsi-asumsi Teori Penetrasi Sosial:
Teori Penetrasi Sosial sudah diterima secara luas melalui sejumlah ilmuwan dalam disiplin ilmu komunikasi. Sebagian alasan dari daya tarik teori ini adalah pendekatannya yang langsung pada perkembangan hubungan. Meskipun secara sekilas telah disebutkan beberapa asumsi sebelumnya, akan dibahas asumsi-asumsi yang mengarahkan SPT berikut ini :
(1)         Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim.
         Assumsi pertama, hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan superficial dan bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim. Tidak semua hubungan terletak pada titik ekstrim baik tidak intim maupun intim. Bahkan banyak dari hubungan kita terletak pada suatu titik diantara dua kutub tersebut. Sering kali, kita mungkin menginginkan kedekatan hubungan yang moderat.
(2)         Secara umum, perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi.
Asumsi kedua dari teori Penetrasi Sosial berhubungan dengan prediktabilitas. Secara khusus, para teoritikus penetrasi social berpendapat bahwa hubungan-hubungan berkembang secara sistematis dan dapat diprediksi. Beberapa orang mungkin memiliki kesulitan untuk menerima klaim ini. Hubungan seperti proses komunikasi bersifat dinamis dan terus berubah, tetapi bahkan sebuah hubungan yang dinamis mengikuti standard dan pola perkembangan yang dapat diterima.
(3)      Perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi.
Asumsi ketiga SPT berhubungan dengan pemikiran bahwa perkembangan hubungan mencakup depenetrasi dan solusi. Mulanya, kedua hal ini mungkin terdengar aneh. Sejauh ini kita telah membahas titik temu dari sebuah hubungan. Akan tetapi, hubungan dapat menjadi berantakan, atau menarik diri (depenetrasi), dan kemunduran ini dapat menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Berbicara mengenai penarikan diri dan disolusi, Altman dan Taylor menyatakan kemiripan proses ini dengan sebuah film yang diputar mundur. Sebagaimana komunikasi memungkinkan sebuah hubungan untuk bergerak maju menuju tahap keintiman, komunikasi dapat menggerakkan hubungan untuk mundur menuju ketidakintiman. Jika suatu komunikasi penuh dengan konflik, contohnya, dan konflik ini terus berlanjut menjadi destruktif dan tidak bisa diselesaikan, hubungan itu mungkin akan mengambil langkah mundur dan menjadi lebih jauh. Para teoritikus penetrasi sosial berpikir bahwa penarikan diri seperti halnya proses penetrasi sering kali sistematis.
Jika sebuah hubungan mengalami depenetrasi, hal itu tidak berarti bahwa hubungan itu akan secara otomatis hilang atau berakhir. Sering kali, suatu hubungan akan mengalami transgresi (transgression), atau pelanggaran aturan, pelaksanaan, dan harapan dalam berhubungan. Transgresi ini mungkin tampak tidak dapat diselesaikan dan sering kali memang demikian.
(4)         Pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan.
Asumsi terakhir, menyatakan bahwa pembukaan diri adalah inti dari perkembangan hubungan. Pembukaan diri (self-disclosure) dapat secara umum didefinisikan sebagai proses informasi mengenai diri sendiri kepada orang lain yang memiliki tujuan. Biasanya informasi yang ada di dalam pembukaan diri adalah informasi yang signifikan. Menurut Altman dan Taylor (1973), hubungan yang tidak intim bergerak menuju hubungan yang intim karena adanya keterbukaan diri. Proses ini memungkinkan orang untuk saling mengenal dalam sebuah hubungan. Pembukaan diri membantu membentuk hubungan masa kini dan masa depan antara dua orang, dan “membuat diri terbuka terhadap orang lain memberikan kepuasan instrinsik” (hal.50).

Kesimpulan.
Teori Penetrasi Sosial sudah memiliki daya tarik sejak dicetuskannya lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Altman dan Taylor mengajukan model yang menarik untuk melihat perkembangan hubungan. Teori ini diawali pada masa di mana terdapat keterbukaan di dalam masyarakat. Ketika Anda memikirkan mengenai nilai teori ini, pertimbangkan kerangka waktu teori ini. Oleh karena itu, di antara semua kriteria untuk mengevaluasi sebuah teori, terdapat dua yang relevan yakni; heurisme dan ruang lingkup.

Heurisme.
Tak diragukan bahwa Teori Penetrasi Sosial dan konsep pembukaan diri menghasilkan beratus-ratus macam kajian. Banyak peneliti telah mempelajari dan menulis mengenai pengaruh pembukaan diri, contohnya pada pelbagai tipe hubungan dan melintasi berbagai macam populasi. Keluarga (Turner & West, 2006), guru (Mottet, Beebe, Raffled & Medlock, 2004); Russ, Simonds & Hart, 2002), pernikahan (Caughlin & Petronio, 2004), dan hubungan dokter-pasien (Duggan & Parrott, 2001) semuanya telah diteliti. Selanjutnya, pengaruh budaya pada proses penetrasi sosial (misalnya, Gudykunst & Nishida, 1986a) juga sudah diamati. Ilmuwan pada area pengembangan hubungan dan area lainnya, termasuk control hubungan (Rogers & Escudero, 2004), persahabatan (Johnson et al, 2004), dan mempertahankan hubungan (Dindia, 2003) banyak berhutang pada tulisan-tulisan penetrasi sosial.

Ruang Lingkup.
Seseorang berpendapat bahwa ruang lingkup SPT terbatas. Beberapa ilmuwan menyatakan, contohnya, bahwa pembukaan diri khususnya mungkin diinterpretasikan secara sempit. Misalnya, Valerin Derlega, Sandra Metts, Sandra Petronio, dan Stephen Margulis (1993) yakin bahwa pembukaan diri tergantung pada sejumlah faktor, tidak hanya pada kebutuhan untuk membuka diri kepada orang sejalan dengan waktu. Karena orang secara konstan berubah, mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap sebagai pembukaan diri sering kali tergantung pada sikap pasangan. Selain itu, Derlega dan koleganya menyatakan bahwa pembukaan diri tidak selalu merupakan peristiwa yang linear, seperti yang dikemukan SPT. Derlega dan koleganya menyimpulkan bahwa “pembukaan diri dan hubungan yang dekat tidak selalu perkembangannya sejalan dengan waktu secara paralel, perlahan-lahan dan berkelanjutan” (hal. 26).
Ruang lingkup teori ini juga dipertanyakan oleh yang lainnya. Mark Knapp dan Anita Vangelisti (2005) menolak pemikiran bahwa perkembangan hubungan bersifat linier. Mereka yakin hubungan tertanam di dalam hubungan yang lain, dan sebagai akibatnya, hubungan ini memengaruhi komunikasi antara pasangan. Oleh karenanya, orang lain mungkin dapat memengaruhi arah sebuah hubungan. Selanjutnya, sifat linear dari teori ini mengindikasikan bahwa kebalikan dari keterlibatan dalam hubungan (ingat kembali bahwa Altman & Taylor menyamakan berakhirnya suatu hubungan dengan sebuah film yang diputar terbalik) adalah sebuah kehancuran hubungan. Leslie Baxter dan erin Sahlstein (2000) menyatakan bahwa konsep keterbukaan informasi dan ketertutupan informasi tidak dapat dipahami dalam isolasi; terdapat banyak hal lain dalam sebuah hubungan daripada sekadar pembukaan diri. Selanjutnya, Baxter (1984) menemukan bahwa beberapa elemen terdapat dalam rusaknya sebuah hubungan, melemahkan konsep linear dari berakhirnya sebuah hubungan.
Walaupun terdapat kritik, Teori Penetrasi Sosial merupakan sebuah teori yang integral berkaitan dengan perkembangan hubungan dan telah menghasilkan ratusan kajian. Walaupun pemunculan aslinya mungkin sedikit problematik, teori ini memiliki pengaruh bagi para ilmuwan komunikasi interpersonal. Pengembangan hubungan dapat menjadi hal yang menantang pada waktu-waktu tertentu, dan SPT membantu orang memahami tantangan-tantangan tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI