THEORIES OF COMMUNICATION (CULTURE AND DIVERSITY)


BAB.26
Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory).
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespon konflik. Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan, dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
Konsep
Budaya individualis
Budaya kolektivis
Diri
Sebagai dirinya sendiri
Sebagai bagian kelompok
Tujuan
Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan diri.
Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan kelompok
Kewajiban
Melayani diri sendiri
Melayani kelompok/orang lain.

Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
1)      Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
2)      Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
3)      Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
4)      Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
5)      Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.

Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.

Speech Codes Theory.
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a)      Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b)      Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c)      Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d)     Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e)      Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan moralitas dari perilaku komunikasi.

BAB.27
Teori Sikap  (Nancy C.M. Hartsock)
Asumsi Teori Sikap:
1)      Kehidupan material (atau posisi kelas) menyusun dan membatasi pemahaman akan hubungan sosial.
2)      Ketika kehidupan material distrukturkandalam dua cara yang berlawanan untuk dua kelompok yang berbeda, pemahaman yang satu akan menjadi kebalikan dari yang satunya. Ketika kelompok dominan kelompok bawahan, dan pemahaman dari kelompok yang dominan akan bersifat parsial yang merugikan.
3)      Visi dari kelompok yang berkuasa menyusun hubungan material di mana semua kelompok dipaksa berpartisipasi.
4)      Visi yang ada bagi kelompok  yang tertindas merepresentasikan pergulatan dan prestasi.
5)      Potensi pemahaman dari mereka yang tertindas (sikap) membuat dapat dilihatnya ketidakmanusiawian dari hubungan yang ada di antara kelompok dan menggerakkan kita menuju dunia yang lebih baik dan lebih adil.

Konsep Penting Teori Sikap :
1.      Sikap (standpoint);
Adalah lokasi, yang dimiliki bersama oleh kelompok yang mengalami status sebagai orang luar, di dalam sebuah struktur sosial, yang memebrikan sejenis pemahaman bagi pengalaman orang yang telah terjalani, atau posisi yang dicapai berdasarkan lokasi sosial yang memebrikan suatu aspek interpretatif pada kehidupan seseorang.
2.      Pengetahuan Tersituasi (situated knowledge);
Bahwa pengetahuan setiap orang didasarkan pada konteks dan keadaan.
3.      Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin (sexual division of labor);
Alokasi pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin. Karena itu, Teori Sikap menggarisbawahi eksploitasi dan distorsi yang muncul ketika pekerjaan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin.

BAB.28
Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory).
Teori ini mengemukakan bahwa: (1) Bahasa yang dipakai laki-laki lebih baik daripada perempuan, juga cara berbahasa orang Eropa dan Amerika lebih baik daripada orang Afrika atau kelompok-kelompok lainnya; (2) Rupanya ini hanya kasus berdasarkan pengalaman yang bervariasi daro orang Eropa dan Amerika apalagi banyak nama ahli linguistic justru berasal dari benua itu, apalagi mereka tidak mempunyai pengalaman dari orang yang lain; (3) Karena itu, dalam kaitannya dengan bahasa, perempuan tampaknya lebih sedikit mengartikulasikan makna bahasa di depan umum jika dibandingkan dengan kaum laki-laki; (4) Perempuan selalu hanya menjadi anggota dari suatu kelompok, perempuan selalu hanya menjadi bawahan sehingga perempuan tidak pernah bebas sebebas laki-laki; (5) Perempuan umumnya tidak memiliki hak bersuara di depan umum. Mengapa? Karena perempuan memiliki keterbatasan kosakata untuk menyatakan diri. Apalagi kata-kata yang diucapkan laki-laki sering diformulasikan dan diterjemahkan bahwa gaya komunikasi laki-laki selalu menunjukkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan; (6) Perempuan mencoba berbuat sesuatu sesuai bahasa, laki-laki membuat dan menciptakan bahasa (congress man, chairman), laki-laki selalu berperilaku komunikasi secara ekslusif; (7) Perempuan seolah-olah hanya mengurus norma relasi, sedangkan laki-laki yang mengatur control, termasuk control komunikasi.
Teori-teori Feminist Genre, Genderlect, Muted Group Theory selalu menggambarkan “perbedaan komunikasi antarbudaya” antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini secara umum tak pernah digolongkan ke dalam “teori gender” melainkan “pengaruh cultural” semata-mata. Beberapa pertanyaan kritis tentang “komunikasi gender” berkisar pada “apakah ada perbedaan pengalaman berkomunikasi antara laki-laki dan perempuan? Yakni: (1) siapa yang berbicara lebih banyak?; (2) siapa yang boleh melakukan instrupsi?; (3) apakah terdapat perbedaan pola-pola komunikasi gender dalam pertemuan kelompok formal?; (4) apakah terdapat terdapat perbedaan pola-pola komunikasi dalam pertemuan kelompok informal?; (5) adakah bahasa perempuan selalu berkonotasi tidak pasti jika dibandingkan dengan laki-laki?; (6) adakah perbedaan komunikasi gender berkaitan dengan kekuasaan?
Teori kelompok bungkam menjelaskan bahwa wanita berusaha menggunakan bahasa yang diciptakan oleh pria untuk mendeskripsikan pengalaman mereka dalam cara yang sama seperti halnya ketika seorang penutur asli bahasa inggris belajar bercakap-cakap dalam bahasa Spanyol.
Tetapi, tidak semua wanita bungkam dan semua pria memiliki suara. Teori kelompok bungkam memungkinkan kita untuk memahami kelompok mana pun yang dibungkam karena tidak memadainya bahasa mereka. Selain itu, pembungkaman dapat terjadi sebagai hasil dari ketidakpopuleran pandangan yang berusaha untuk diungkapkan seseorang.

Pencetus Teori: Edwin Ardener dan Shirley Ardener yang merupakan seorang antropolog sosial.

Latar Belakang Pemikiran
Edwin Ardener dan Shirley Ardener melakukan penelitian berkaitan dengan struktur dan hierarki sosial. Pada tahun 1975, Edwin Ardener mengatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hierarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan. Dengan mengubah generalisasi ini ke dalam kasus tertentu mengenai wanita di dalam budaya. Edwin Ardener menyatakan, “Mereka yang terlatih dalam bidang etnografi jelas-jelas memilih bias terhadap jenis model yang para pria siap diberikan (atau disetujui) oleh para pria dibandingkan terhadap model mana pun yang dapat diberikan wanita. Jika pria tampak lebih pandai bicara dibandingkan wanita, ini merupakan kasus dari orang-orang yang sama berbicara mengenai hal yang sama.”
Selain itu, Shirley Ardener mengamati bahwa kebungkaman wanita merupakan pasangan dari ketulian pria. Karenannya, ia menjelaskan bahwa wanita (atau anggota dari kelompok bawah mana pun) memang berbicara, tetapi kata-kata mereka berjatuhan pada telinga yang tuli (tidak mau mendengarkan), dan ketika ini terjadi sejalan dengan waktu, mereka cenderung berhenti mencoba untuk mengemukakan pendapat mereka, dan bahkan mereka mulai berhenti untuk memikirkannya.
Bagi Edwin, kelompok yang bungkam dianggap tidak pandai berbicara oleh sistem bahasa kelompok yang dominan, yang tumbuh secara langsung dari pandangan terhadap dunia dan pengalaman mereka.
Bagi kelompok bungkam, apa yang mereka katakan pertama kali harus bergeser dari pandangan mereka sendiri terhadap dunia dan kemudian diperbandingkan dengan pengalaman-pengalaman dari kelompok yang dominan. Karenanya, artikulasi bagi kelompok bungkam merupakan hal yang tidak langsung dan rusak.

Asumsi Dasar
a.       Wanita mempersepsikan dunia secara berbeda dibandingkan pria karena pengalaman pria dan wanita yang berbeda serta adanya kegiatan-kegiatan yang berakar pada pembagian pekerjaan.
b.      Karena dominasi politik mereka, sistem persepsi pria dominan, menghambat ekspresi bebas dari model alternatif wanita mengenai dunia.
c.       Agar dapat berpartisipasi di masyarakat, wanita harus mentransformasi model mereka sendiri sesuai dengan sistem ekspresi pria yang diterima.

Kelemahan Teori dan Kritik
Teori kelompok bungkam telah dikritik karena tidak memiliki kegunann karena teori ini terlibat dalam esensialisme, atau keyakinan bahwa semua pria pada esensinya adalah sama dan semua wanita pada esensinya adalah sama dan keduannya berbeda satu sama lain.
Tidak terlalu banyak kajian yang telah menggunakan teori kelompok bungkam sebagai kerangka, dan sedikit yang menggunakannya sering kali tidak menghasilkan dukungan empiris. Kritikus menyatakan bahwa teori ini harus dibuang karena asumsi-asumsinya yang kuno tidak divalidasi secara empiris.
Teori kelompok bungkam adalah teori yang provokatif dan menyebabkan kita berpikir dalam bias bahasa. Teori ini juga memberikan penerangan pada apa yang kita terima dan kita tolak dari pembicara. Selain itu, teori ini juga menjelaskan beberapa permasalahan yang dialami wanita dalam berbicara di berbagai latar. Terserah kepada kita untuk memutuskan apakah isu-isu ini membentuk bias yang sistematis terhadap kelompok bawahan dan mendukung kelompok dominan, sebagaimana dinyatakan teori kelompok bungkam.



Premis dari Teori
Teori ini memandang bahwa bahasa adalah batasan budaya, dan karenanya laki-laki lebih berkuasa dari perempuan, laki-laki lebih mempengaruhi bahasa sehingga menghasilkan bahasa yang bias laki-laki.
Hal ini terjadi, karena bahasa dari budaya yang khusus tidak menyajikan semua pembicara (speakers) secara sama, tidak semua pembicara berkontribusi dalam formulasi cara yang sama. Perempuan (dan anggota dari kelompok subordinat) tidak sebebas dan semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma untuknya menggunakan formulasi dari kelompok dominan, yaitu laki-laki.

Asumsi-asumsi Pokok
Kramarae (1981) merancang tiga asumsi yang berpusat pada sajian feminisnya dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu:
  1. Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat.
  2. Karena laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan.
  3. Sehingga, agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan tersebut.

Kramarae (dalam Miller, 2002: 293) juga mengembangkan tujuh hipotesis mengenai Teori Kelompok yang Dibungkam, yaitu,
a)      Perempuan kemungkinan besar lebih sulit mengekspresikan diri mereka sendiri dalam cara-cara ekspresi publik yang dominan dibandingkan laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata-kata untuk pengalaman yang feminin, karena laki-laki tidak berbagi pengalaman tersebut dan tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.
b)      Laki-laki lebih sulit daripada perempuan dalam memahami makna anggota dari gender lain. Bukti dari hipotesis ini dapat dilihat pada berbagai hal, misalnya laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut; perempuan lebih sering menjadi objek dari pengalaman daripada laki-laki; laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas, sehingga perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-laki mengisolasi dirinya dari sistem komunikasi perempuan.
c)      Perempuan kemungkinan akan menemukan cara untuk mengekpresikan diri mereka sendiri di luar cara-cara ekspresi publik dominan yang digunakan oleh laki-laki baik dalam konvensi verbal maupun perilaku nonverbal mereka. Perempuan lebih mengandalkan ekspresi nonverbal dan menggunakan bentuk-bentuk nonverbal yang berbeda dengan yang digunakan laki-laki, karena mereka secara verbal dibungkam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa misalnya, ekspresi wajah, “vocal pauses”, dan gerak tubuh lebih penting pada komunikasi perempuan dibanding komunikasi laki-laki. Perempuan juga cenderung menunjukkan lebih banyak perubahan ekspresi dalam percakapan.
d)     Perempuan kemungkinan besar lebih menyatakan ketidakpuasan pada cara-cara ekspresi publik dominan laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai persoalan mereka dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki-laki.
e)      Perempuan menolak untuk hidup dengan gagasan-gagasan dari organisasi sosial yang ditangani oleh kelompok dominan dan akan mengubah cara-cara ekspresi publik dominan karena mereka secara sadar dan secara verbal menolak gagasan tersebut. Himbauan bagi kebebasan perempuan telah mengembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang berbeda yang melibatkan pengalaman-pengalaman perempuan, seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok penyadaran.
f)       Perempuan tidak seperti laki-laki dalam menciptakan kata-kata yang diakui secara luas dan digunakan oleh laki-laki maupun perempuan. Konsekuensinya perempuan merasa tidak dianggap berkontribusi terhadap perkembangan bahasa.
g)      Selera humor perempuan akan berbeda dari selera humor laki-laki. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki konseptualisasi dan ekspresi yang berbeda, sehingga seseuatu yang tampak lucu bagi laki-laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

BAB.29
Teori Akomodasi Komunikasi (Howard Giles)
Apakah di dalam hubungan interpersonal, dalam kelompok kecil, atau lintas ko-budaya, orang menyesuaikan komunikasi mereka dengan orang lain. Adaptasi ini merupakan inti dari teori Akomodasi Komunikasi (Communication Accomodation Theory) yang dikembangkan oleh Howard Giles. Sebelumnya dikenal sebagai teori Akomodasi Wicara (Speech Acommodation Theory, tetapi kemudian dikonseptualisasikan secara lebi luas untuk mencakup perilaku nonverbal). Teori Akomodasi berpijak pada premis bahwa ketika pembicara berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan, pola vocal, dan/ atau tindak tanduk mereka untuk mengakomodasi orang lain.
Akomodasi adalah menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku dalam merespon orang lain.

Psikologi Sosial dan Identitas Sosial:
1.      Identitas Sosial; adalah teori yang menyatakan bahwa identitas seseorang dibentuk oleh kelompok di mana ia tergabung.
2.      Kelompok Dalam; yaitu kelompok di mana seseorang merasa bahwa itu adalah tempatnya.
3.      Kelompok Luar; adalah kelompok di mana seseorang merasa bahwa itu bukan tempatnya.

Asumsi Teori Akomodasi Komunikasi :
1.      Persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan.
2.      Cara di mana kita memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan.
3.      Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status social dan keanggotaan kelompok.
4.      Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian dan norma mengarahkan proses akomodasi.



Cara Beradaptasi :
1)      Konvergensi: Melebur Pandangan; yakni strategi yang digunakan untuk beradaptasi dengan perilaku orang lain.
2)      Divergensi: Hiduplah Perbedaan; adalah strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara para komunikator.
3)      Akomodasi Berlebihan: Miskomunikasi dengan tujuan; yakni mencoba melakukan secara berlebihan usaha-usaha dalam mengatur memodifikasi, atau merespons orang lain.

Kritik dan Penutup
Teori Akomodasi Komunikasi berfokus pada peranan percakapan dalam kehidupan kita dan pengaruh yang dimiliki oleh komunikasi dan budaya terhadap percakapan-percakapan tersebut. Teori ini menjabarkan beberapa poin penting berkaitan dengan peranan yang dimainkan pola komunikasi dan gaya bagi para komunikator dan bagi pasien.

Heurisme
Tak diragukan lagi, Giles dan koleganya telah mengonseptualisasikan teori yang kaya dalam nilai heuristic. Teori ini telah digunakan dalam beberapa kajiab berbeda. Misalnya, akomodasi telah dipelajari di dalam media massa (Bell, 1991), dengan keluarga (Fox, 1999; Lin & Harwood, 2003); dengan mahasiswa keturunan Cina (Hornsey & Gallois, 1998), dengan kaum lansia (Harwood, 2002), pada pekerjaan (McCroskey & Richmond, 2000), dalam wawancara (Willemyns, Gallois, Callan & Pittan, 1997), sehubungan dengan e-mail (Bunz & Campbell, 2004), dan bahkan pesan-pesan yang ditinggalkan pada mesin penerima pesan telepon (Buzzanell, Burrell, Stafford & Berkowitz, 1996), yang didiskusikan dalam catatan Penelitian. Tak diragukan bahwa teori ini heuristic dan memiliki nilai keilmuwan yang bertahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI