KEPERCAYAAN DASAR (METAFISIKA) DARI PARADIGMA-PARADIGMA PENELITIAN ALTERNATIF


Item
(1)  Positivisme
(2)  Post-Positivisme
(3)  Teori Klasik dkk.
(4)  Konstruktivisme

Ontologi
Realisme naïf—
Realitas “nyata”
Namun bisa dipahami.
Realitas kritis—
Realitas “nyata”
Namun hanya bisa dipahami secara tidak sempurna dan secara probabilistic.
Realism historis—
Realitas maya yang dibentuk oleh nilai-nilai social, politik, ekonomi, etnik dan gender; mengkristal seiring perjalanan waktu.

Relativisme—
Realitas yang dikonstruksikan secara lokal dan spesifik

Ontologi: Realisme (realism naïf).
Sebuah realitas yang bisa dipahami diasumsikan hadir, yang dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang tak dapat diubah. Pengetahuan tentang “keadaan alami benda-benda” secara konvensional dirangkum dalam bentuk generalisasi yang bebas-waktu dan bebas-konteks, yang sebagiannya mengambil bentuk hukum sebab-akibat.
Secara prinsip, penelitian mampu mencapai/mendekati keadaan alami benda-benda yang “sesungguhnya.” Sikap dasar paradigm ini dipandang berciri reduksionis sekaligus deterministic (Hesse, 1980).

Ontologi: Relaisme Kritis.
Realitas diasumsikan ada, namun tidak bisa dipahami  secara sempurna karena pada dasarnya mekanisme intelektual manusia memiliki kekurangan sedangkan fenomena itu sendiri secara fundamental memiliki sifat yang tak mudah diatur.
Ontologi disebut dengan realism kritis (Cook & Campbell, 1979) karena sikap para pendukungnya bahwa klaim tentang realitas harus tunduk pada pengujian kritis yang seluas-luasnya guna memudahkan dalam memahami realitas sedekat-dekatnya  (namun tidak pernah secara sempurna).
Ontologi: Realisme Historis.
Sebuah realitas dianggap bisa dipahami pernah suatu ketika  berciri lentur, namun dari waktu ke waktu, dibentuk oleh serangkaian factor; social, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender, yang kemudian  mengkristal (membatu) ke dalam serangkaian struktur yang saat ini  (secara tidak tepat) dipandang sebagai yang “nyata” yakni; alamiah dan abadi.
Demi tujuan-tujuan praktis, struktur tersebut adalah “nyata”, yakni sebagai Realitas Maya atau Historis.
Ontologi: Relativis.
Realitas bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindra, yang didasarkan secara social dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut.
Konstruksi (mental) tersebut tidak kurang atau lebih “benar” , dalam pengertian mutlak, namun sekadar lebih atau kurang matang dan/atau canggih. Konstruksi tersebut dapat diubah, sebagaimana “realitas” ikutannya juga demikian. Posisi ini sebaiknya dibedakan dari nominalisme dan idealism (lihat Reese, 1980, untuk uraian tentang berbagai gagasan ini).

Epistemologi
Dualis/objektivis; temuan yang benar.

Dualis/objektivis yang dimodiffikasi; tradisi/komunitas kritis; temuan-temuan yang mungkin benar.







Transaksional/subjektivis; temuan-temuan yang diperantarai oleh nilai.
Transaksional/subjektivis; temuan-temuan yang diciptakan.

Epistemologi: Dualis dan Objektivis.
§  Peneliti dan “objek” yang diteliti dianggap sebagai entitas yang terpisah, sedangkan peneliti dipandang mampu mempelajari objek tanpa mempengaruhi atau dipengaruhi olehnya.
§  Ketika diketahui terjadi pengaruh pada kedua arah (ancaman terhadap validitas), atau bahkan sekedar diduga, maka berbagai strategi pun ditempuh untuk mereduksi atau menyingkirkannya.
§  Penelitian berlangsung laksana melalui cermin satu arah.
§  Nilai dan bias dicegah agar tidak mempengaruhi hasil, sepanjang prosedur yang ditentukan diikuti dengan ketat.

§  Temuan-temuan yang dapat diulang, dalam kenyataannya, adalah benar.


Epistemologi: Dualis/objektivis yang dimodifikasi.
§  Dualisme sudah banyak ditinggalkan karena tidak mungkin lagi untuk dipertahankan, sedangkan objektivitas tetap menjadi “cita-cita pemandu”; penekanan khusus diberikan pada “pengawal” eksternal objektivitas seperti tradisi-tradisi kritis (Apakah hasil-hasil penelitian “sesuai” dengan ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya?) dan komunitas kritis (seperti; editor, juri, dan rekan-rekan professional).
§  Hasil penelitian yang dapat diulang besar kemungkinan benar (namun selalu tunduk pada falsifikasi).
Epistemologi: Transaksional dan Subjektivitas.
§  Peneliti dan Objek yang diteliti terhubung secara interaksif,  dengan nilai-nilai peneliti (dan nilai “orang-orang lain” yang diposisikan) memengaruhi penelitian secara tak terhindarkan.
§  Oleh karenanya, temuan-temuan penelitian diperantai oleh nilai.
§  Perhatikan bahwa sikap ini secara efektif menantang pembedaan tradisional antara Ontologi dengan Epsitemologi,  sesuatu yang dapat diketahui ternyata terjalin secara  erat dengan interaksi antara seorang peneliti tertentu dengan objek atau kelompok tertentu.
Garis putus-putus yang memisahkan baris Ontologis dengan Epistemologis pada table. 6.1. dimaksudkan untuk mencerminkan perpaduan itu.

Epistemologi: Transaksional dan subjektivis.
§ Peneliti dan Objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara Literal seiring dengan berjalannya proses penelitian.
§ Pembedaan konvensional antara ontology dengan Epistemologi pun lenyap, sebagaimana yang terjadi dalam teori kritis. Sekali lagi, garis putus-putus pada table 6.1. mencerminkan fakta ini.
Metodologi
Eksperimental/manipulative; verifikasi hipotesis; terutama metode-metode kuantitatif.
Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi; keragaman kritis; falsifikasi hipotesis; bisa jadi meliputi metode-metode kualitatif.

Dialogis/dialektis.
Hermeneutis/dialektis.

Metodologi: Eksperimental dan Manipulatif.
Pertanyaan dan/ atau hipotesis dinyatakan dalam bentuk  proposisi dan tunduk pada pengujian empiris untuk memverifikasinya; kondisi-kondisi yang berpeluang mengacaukan harus dikontrol secara hati-hati (dimanipulasi) guna mencegah terpengaruhnya hasil-hasil penelitian secara tidak tepat.

Metodologi: Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi.
§  Penekanan diberikan pada “keragaman kritis” (sebuah versi baru triangulasi) sebagai suatu cara untuk memfalsifikasi (bukan verifikasi) hipotesis.


§  Metodologinya bertujuan untuk memecahkan  sebagian persoalan yang dipaparkan di muka (kritik-kritik intraparadigma) dengan melakukan penelitian dalam setting yang lenih alami, mengumpulkan informasi dengan lebih situasional, dan mengenalkan kembali penemuan sebagai satu elemen dalam penelitian, dan terutama dalam ilmu-ilmu social, memunculkan sudut pandang Emik untuk membantu menentukan makna dan tujuan yang dilekatkan manusia kepada tindakan-tindakan mereka, disamping memberikan sumbangsih bagi “Teori Grounded” (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1990).
Semua tujuan ini dicapai sebagian besar melalui pemanfaatan teknik-teknik kualitatif yang makin meningkat.

Metodologi: Dialogis dan Dialektis.
§ Sifat transaksional penelitian membutuhkan dialog antara para peneliti dengan subjek-subjek penelitian; dialog tersebut haruslah berciri dialektis agar mengubah ketidaktahuan dan kesalahpahaman  (yakni; menerima struktur-struktur diperantarai secara historis sebagai yang tak dapat diubah) menjadi kesadaran yang lebih  mendalam/matang (yang menyadari bagaimana struktur-struktur dapat diubah dan memahami tindakan apa saja  yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan), atau seperti ungkapan Giroux (1988), “sebagai intelektual transformative,……untuk menyingkap dan menggali bentuk-bentuk pengetahuan historis dan terkungkung yang mengacu pada pengalaman akan penderitaan, konflik dan perjuangan kolektif; …..untuk mengaitkan gagasan tentang pemahaman historis dengan elemen-elemen kritik dan harapan “ (hlm. 213).
Para peneliti tranfornasional  menampilkan “kepemimpinan transformasional” (Burns, 1978).

Metodologi; Hermeneutis dan Dialektis.
§ Sifat variable dan personal (intramental) dari konstruksi social menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara Peneliti denfan para Responden.

§ Beragam konstruksi ini diinterpretasikan menggunakan teknik-teknik Hermeneutik konvensional dan dikomaparasikan serta diperbandingkan melalui pertukaran dialektis.

§ Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sebuah konstruksi consensus yang lebih matang dan canggih daripada semua konstruksi sebelumnya (termasuk tentu saja konstruksi dan etika peneliti).

§ Untuk pembahasan lebih lanjut tentang konstruktivisme, lihat juga Schwandt, Bab &, buku ini).

(Sumber: Denzin & Lincoln, 2009: 135).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI