ARTIKEL FILSAFAT ILMU
“TITIK SINGGUNG FILSAFAT, ILMU DAN
AGAMA”
Oleh. I Dewa Ayu Hendrawathy Putri,
S.Sos., M.Si.
A.
Pendahuluan
Perkataan
filsafat berasal dari bahasa Arab “falsafah”, yang berasal dari bahasa
Yunani, “philosophia”, yang berarti “philos” (cinta), suka
(loving), dan “sophia” (pengetahuan), hikmah (wisdom). Jadi “philosophia”
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya,
setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada
pengetahuan disebut “philosopher”, dalam bahasa Arabnya “failasuf". Pecinta
pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya,
atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
Dilihat
dari pengertian praktisnya, filsafat berarti “alam pikiran” atau “alam
berpikir”. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir
bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa "setiap manusia adalah
filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan
tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang
berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan
hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: Filsafat
adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Ditinjau dari segi historis, hubungan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi
hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain.
Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi
terpecah-pecah. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan
munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik
dengan filsafat.
Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan
bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem
filsafat yang dianut. Dalam perkembangan lebih lanjut filsafat itu sendiri
telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon
ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang
melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing
mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu
pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada
akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu
pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh
karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu
pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat
asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat
ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam
pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626)
mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat
mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik
individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang
timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat
hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas
antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang
satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat
menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang
filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat
Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat.
Oleh sebab itu Francis bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu
(the great mother of the sciences).
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a
higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai
penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan
filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga
bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini
didukung oleh Israel Scheffler, yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam paper ini khusus akan mengulas
seputar “titik singgung filsafat, ilmu dan agama”.
B.
Pembahasan
Interaksi antara ilmu dan filsafat
mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman, bahwa ilmu kealaman
persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan
persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak
mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan
landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Walau sama-sama berurusan dengan
Kebenaran (kalau tidak disebut sebagai tujuan), menghubungkan filsafat dengan
ilmu pengetahuan dan agama adalah perdebatan menyenangkan. Menjadikan
kita ditarik dalam sebuah petualangan keilmuan yang memaksa kita untuk minum
air laut, selalu haus, dan selalu ingin minum lagi. Dari cara mencari kebenaran
ketiganya berangkat dari halyang berbeda. Kalau filsafat mencari kebenarannya dengan
mengembarakan akal budi secara bebas mencari sebab sebab terdalam dan
kemampuan pikir manusia adalah batasnya, sedangkan Keilmuan mencari
kebenarannya dengan cara penyelidikan, pengalaman, percobaan. Sedang Agama dalam proses pencarian
kebenarannya tidak akan lepas dari penyandaran diri pada keyakinan.
Ada
yang mengatakan bahwa antara filsafat, ilmu dan agama memiliki hubungan. Namun
demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana
filsafat lebih bersifat ide,
ilmu lebih bersifat empiris, dan agama lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction of Religious Thought in Islam sebagaimana
dikutip Asif Iqbal Khan (2002), “Agama bukan hanya usaha untuk mencapai
kesempurnaan, bukan pula moralitas yang tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama
dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama
bergerak dari individu ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas
penting yang berlawanan dengan keterbatasan manusia. Agama memperbesar klaimnya
dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal,
2002: 15)
Menurut
Asif (2002: 16), sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer,
tetapi mempunyai tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada abad
pertengahan yaitu menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan
modern dan filsafat utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan buku
rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi filsafat religious Islam
sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai
bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya
sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang
tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk
lebih adilnya dalam menilai hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan
Endang Saifuddin Anshari (Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di
samping adanya titik persamaan, juga adanya titik perbedaan dan titik singgung.
Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan
dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu
pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam
dan manusia. Filsafat dengan
wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan
Tuhan. Demikian pula Agama,
dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi
yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin
Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,
1979: 169)
Masih
menurutnya, baik filsafat maupun ilmu, keduanya hasil dari sumber yang sama,
yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand,
vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi
secara radikal dan integral serta
universal tidak merasa
terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman
(empirik) dan percobaan. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif
(berlaku sampai dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran
spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran
filsafat maupun kebenaran ilmu bersifat nisbi (relatif), sedangkan
kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu
yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik
filsafat maupun ilmu, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama
dimulai dengan sikap percaya
dan iman. Adapun titik
singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh
masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada
perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka
keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama
banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang
tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Jadi,
dapat kesimpulannya ketiga-tiganya memiliki hubungan dan tidak perlu
dibenturkan satu sama lain selama diyakini bahwa filsafat, selama difahami
sebagai proses berfikir bukan
sebagai penentu, demikian pula halnya dengan ilmu, manusia memiliki keterbatasan. Adapun agama dapat diyakini,
selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung jawabkan. Jalan untuk mencari, menghampiri dan
menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan jalan, yaitu: ilmu, filsafat dan
agama. Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik
singgung yang satu terhadap yang lainnnya.
Untuk
mengetahui titik temu, pisah dan singgung antara wahyu dan akal (agama dan
filsafat), perlu kiranya pemakalah menerangkan sedikit tentang filsafat dan
agama (akal dan wahyu) itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui, filsafat secara
defenitif adalah philo dan shopia (cinta dan kebijaksanaan). Begitu juga
secara etimologis adalah filsafat adalah proses berfikir manusia untuk
mendapatkan kebijaksanaan, yang bersifat Radikal, Rasional, Komprehensif,
Universal. Sedangkan agama berbeda dengan filsafat, agama adalah kepatuhan,
ketundukan dan keyakinan. Agama di tinjau dari etimologisnya adalah proses
kepatuhan, ketundukan dan keyakinan seorang penganut (agama) yang bersumber
dari wahyu tuhan (teks suci), disampaikan oleh rasul, nabi pada ummatnya untuk
ketentraman, ketenangan manusia dalam menjalani kahidupan dunia dan kehidupan
yang abadi (surga tuhan). Karena makalah ini lebih di fokuskan pada persolan
filsafat dan agama, maka, pemakalah mencantumkan beberapa fungsi filsafat,
agama dan akal.
Filsafat
Endang Saifuddin Anshari, MA
(1979:157), mendefiniisikan filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan
akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan
integral hakikat sarwa yang ada: (a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta;
(c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekwensi daripada
faham (pemahamnnya) tersebut. Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena
dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam
kehidupannya (Rapar, 1996:16). Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu
dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh
artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang
ilmu sendiri, tetapi melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang
lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikirfilsafat
tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak
secara fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat
mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi.
Dari serangkaian spekulasi ini kita
dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari
perjelajahan pengetahuan (Jujun, 1990:21-22).
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Istilah dari filsafat berasal bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Istilah dari filsafat berasal bahasa Yunani : ”philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab.
Dalam bahasa ini, kata filsafat
merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta
dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya
adalah seorang "pencinta kebijaksanaan" atau "ilmu". Kata
filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Definisi kata filsafat bisa dikatakan
merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan
bahwa "falsafah" itu kira-kira merupakan studi tentang arti dan
berlakunya kepercayaan atau pengetahuan manusia pada sisi yang paling dasar dan
universal. Studi ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektik.
Filsafat juga merupakan ilmu yang
kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh
diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu adalah
fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia.
Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat
menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban
paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia (munkin juga
pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending).
Sementara ada yang berpendapat bahwa
filsafat pada dasarnya bukanlah ilmu, tetapi suatu usaha manusia untuk
memuaskan dirinya selagi suatu fenomena tidak / belum dapat dijelaskan secara
keilmuan. Sebagai contoh dulu orang percaya bahwa orang yang sakit lantaran
diganggu dedemit, meletusnya gunung api adalah akibat dewa penguasa gunung
tersebut murka, gempabumi terjadi karena Atlas dewa yang menyangga bumi “gagaro
lantaran ateul bujur”, dan masih banyak lagi.
Filsafat juga sering dihubungkan dengan
istilah Al Hikmah (kebijaksanaan), dalam buku “Uyun al-Hikmah” Al Hikmah
merupakan penyempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi dan pembenaran
(tashdiq) realita teoritis dan praktis sesuai dengan tingkat kemampuan manusia,
menurut Mulla sadra kata al hikmah tidak hanya memberikan penekanan pada
pengetahuan teoritis dan menjadi alam pemikiran yang merefleksikan alam nyata,
tapi juga pelepasan diri dari nafsu dan penyucian jiwa dari segala kotoran
duniawi (tajarrud). Ciri-ciri berfikir filosfi: (1) berfikir dengan
menggunakan disiplin berpikir yang tinggi; (2) berfikir secara sistematis; (3)
menyusun suatu skema konsepsi, dan (4) menyeluruh.
Ilmu
Ilmu adalah sebagian pengetahuan
bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda
dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan
penghayatan serta pengalaman pribadi. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak
pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya
ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek yang sama dan saling
berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu.
Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam
kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip
logis yang dapat dilihat dengan jelas.
Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek
menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban,
didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi
ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ilmu tidak memerlukan kepastian
lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat
memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang
belum sepenuhnya dimantapan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah
pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang
dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan
masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan
lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu,
maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur,
ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu
batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Sebagai ilustrasi dikisahkan,
bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana,
“Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”,
jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau
tidak tahu”. Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai
dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak
dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka
di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan
kebenaran. Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil
usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan,
struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang
diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya
pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara
empiris, riset dan experimental.
Agama
Agama–pada umumnya–merupakan (1) satu
sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang
mutlak di luar manusia; (20 satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada
yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan
tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari, 1979:158).
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan. Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan (Titus, 1987:414).
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan. Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan (Titus, 1987:414).
Agama adalah: pengetahuan metodis,
sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara
sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang
mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam
semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui
pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri,
misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu.
Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan
mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat
juga.
Iman adalah sikap batin. Iman
seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya
dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata
"sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang,
maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa
(1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan
ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan
pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi
iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu
terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
Titik
Persamaan dan Perbedaan
Baik ilmu, filsafat ataupun agama
bertujuan–sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang–sama yaitu kebenaran.
Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur
pada ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia.
Sedangkan agama bersumberkan wahyu. Disamping itu ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri) dan
percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran
dengan exploirasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat
oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan
mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci. Kebenaran
ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini),
kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat
dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun
kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama
bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah.
Baik ilmu maupun filsafat dimulai
dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap
percaya atau iman (Annshari, 1996:158-160). Sementara itu filsafat
adalah sebuah ilmu yang di gunakan untuk memperoleh kebenaran rasional, peranan
filsafat sebagaimana di katakana Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu
pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual
clarity). Di dalam filsafat di kenal apa yang di sebut kebebaran korespondensi.
Dalam pandangan korespondensi, kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
fakta dan data itu sendiri. Dengan bahasa yang sederhana, kebenaran adalah
persesuaian antara apa yang ada di dalam rasio dengan kenyataan sebenarnya di
alam nyata. Di dalam pandangan koheransi, kebenaran adalah kesesuaian antara
suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah di akui kenenarannya,
secara umum dan permanen. Di dalam filsafat di kenal juga kebnaran pragmatik.
Dalam pandangan pragnatisme kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat ( utility) dan mungkin dapat di kerjakan
(workability) dengan dampak yang memuaskan.
Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu
Filsafat dan ilmu mempunyai relasi atau
yang juga biasa disebut dengan hubungan, di mana hubungan tersebut sangatlah
signifikan. Namun sebelum kami membahas lebih jauh tentang hubungan antara
filsafat dengan ilmu terlebih dahulu kami akan mengulang sekilas tentang
pengertian filsafat dan ilmu secara singkat. Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab yang
terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri. Jadi dalam filsafat
tersebut terdapat metode dan sistem sendiri dalam usahanya untuk mencari
hakikat dari segala seuatu, dan yang dicari ialah sebab-sebab yang terdalam. Ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu hal tertentu (objek
atau lapangannya), yang merupakan kesatuan yang sistematis, dan memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal
itu.
Ditinjau dari segi historis, hubungan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
mencolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia”
meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis, Karena filsafat mencakup seluruh
bidang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa
dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke-17, maka mulailah terjadi
perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah
dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 tersebut ilmu pengetahuan identik dengan
filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang
mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga
definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dan
juga, Bahasa yang dipakai dalam filsafat dan ilmu dalam beberapa hal saling
tumpang tindih. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha berbicara mengenai
ilmu, dan bukan berbicara di dalamnya ilmu.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut
Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana ‘pohon
ilmu pengetahuan’ telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Meskipun demikian,
filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik
filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis,
sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. Filsafat
juga memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan
berkembang, serta membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam
mempertanggungjawabkan ilmunya.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya
memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan
yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu
tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Filsafat
di sini sangatlah berperan penting sebagai jembatan serta wadah antara
perbedaan ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Hal ini senada dengan pendapat
Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat
merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang
Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother
of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk.
(1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan
pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:
ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat
mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik
jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari
filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono
dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena
terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari
yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat
memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri
(1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara
ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang
berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri
ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang
memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang
membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Perbedaan Antara Filsafat dengan Ilmu
Sebagaimana yang telah kami paparkan di
atas bahwa filsafat dan ilmu mempunyai hubungan yang sangat erat, namun keduanya
juga memiliki perbedaan. Prof. Sikun Pribadi mengemukakan perbedaan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan, yakni; jelaslah, bahwa perbedaan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan, ialah bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari dunia fakta
(jadi bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak dari dunia nilai, artinya
selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup (jadi bersifat
deontis), walaupun kedua bidang aktivitas manusia itu sifatnya kognetif.
Jadi ilmu berhubungan dengan
mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, yang diperoleh dengan eksperimen,
observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari aspek kehidupan atau
kejadian yang ad di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan
perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut :
1)
Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, sedangkan
filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh
suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
2)
Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif,
sedangkan filsafat sintetis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan
kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
3)
Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dan
organis menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk
sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4)
Ilmu menghilangkan factor-faktor pribadi yang subyektif,
namun filsafat tertarik kepada personalitas nilai-nilai dan semua pengalaman.
5)
Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya,
sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata,
melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda,
nilai, dan maknanya.
6)
Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas
filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
7)
Ilmu lebih menekankan kepada deskripsi hokum-hukum fenomenal
dan hubungan kausal.
Filsafat tertarik dengan hal-hal yang
berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”. Ilmu pengetahuan mencari
kebenaran dengan jalan penyeledikan, pengalaman (empiris) dan percobaan
(eksperimen) sebagai batu ujian. Ilmu bersifat pasteriori. Artinya ilmu menarik
sebuah kesimpulannya setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang.
Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan
pendalaman untuk mendapatkan esensinya.
Sedangkan Filsafat mendekati kebenaran
dengan metode yang cukup sistemik yakni menggunakan akal budi secara radikal,
dan integral serta universal, tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali ikatan
tangannya sendiri yang disebut ’logika’. Filsafat bersifat apriori, yaitu
kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak
mengharuskan adanya data empiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat
bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran
filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat
dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau
memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat
disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof.
Selain itu, Filsafat menyelidiki, membahas,
serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan menyelidiki bagaimana hubungan
kenyataan satu sama lain. Jadi filsafat memandang satu kesatuan yang belum
dipecah-pecah serta pembahasannya secara keseluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu lain
atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya
ilmu hayat membicarakan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, dan manusia; ilmu bumi
membicarakan tentang kota, sungai, hasil bumi, dan sebagainya. Filsafat tidak
hanya menyelidiki tentang sebab akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya
sekaligus. Sedangkan ilmu vak membahas tentang sebab dan akibat suatu
peristiwa. Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana
asalnya, dan hedak kemana perginya. Sedangkan ilmu vak harus menjawab
pertanyaan bagaimana dan apa sebabnya.
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu,
filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap
pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu
lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama
lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction
of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002),
“Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang
tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya
lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat.
Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan
manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung
realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal,
2002: 15)
Menurut Asif (2002: 16), sekalipun
diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang
sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama
di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana
tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi
filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan
lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan
optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk
suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya dalam menilai
hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu,
Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan,
juga adanya titik perbedaan dan titik singgung. Baik ilmu maupun filsafat atau
agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu
kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari
kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri
pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula
agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan.
(Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169)
Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat,
keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi,
rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan
wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan
(riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi
secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat
dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai
dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif
(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental).
Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif),
sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah
wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya
dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama
dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung,
adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya,
namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan
ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya.
Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan,
namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara
akal budi, mungkin dapat menjawabnya.
Jadi, kesimpulannya, ketiga-tiganya
memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini
bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan
filsafat, selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu.
Adapun agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang
dapat dipertangung jawabkan. Jadi, Titik singgung filsafat dan agama adalah
filsafat berusaha mendapatkan pengertian yang satu dan lengkap tentang
dunia, sedangkan Agama berusaha lebih dari itu, karena Agama berusaha
memastikan kesatuan yang seimbang antara manusia dan dunia, terutama
antara individu dan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Agama. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Baktiar, Amsal. Filsafat ilmu. Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada. 2004.
Basuki,
H. Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Kemanusiaan Dan Budaya. 2006.
Burhanuddin
Salam, Pengantar Filsafat. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
Gazalba,
Sidi, Sistematika Filsafat. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.
Kattsoff,
Louis, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, tt.
Purwantana,
Seluk Beluk Filsafat Islam. Salatiga: Remaja Rosdakarya, 1994.
Purwantana,
Seluk Beluk Filsafat Islam. Salatiga: Remaja Rosdakarya, 1994.
Salam, Burhanuddin, Filsafat
Manusia (Antropologi Metafisika), (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988
Ahmad
Sudraja, http://wordpress.com/hubungan-antara-filsafat-dengan-ilmu.
Komentar
Posting Komentar