KEPERCAYAAN DASAR (METAFISIKA) DARI PARADIGMA-PARADIGMA PENELITIAN ALTERNATIF



KEPERCAYAAN DASAR (METAFISIKA) DARI PARADIGMA-PARADIGMA
PENELITIAN ALTERNATIF
Item
(1) Positivisme
(2) Post-Positivisme
(3) Teori Klasik dkk.
(4) Konstruktivisme

Ontologi
Realisme naïf—
Realitas “nyata”
Namun bisa dipahami.
Realitas kritis—
Realitas “nyata”
Namun hanya bisa dipahami secara tidak sempurna dan secara probabilistic.
Realism historis—
Realitas maya yang dibentuk oleh nilai-nilai social, politik, ekonomi, etnik dan gender; mengkristal seiring perjalanan waktu.

Relativisme—
Realitas yang dikonstruksikan secara lokal dan spesifik

Ontologi: Realisme (realism naïf).
Sebuah realitas yang bisa dipahami diasumsikan hadir, yang dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang tak dapat diubah. Pengetahuan tentang “keadaan alami benda-benda” secara konvensional dirangkum dalam bentuk generalisasi yang bebas-waktu dan bebas-konteks, yang sebagiannya mengambil bentuk hukum sebab-akibat.
Secara prinsip, penelitian mampu mencapai/mendekati keadaan alami benda-benda yang “sesungguhnya.” Sikap dasar paradigm ini dipandang berciri reduksionis sekaligus deterministic (Hesse, 1980).

Ontologi: Relaisme Kritis.
Realitas diasumsikan ada, namun tidak bisa dipahami  secara sempurna karena pada dasarnya mekanisme intelektual manusia memiliki kekurangan sedangkan fenomena itu sendiri secara fundamental memiliki sifat yang tak mudah diatur.
Ontologi disebut dengan realism kritis (Cook & Campbell, 1979) karena sikap para pendukungnya bahwa klaim tentang realitas harus tunduk pada pengujian kritis yang seluas-luasnya guna memudahkan dalam memahami realitas sedekat-dekatnya  (namun tidak pernah secara sempurna).
Ontologi: Realisme Historis.
Sebuah realitas dianggap bisa dipahami pernah suatu ketika  berciri lentur, namun dari waktu ke waktu, dibentuk oleh serangkaian factor; social, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender, yang kemudian  mengkristal (membatu) ke dalam serangkaian struktur yang saat ini  (secara tidak tepat) dipandang sebagai yang “nyata” yakni; alamiah dan abadi.
Demi tujuan-tujuan praktis, struktur tersebut adalah “nyata”, yakni sebagai Realitas Maya atau Historis.
Ontologi: Relativis.
Realitas bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindra, yang didasarkan secara social dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut.
Konstruksi (mental) tersebut tidak kurang atau lebih “benar” , dalam pengertian mutlak, namun sekadar lebih atau kurang matang dan/atau canggih. Konstruksi tersebut dapat diubah, sebagaimana “realitas” ikutannya juga demikian. Posisi ini sebaiknya dibedakan dari nominalisme dan idealism (lihat Reese, 1980, untuk uraian tentang berbagai gagasan ini).

Epistemologi
Dualis/objektivis; temuan yang benar.

Dualis/objektivis yang dimodiffikasi; tradisi/komunitas kritis; temuan-temuan yang mungkin benar.







Transaksional/subjektivis; temuan-temuan yang diperantarai oleh nilai.
Transaksional/subjektivis; temuan-temuan yang diciptakan.

Epistemologi: Dualis dan Objektivis.
§  Peneliti dan “objek” yang diteliti dianggap sebagai entitas yang terpisah, sedangkan peneliti dipandang mampu mempelajari objek tanpa mempengaruhi atau dipengaruhi olehnya.
§  Ketika diketahui terjadi pengaruh pada kedua arah (ancaman terhadap validitas), atau bahkan sekedar diduga, maka berbagai strategi pun ditempuh untuk mereduksi atau menyingkirkannya.
§  Penelitian berlangsung laksana melalui cermin satu arah.
§  Nilai dan bias dicegah agar tidak mempengaruhi hasil, sepanjang prosedur yang ditentukan diikuti dengan ketat.

§  Temuan-temuan yang dapat diulang, dalam kenyataannya, adalah benar.


Epistemologi: Dualis/objektivis yang dimodifikasi.
§  Dualisme sudah banyak ditinggalkan karena tidak mungkin lagi untuk dipertahankan, sedangkan objektivitas tetap menjadi “cita-cita pemandu”; penekanan khusus diberikan pada “pengawal” eksternal objektivitas seperti tradisi-tradisi kritis (Apakah hasil-hasil penelitian “sesuai” dengan ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelumnya?) dan komunitas kritis (seperti; editor, juri, dan rekan-rekan professional).
§  Hasil penelitian yang dapat diulang besar kemungkinan benar (namun selalu tunduk pada falsifikasi).
Epistemologi: Transaksional dan Subjektivitas.
§  Peneliti dan Objek yang diteliti terhubung secara interaksif,  dengan nilai-nilai peneliti (dan nilai “orang-orang lain” yang diposisikan) memengaruhi penelitian secara tak terhindarkan.
§  Oleh karenanya, temuan-temuan penelitian diperantai oleh nilai.
§  Perhatikan bahwa sikap ini secara efektif menantang pembedaan tradisional antara Ontologi dengan Epsitemologi,  sesuatu yang dapat diketahui ternyata terjalin secara  erat dengan interaksi antara seorang peneliti tertentu dengan objek atau kelompok tertentu.
Garis putus-putus yang memisahkan baris Ontologis dengan Epistemologis pada table. 6.1. dimaksudkan untuk mencerminkan perpaduan itu.

Epistemologi: Transaksional dan subjektivis.
§ Peneliti dan Objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara Literal seiring dengan berjalannya proses penelitian.
§ Pembedaan konvensional antara ontology dengan Epistemologi pun lenyap, sebagaimana yang terjadi dalam teori kritis. Sekali lagi, garis putus-putus pada table 6.1. mencerminkan fakta ini.
Metodologi
Eksperimental/manipulative; verifikasi hipotesis; terutama metode-metode kuantitatif.
Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi; keragaman kritis; falsifikasi hipotesis; bisa jadi meliputi metode-metode kualitatif.

Dialogis/dialektis.
Hermeneutis/dialektis.

Metodologi: Eksperimental dan Manipulatif.
Pertanyaan dan/ atau hipotesis dinyatakan dalam bentuk  proposisi dan tunduk pada pengujian empiris untuk memverifikasinya; kondisi-kondisi yang berpeluang mengacaukan harus dikontrol secara hati-hati (dimanipulasi) guna mencegah terpengaruhnya hasil-hasil penelitian secara tidak tepat.

Metodologi: Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi.
§  Penekanan diberikan pada “keragaman kritis” (sebuah versi baru triangulasi) sebagai suatu cara untuk memfalsifikasi (bukan verifikasi) hipotesis.


§  Metodologinya bertujuan untuk memecahkan  sebagian persoalan yang dipaparkan di muka (kritik-kritik intraparadigma) dengan melakukan penelitian dalam setting yang lenih alami, mengumpulkan informasi dengan lebih situasional, dan mengenalkan kembali penemuan sebagai satu elemen dalam penelitian, dan terutama dalam ilmu-ilmu social, memunculkan sudut pandang Emik untuk membantu menentukan makna dan tujuan yang dilekatkan manusia kepada tindakan-tindakan mereka, disamping memberikan sumbangsih bagi “Teori Grounded” (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1990).
Semua tujuan ini dicapai sebagian besar melalui pemanfaatan teknik-teknik kualitatif yang makin meningkat.

Metodologi: Dialogis dan Dialektis.
§ Sifat transaksional penelitian membutuhkan dialog antara para peneliti dengan subjek-subjek penelitian; dialog tersebut haruslah berciri dialektis agar mengubah ketidaktahuan dan kesalahpahaman  (yakni; menerima struktur-struktur diperantarai secara historis sebagai yang tak dapat diubah) menjadi kesadaran yang lebih  mendalam/matang (yang menyadari bagaimana struktur-struktur dapat diubah dan memahami tindakan apa saja  yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan), atau seperti ungkapan Giroux (1988), “sebagai intelektual transformative,……untuk menyingkap dan menggali bentuk-bentuk pengetahuan historis dan terkungkung yang mengacu pada pengalaman akan penderitaan, konflik dan perjuangan kolektif; …..untuk mengaitkan gagasan tentang pemahaman historis dengan elemen-elemen kritik dan harapan “ (hlm. 213).
Para peneliti tranfornasional  menampilkan “kepemimpinan transformasional” (Burns, 1978).

Metodologi; Hermeneutis dan Dialektis.
§ Sifat variable dan personal (intramental) dari konstruksi social menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara Peneliti denfan para Responden.

§ Beragam konstruksi ini diinterpretasikan menggunakan teknik-teknik Hermeneutik konvensional dan dikomaparasikan serta diperbandingkan melalui pertukaran dialektis.

§ Tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan sebuah konstruksi consensus yang lebih matang dan canggih daripada semua konstruksi sebelumnya (termasuk tentu saja konstruksi dan etika peneliti).

§ Untuk pembahasan lebih lanjut tentang konstruktivisme, lihat juga Schwandt, Bab &, buku ini).
(Sumber: Denzin & Lincoln, 2009: 135).



BERBAGAI POSISI PARADIGMA DALAM MASALAH-MASALAH PRAKTIS PILIHAN
Masalah
Positivisme
Post-Positivisme
Teori Kritis dkk.
Konstruktivisme

(Baris 1)
Tujuan Penelitian
Penjelasan: Prediksi dan Kontrol.

Kritik dan Transformasi: pemulihan dan emansipasi.

Pemahaman: Rekonstruksi.
(Baris 2)
Sifat Ilmu Pengetahuan
Hipotesis yang sahih dikembangkan menjadi fakta atau hukum.
Hipotesis yang tak dapat difalsifikasi yang berpeluang menjadi fakta atau hukum

Wawasan structural/historis.
Berbagai rekonstruksi individual bersatu membentuk consensus.
(Baris 3)
Akumulasi Pengetahuan
Pertambahan—“bahan-bahan pembangunan” yang menyempurnakan “bangunan pengetahuan”: generalisasi dan hubungan sebab-akibat.

Revisiniosme historis: generalisasi melalui similaritas.
Rekonstruksi yang lebih matang dan canggih: pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri.

(Baris 4)
Kriteria Baik-Buruknya atau Kualitas
“Keketatan” sebagai standar konvensional: Validitas Internal dan Eksternal, Reliabilitas dan Objektivitas.

Keterposisian historis: lenyapnya ketidaktahuan stimulus tindakan.

Layak dipercaya dan keontetikan serta kesalahpahaman.
(Baris 5)
Nilai
Tidak Tercakup—pengaruh ditolak.

Tercakup—berciri formatif.
(Baris 6)

Etika
Ekstrinsik; cenderung menipu.

Instrinsik; kecondongan moral ke  arah ilham  (bimbingan gaib).
Instrinsik; proses yang condong kea rah penyingkapkan rahasia; persoalan-persoalan khusus.

(Baris 7)
Suara
“Ilmuwan yang tak memihak” sebagai penasehat pembuat kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku perubahan.

“Intelektual transformative” sebagai pembela dan aktivis.

“Partisipan  yang penuh empati dan gairah” sebagai fasilitator bagi rekonstruksi multi-pesan.

(Baris 8)
Pelatihan
Teknis dan Kuantitaf; teori-teori substantive.

Teknik; Kuantitatif dan Kualitatif; Teori-Teori Substantif.
Sosialisasi ulang; kualitatif dan kuantitatif; sejarah; nilai-nilai altruism dan pemberdayaaan.
(Baris 9)
Akomodasi
Sepadan.

Tidak sepadan.
(Baris 10)
Hegemoni
Pengatur publikasi, pendanaan, promosi, dan jabatan.

Mencari pengakuan dan masukan.
(Sumber: Denzin & Lincoln, 2009: 138-139).


BERBAGAI IMPLIKASI MASING-MASING POSISI PARADIGMA TERHADAP MASALAH-MASALAH PRAKTIS PILIHAN
(Penjelasan baris-baris pada table berikut iniJ
Masalah
Positivisme
Post-Positivisme
Teori Kritis dkk.
Konstruktivisme

(Baris 1)
Tujuan Penelitian
Penjelasan: Prediksi dan Kontrol.

Kritik dan Transformasi: pemulihan dan emansipasi.

Pemahaman: Rekonstruksi.
Apakah maksud atau tujuan penelitian?

Positivisme dan Post-Positivisme.
§  Untuk kedua paradigm ini tujuan penelitian adalah menjelaskan (Von Wright, 1971), yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, apakah benda-benda fisik atau manusia. Sebagaimana pandangan Hesse (1980), criteria kemajuan puncak dalam paradigm ini adalah bahwa kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.
§  Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme yang diisyaratkan oleh posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”, sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi justru tidak layak, bagi seorang peneliti.

Teori Kritis.
§  Tujuan penelitian adalah kritis dan transformasi struktur social, politik, budaya, ekonomi, etnis dan gender yang mengekang serta menindas umat manusia, melalui keterlibatan dalam upaya perlawanannya, bahkan konflik.
§  Kriteria kemajuannya adalah bahwa pemulihan dan emansipasi sebaiknya terjadi dan terus berlangsung sepanjang waktu. Advokasi dan aktivisme merupakan konsep utama.
§  Peneliti terposisikan dalam peran pendorong dan fasilitator, yang menyiratkan bahwa peneliti secara apriori memahami apa saja transformasi yang diperlukan.
§  Namun, kita perlu mencatat bahwa sejumlah pendirian yang lebih radikal di kalangan kritikus berpendapat bahwa penilaian tentang transformasi apa yang diperlukan harus dikhususkan bagi orang-orang yang hidupnya paling terpengaruh oleh transformasi, yakni para partisipan penelitian itu sendiri (Lincoln, dalam proses penerbitan).


Konstruktivisme.
§  Tujuan penelitian adalah untuk memahami dan merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya dipegang orang (termasuk peneliti), yang berusaha kea rah consensus namun masih terbuka bagi interpretasi baru seiring dengan perkembangan informasi dan kecanggihan.
§  Kriteria kemajuannya adalah bahwa seiring dengan perjalanan waktu, setiap orang akan merumuskan konstruksi yang lebih matang dan canggih dan semakin menyadari isi dan makna dari berbagai konstruksi yang bersaing.
§  Advokasi dan aktivisme juga merupakan konsep utama dalam pandangan ini.
§  Dalam proses ini peneliti terposisikan dalam peran partisipan dan fasilitator, sebuah posisi yang dikritik oleh sejumlah kritikus berdasarkan alasan bahwa posisi tersebut melebarkan peran peneliti hingga melampaui batas-batas rasional keahlian dan kompetensinya (Carr & Kemmis, 1986).
(Baris 2)
Sifat Ilmu Pengetahuan
Hipotesis yang sahih dikembangkan menjadi fakta atau hukum.
Hipotesis yang tak dapat difalsifikasi yang berpeluang menjadi fakta atau hukum

Wawasan structural/historis.
Berbagai rekonstruksi individual bersatu membentuk consensus.
Apakah yang menjadi sifat ilmu pengetahuan?


Postivisme.
Pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesa yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum.

Post-Positivisme.
Pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang tak dapat digugurkan dan dapat dipandang sebagai fakta atau hukum yang mungkin.

Teori Kritis.
§  Pengetahuan terdiri atas sekumpulan wawasan structural/historis yang hendak ditransformasikan seiring berjalannya waktu.
§  Transformasi terjadi ketika ketidaktahuan dan kesalahpahaman memunculkan pemahaman/wawasan yang lebih matang melalui interaksi dialektis.

Konstruktivisme.
§  Pengetahuan terdiri atas berbagai konstruksi yang memiliki consensus relatif (atau sekurang-kurangnya gerakan tertentu menuju consensus) di antara pihak-pihak yang berkompeten (dan, dalam kasus yang berkaitan dengan bahan-bahan penelitian yang bersifat rahasia, dipercaya) untuk menginterpretasikan isi konstruksi.
§  Bermacam-macam “pengetahuan” dapat hadir bersama ketika para penafsir yang sama-sama kompeten (yang dipercaya) tidak sependapat, dan/atau bergantung pada factor-faktor social, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender, yang membedakan para penafsirnya.
§  Berbagai konstruksi ini tunduk pada revisi yang berkelanjutan, dengan perubahan yang hampir bisa dipastikan terjadi ketika konstruksi yang secara relatif berbeda ditempatkan di dalam posisi sejajar dalam sebuah konteks dialektis.



(Baris 3)
Akumulasi Pengetahuan
Pertambahan—“bahan-bahan pembangunan” yang menyempurnakan “bangunan pengetahuan”: generalisasi dan hubungan sebab-akibat.

Revisiniosme historis: generalisasi melalui similaritas.
Rekonstruksi yang lebih matang dan canggih: pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri.

Bagaimana ilmu pengetahuan mengalami akumulasi?

Positivisme dan Post-Positivisme.
§  Ilmu pengetahuan berakumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang, ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan “bangunan pengetahuan” yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta terseut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan.
§  Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan, untuk populasi setting.

Teori Kritis.
§  Pengetahuan tidak berakumulasi dalam pengertian mutlak; melainkan tumbuh dan berubah melalui proses revisi historis yang berlangsung secara dialektis yang secara berkelanjutan mengikis ketidaktahuan dan kesalahpahaman serta meningkatkan pemahaman yang lebih matang.
§  Generalisasi dimungkinkan bila  campuran lingkungan dan nilai-nilai social, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender mirip/sama di seluruh setting.

Konstruktivisme.
§  Pengetahuan berakumulasi hanya dalam satu penegrtian relatif melalui pembentukkan berbagai konstruksi yang semakin matang dan canggih melalui proses hermeneutis/dialketis, seiring dengan berbagai macam konstruksi yang diletakkan dalam posisi sejajar.
§  Satu mekanisme penting untuk memindahkan ilmu pengetahuan dari satu setting ke setting yang lain adalah modal pengalaman sendiri, yang sering kali diperoleh melalui laporan-laporan studi kasus 9lihat Stake, Bab 14, buku ini).
 
(Baris 4)
Kriteria Baik-Buruknya atau Kualitas

“Keketatan” sebagai standar konvensional: Validitas Internal dan Eksternal, Reliabilitas dan Objektivitas.

Keterposisian historis: lenyapnya ketidaktahuan stimulus tindakan.

Layak dipercaya dan keontetikan serta kesalahpahaman.
Apakah criteria yang layak dipakai untuk menilai kebaikan atau kualitas sebuah penelitian?

Positivisme dan Post-Positivisme.
§  Kriteria yang layak adalah standar “keketatan” konvensional: validitas internal (Isomorfisme/kesesuaian hasil penelitian dengan realitas), validitas eksternal (sifat dapat digeneralisasi), realibilitas (dalam pengertian stabilitas), dan objektivitas (peneliti yang menjaga jarak dan bersikap netral).
§  Criteria ini bergantung pada posisi Ontologis Realitis; tanpa asumsi, isomorfisme hasil penelitian dengan realitas tidak memiliki makna apa-apa, sifat dapat digeneralisasi yang ketat untuk populasi orang tua adalah tidak mungkin, stabilitas tidak dapat ditetapkan untuk penelitian pada suatu fenomena jika fenomenanya sendiri dapat berubah, dan objektivitas tidak dapat dicapai karena tidak ada sesuatu pun yang dapat dijauhi atau diambil “jarak” darinya.

Teori Kritis.
Kriteria yang layak adalah keterposisian historis penelitian (artinya; criteria tersebut mempertimbangkan gejala awal social, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender dari situasi yang diteliti), batas yang memungkinkan tindakan penelitian dalam mengikis ketidaktahuan dan kesalahpahaman, dan batas yang dapat dijangkaunya untuk menciptakan stimulus yang mendorong dilakukannya tindakan, yakni; mengubah struktur yang ada.

Konstruktivisme.
§  Dua kumpulan criteria telah diajukan: criteria kelayakan kredibilitas (sejalan dengan validitas internal), sifat dapat dipindahkan (sama dengan validitas eksternal), dependabilitas (mirip dengan reliabilitas), dan komfirmabilitas (mirip objektivitas) (Guba; 1981; Lincoln & Cuba, 1985);

§  dan criteria keontentikan kewajaranm keotentikan Ontologis (memperbesar konstruksi personal), keotentikan edukatif (mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang berbagai konstruksi orang lain), keotentikan  katalitis (menimbulkan stimulus terhadap tindakan), dan keotentikan taktis (memberdayakan tindakan) (Guba & Lincoln, 1989).
§  Kriteria yang pertama menggambarkan usaha awal untuk memecahkan persoalan kualitas bagi konstruktivisme; meskipun criteria ini telah diterima dengan baik, namun kemiripannya dengan criteria positivis menjadikannya diragukan.
§  Criteria yang kedua mengalami tumpang tindih, hingga kadar tertentu, dengan kumpulan criteria teori kritis namun berhasil melampauinya, terutama keotentikan Ontologis dan keotentikan edukatif.
§  Meskipun demikian, isu tentang criteria kualitas dalam konstruktivisme belum terpecahkan dengan baik, sehingga kritis selanjutnya masih dibutuhkan.

(Baris 5)
Nilai
Tidak Tercakup—pengaruh ditolak.

Tercakup—berciri formatif.
Apakah peran nilai dalam penelitian?



Positivisme dan Post-Positivisme.
§  Dalam dua paradigma ini nilai secara spesifik dikesampingkan; sebenarnya, kedua paradigm diklaim sebagai yang “bebas nilai” berdasarkan sikap epistemologisnya.
§  Nilai dipandang sebagai variable yang mengacaukan yang tidak boleh memegang peran dalam suatu penelitian yang diduga objektif (bahkan ketika objektifvitas, dalam kasus Post-Positivisme, tiada lain kecuali merupakan cita-cita pemandu).

Teori Kritis dan Konstruktivisme.
§  Nilai dalam kedua paradigm ini menempati posisi penting; nilai dipandang sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari dalam membentuk (dalam kasus konstruktivisme, menciptakan) hasil-hasil penelitian.
§  Selain itu, sekalipun memungkinkan, tindakan mengesampingkan nilai tentulah tidak akan didukung.
§  Tindakan mengesampingkan nilai berlawanan dengan kepentingan audiens yang lemah dan “rentan,” yang konstruksi aslinya (Emik) layak memperoleh pertimbangan yang sama dengan audiens dan peneliti (Etik) yang lebih berkuasa.

§  Konstruktivisme, yang memandang peneliti sebagai pelaksana dan fasilitator proses penelitian, lebih berpeluang member penekanan pada poin ini dari pada teori kritis, yang cenderung menyeret peneliti ke dalam peran yang lebih otoritatif.

(Baris 6)

Etika
Ekstrinsik; cenderung menipu.

Instrinsik; kecondongan moral ke  arah ilham  (bimbingan gaib).
Instrinsik; proses yang condong kea rah penyingkapkan rahasia; persoalan-persoalan khusus.

Apakah fungsi dan peran etika dalam penelitian?










Positivisme dan Post-Positivisme.
§  Dalam dua paradigma ini etika merupakan pertimbangan penting dan diperhatikan secara serius oleh para peneliti, namun dalam proses penelitian itu sendiri etika masih berciri instrinsik.
§  Oleh karenanya, perilaku etis secara formal diawasi oleh mekanisme eksternal, misalnya; kode etik professional dan dewan pengawas hak-hak manusia.

§  Disamping itu, Ontologi realis yang mendasari kedua paradigm ini condong ke arah penggunaan muslihat, yang dalam kasus-kasus tertentu dipandang, dibenarkan untuk menetapkan bagaimana “keadaan segala sesuatu itu sesungguhnya dan bagaimana pula cara kerjanya yang sesungguhnya” atau demi “kepentingan social yang lebih tinggi” atau “kebenaran yang lebih terang” (Bok, 1978, 1982; Diener & Crandall, 1978).

Teori Kritis.
§  Etika hampir lebih berciri intrinsic bagi paradigm ini, sebagaimana yang tersirat melalui kesungguhan untuk menghilangkan keetidaktahuan dan kesalahpahaman serta mempertimbangkan sepenuhnya nilai dan keterposisian historis dalam proses penelitian.
§  Dengan demikian ada kecenderungan moral bahwa peneliti menjadi penyingkap misteri (menurut makna ketat “persetujuan yang setulusnya”) bukannya penipu.
§  Tentu saja berbagai pertimbangan ini tidak mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, namun memang memunculkan penghambat proses tertentu sehingga lebih mempersulit perilaku tak etis tersebut.

Konstruktivisme.
§     Etika juga merupakan hal yang intrinsic pada paradigma ini karena penyertaan nilai-nilai partisipam dalam penelitian (mulai dengan berbagai konstruksi responden yang sudah ada dan bergerak kea rah peningkatan kematangan dan kecanggihan konstruksinya sekaligus konstruksi peneliti).
§  Ada suatu dorongan –-kecenderungan proses—ke arah penyingkapan rahasia; tindakan menyembunyikan maksud peneliti sungguh berbahaya bagi tujuan penyingkapan dan pengembangan konstruksi.
§  Tambahan lagi, metodologi hermeneutis/dialektis itu sendiri memberikan pelindung yang kuat, namun tidak kebal untuk mencegah muslihat.
§  Tetapi interaksi pribadi yang akrab yang dituntut oleh metodologi bisa jadi memunculkan berbagai persoalan khusus dan sering kali rumit menyangkut kerahasiaan dan anominitas, di samping berbagai kesulitan antarpribadi lainnya (Guba & Lincoln, 1989).

(Baris 7)
Suara
“Ilmuwan yang tak memihak” sebagai penasehat pembuat kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku perubahan.

“Intelektual transformative” sebagai pembela dan aktivis.

“Partisipan  yang penuh empati dan gairah” sebagai fasilitator bagi rekonstruksi multi-pesan.

“Suara” apakah yang disorot dalam aktivitas peneliti, terutama aktivitas yang diarahkan menuju perubahan?


Positivisme dan Post-Positivisme.
Suara peneliti adalah suara “Ilmuwan yang tak memihak” yang member masukan bagi para pengambil keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan, yang secara bebas menggunakan informasi ilmiah ini, sekurang-kurangnya sebagian, untuk membentuk, menjelaskan, dan menjustifikasi berbagai tindakan, kebijakan dan proposal perubahan.

Teori Kritis.
Suara peneliti adalah suara “Intelektual Transformatif” (Giroux, 1988) yang telah memperluas kesadarannya sehingga berada dalam posisi yang siap untuk melawan ketidaktahuan dan kesalahpahaman. Perubahan menjadi mudah seiring dengan upaya pengembangan wawasan yang lebih besar tentang seluk-beluk persoalan yang ada dan dilakukan oleh individu-individu (alam dan batas ekploitasi terhadapnya) dan yang terdorong untuk menyelesaikannya.

Konstruktivisme.
Suara peneliti adalah suara “partisipan yang penuh empati/semangat” (Lincoln, 1991) yang secara aktif terlibat dalam upaya mempermudah rekonstruksi “multi-pesan” konstruksinya sendiri, demikian pula dengan rekonstruksi multi-pesan dan partisipan yang lain. Perubahan menjadi mudah seiring dengan terbentukknya rekonstruksi dan individu-individu didorong untuk memecahkannya.

(Baris 8)
Pelatihan
Teknis dan Kuantitaf; teori-teori substantive.

Teknik; Kuantitatif dan Kualitatif; Teori-Teori Substantif.
Sosialisasi ulang; kualitatif dan kuantitatif; sejarah; nilai-nilai altruism dan pemberdayaaan.
Apa saja implikasi masing-masing paradigm terhadap pelatihan para peneliti baru?






Positivisme.
Para peneliti baru dilatih terutama menyangkut pengetahuan teknis tentang pengukuran, desain, dan berbagai metode kuantitatif, dengan penekanan penting atas teori-teori formal tentang fenomena dalam kekhususan substantifnya.

Post-Positivisme.
Para peneliti baru dilatih dengan cara-cara yang mirip dengan gaya kaum positivis, namun dengan penambahan berbagai metode kualitatif, sering kali untuk tujuan memecahkan aneka persoalan yang dipaparkan dalam paragraph awal bab buku Denzin & Lincoln ini.

Teori Kritis dan Konstruktivisme.
§  Pertama-tama para peneliti baru harus diperkenalkan ulang dengan “pandangan ilmu pengetahuan yang diterima” yang telah mereka alami secara intens sebelumnya.
§  Pengenalan ulang tersebut tidak dapat dilakukan tanpa pembelajaran total tentang berbagai sikap dan teknik yang berlaku pada positivisme dan post-positivisme.
§  Calon peneliti harus menghargai berbagai perbedaan paradigm (lihat kembali table 6.1) dan, dalam konteks tersebut, menguasai metode kualitatif sekaligus kuantitatif.
§  Yang pertama (metode kualitatif) sangat penting karena perannya dalam melaksanakan metodologis dialogis/dialektis atau hermeneutis/dialektis; yang kedua (metode kuantitatif) karena dapat memainkan peran informasional yang sangat berguna dalam seluruh paradigm.
§  Mereka juga harus dibantu memahami sejarah dan struktur social, politik, budaya, ekonomi, etnis, dan gender yang berperan selaku lingkungan/konteks bagi penelitian mereka, dan untuk menyertakan nilai-nilai altruism dan pemberdayaan ke dalam penelitian mereka.

(Baris 9)
Akomodasi
Sepadan.

Tidak sepadan.
Apakah berbagai paradigm di atas selalu mengalami konflik? Apakah mungkin untuk menyatukan pandangan yang berbeda-beda ini ke dalam satu kerangka konseptual tunggal?


Positivisme dan Post-Positivisme.
Para penganut dua paradigm ini, dengan mempertimbangkan orientasi fundamental mereka, berpandangan bahwa semua paradigm dapat diakomodasi—artinya, bahwa terdapat, atau yang akan ditemukan ada, struktur rasional umum tertentu yang dapat dijadikan sebagai rujukan solusi bagi seluruh pertanyaan tentang perbedaan. Sikap tersebut merupakan sikap reduksionis dan mengasumsikan dimungkinkannya perbandingan butir demi butir (kesepadanan), sebuah persoalan yang terus-menerus memicu banyak perselisihan paham.

Teori Kritis dan Konstruktivisme.
§ Para penganut dua paradigm ini sama-sama menegaskan ketidaksepadanan dasar antar-paradigma (meskipun mereka setuju bahwa positivisme dan post-positivisme bisa disepadankan, dan kemungkinan juga setuju bahwa teori kritis dan konstruktivisme bisa disepadankan).
§ Kepercayaan dasar dari paradigm-paradigma tersebut diyakini secara eesensial saling bertentangan.
§ Bagi kaum konstruktivis, bahwa ada realitas yang “nyata” atau bisa juga tidak (meskipun seorang peneliti ingin menyelesaikan masalah ini secara berbeda dalam mempertimbangkan dunia fisik versus dunia manusia), dan karenanya konstruktivisme dan positivisme/post-post-positivisme secara logika tidak dapat diakomodasi lebih dari, katakanlah, dapat diakomodasikannya gagasan tentang rumah (flat) versus bumi yang bulat secara logika. Bagi apar ahli teori kritis dan kaum konstruktivis, penelitian bisa jadi bebas nilai dan juga tidak; sekali lagi, akomodasi logis tampaknya hal yang tak mungkin.
§ Realisme dan relativisme, kebebasan nilai dan keterikatan nilai, tidak dapat hadir bersama dalam suatu system metafisis yang konsisten secara internal, yang syarat onsistensinya, katanya, pada dasarnya dipenuhi oleh masing-masing calon paradigm. Pemecahan dilemma ini secara otomatis menunggu munculnya metaparadigma yang memandang paradigm lama, paradigm yang terakomodasi bukannya kurang benar, semata-mata tidak relevan.

(Baris 10)
Hegemoni
Pengatur publikasi, pendanaan, promosi, dan jabatan.

Mencari pengakuan dan masukan.
Paradigm manakah yang memegang hegemoni atas paradigm yang lain? Yaitu, manakah yang lebih besar pengaruhnya?


Positivisme dan Post-Positivisme.
§ Para penganut positivisme memegang hegemni selama beberapa abad yang lalu seiring dengan dikesampingkannya paradigm Aristotelian awal dan paradigm teologis. Namun jubah hegemoni tersebut pada dasawarsa belakangan ini secara gradyal telah berpindah ke pundak kaum Post-Positivis, pewaris “alami” Positivisme.
§  Kaum Post-Positivisme (dan sesungguhnya sisa-sisa kaum Postivis) cenderung mengendalikan saluran publikasi, sumber-sumber pendanaan, mekanisme promosi dan jabatan, dawn pakar untuk disertasi, dan sumber-sumber lain kekuasaan dan pengaruh.
§ Mereka, sekurang-kurangnya hingga 1980-an, merupakan kelompok “dalam,” dan terus mewakili suara yang paling kuat dalam mengambil keputusan professional.


Teori Kritis dan Konstruktivisme.
§  Para penganut teori kritis dan konstruktivisme masih mencari pengakuan dan sumber masukan dana.
§   Sepanjang dasawarsa lalu, semakkin m emungkinkan bagi mereka untuk memperoleh dukungan, seperti yang dibuktikan dengan bertambahnya jumlah makalah penting yang masuk ke dalam berbagai jurnal dan pertemuan professional, perkembangan berbagai outlet jurnal baru, pertumbuhan akseptabilitas berbagai disertasi “kualitatif”, penyertaan berbagai pedoman “kualitatif” oleh sejumlah lembaga dan program pendanaan, dan semacamnya.
§  Namun, dengan semua peluangnya, teori kritis dan konstruktivisme masih terus memainkan peran sekunder, meskipun penting dan secara progresif lebih berpengaruh, pada masa datang yang segera tiba.
(Sumber: Denzin & Lincoln, 2009: 138-139).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI