BAB III. PEMAHAMAN TENTANG BERITA

3.1. DEFINISI BERITA

Berita lebih mudah diketahui dari pada didefinisikan. Tanyakanlah kepada seorang wartawan apa itu berita?, Maka ia akan menemukan kesulitan untuk menjelaskannya. Tetapi mintalah ia merisalahkan berita-berita peristiwa terpenting yang terjadi dalam sehari kemarin, maka ia tanpa ragu-ragu akan membuka halaman depan suratkabar hari ini dan menunjuk judul ”Headline-nya” kemudian menunjuk judul-judul berita lainnya dalam urutan mulai dari yang kurang penting dibandingkan dengan berita headline sampai ke berita-berita yang lebih kurang penting lagi.

Sang wartawan senior mungkin akan memilih berita-berita lain untuk suatu suratkabar, dan menekankan berita-berita yang sama sekali berbeda untuk suratkabar lainnya. Ia mungkin saja mengalami kesulitan dalam mendefinisikan apa yang disebut berita itu, tetapi ia akan tahu ketika ia melihatnya. Seorang Jurnalis, apakah ia koresponden, reporter atau redaktur, telah terlatih dalam ”mencium” berita melalui indera keenamnya aatu intuisi mereka. Meskipun demikian, definisi tentang berita perlu diberikan di sini. Definisi ini diperlukan untuk mengetahui secara jelas apa yang disebut berita bagi keperluan pekerjaan mencari, menghimpun dan membuat berita. Namun, lebih dulu harus diketahui bahwa arti sebuah berita tidak sama bagi negara-negara yang menganut sistem pers bebas/liberal dan bagi negara-negara yang menganut sistem pers penguasa atau sistem pers yang bertanggung jawab.

Sebelum bubarnya negara Uni Republik Sosialis Soviet, kita dengan mudah membedakan sistem pers dalam dua kelompok besar. Pers Barat yang menganut teori pers bebas/liberal dan Pers timur yang menganut teori Pers Komunis. Pers Barat diwakili oleh amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa Barat. Sedangkan Pers Timur diwakili oleh Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa timur.

Tetapi, sejak bubarnya negara Uni Soviet, dan sistem politik negara-negara Eropa Timur yang menganut paham komunis itu pun ikut berubah, maka dikotomi antara Pers Barat dan Pers Timur itu kiranya tidak relevan lagi. Namun demikian, demi untuk mengenali apa perbedaan antara kedua sistem pers tersebut, kiranya perlu disini agak sedikit kita simak mengenai hal itu.

3.2. Berita Menurut Pers Timur dan Pers Barat

Pers Timur berbeda sekali sistemnya, bahkan bertentangan dengan Pers Barat. Dalam Pers timur, berita tidak dipandang sebagai “komoditi”; berita bukan “barang dagangan”. Berita adalah suatu “proses” yang ditentukan arahnya. Berita tidak didasarkan pada maksud untuk memuaskan nafsu “ingin tahu” segala sesuatu yang “luar biasa” dan “menakjubkan”, melainkan pada keharusan ikut berusaha “mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan negara sosialis”.

Mengenai berita ini, Direktur kantor berita Uni Soviet “TASS, N.G. Palgunov”,pada tahun 1956 menyatakan: “.............News should not be merely concerned with reporting such and such a fact or event, it must pursue a definite purpose......It should not simply report all facts and just any events….News must be didactic and instructive” (Artinya; berita harus tidak boleh hanya memperhatikan pelaporan fakta atau peristiwa ini dan itu saja, ia harus mengejar suatu tujuan yang pasti.......Ia tidak boleh hanya melaporkan semua fakta dan peristiwa saja...... Berita harus bersifat didaktik dan mendidik).

“Lenin” lebih keras lagi bahwa Pers di negeri Sosialis adalah “ a collective organizer”, “ a collective agitator”, “ a collective propagandist”.

Berbeda dengan Pers Timur, Pers Barat memandang berita itu sebagai “komoditi”, sebagai “barang dagangan” yang dapat diperjual-belikan. Oleh karena itu, sebagai barang sagangan ia harus “menarik”. Tidak heran kalau Pers Barat mendefinisikan berita seperti yang diberikan oleh “Raja Pers” dari Inggris “Lord Northcliffe”, yang mengatakan bahwa “News is anything out of ordinary” (Berita adalah segala sesuatu yang tidak biasa), dan seorang wartawan bernama “Walkley” menambahkan “combined with the element of surprise” (digabungkan dengan unsur kejutan).

Dengan demikian menurut ‘Northcliffe”, “If a dog bites a man, that’s not news ; if a man bites a dog, that’s news”. (Kalau anjing menggigit orang, itu bukan berita; kalau orang menggigit anjing, itu baru berita).

Sehubungan dengan definisi tersebut, seorang wartawan Amerika “George C. Bastian“, bahkan telah membuat definisi yang menarik yang disebutnya sebagai “News Arithmatic“, sebagai berikut :

§ 1 ordinary man + 1 ordinary life = 0 (artinya bukan berita)

§ 1 ordinary man + 1 extra-ordinary adventure = NEWS

§ 1 ordinary husband + 1 ordinary wife = 0

§ 1 husband + 3 wife = NEWS (di mana poligami dilarang)

§ 1 bank cashier + 1 wife + 7 children = 0

§ 1 bank cashier + $10.000 = NEWS

§ 1 chorus girl + 1 bank president-$10.000 = NEWS

§ 1 man + 1 auto + 1 gun + 1 quart = NEWS

§ 1 man + 1 achievement = NEWS

§ 1 ordinary man + 1 ordinary life of 79 years = 0

§ 1 ordinary man + 1 ordiary life of 100 years = NEWS.

3.3. Sistem Pers Kita Sekarang

Pertanyaan kita sekarang adalah, definisi mana yang akan kita pakai tentang berita sebagai pegangan? Definisi menurut Pers Barat atau menurut Pers timur ?

Sejak 17 Agustus 1945, yakni sejak proklamasi kemerdekaan sampai 5 Juli 1959, yakni ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk ”Kembali ke UUD’45”, Pers kita selama itu pada dasarnya diselenggarakan dengan sistem yang mirip-mirip dengan sistem Pers Barat, sekalipun pada awalnya sebagai ”Pers Perjuangan” mendapat banyak bantuan dari pihak pemerintah. Sejak 5 Juli 1959, selama 6 tahun sampai Oktober 1965, Indonesia yang masih berada di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno kemudian dijalankan berdasarkan gagasan Demokrasi Terpimpin. Sejak itu struktur politik dan kemasyarakatan Indonesia pun berubah secara mendasar. Dan struktur politik yang baru ini membawa pula perubahan yang sama mendasarnya dengan sistem Pers kita. Surat Izin Tjetak (SIT) yang ada pada masa SOB (Staat van Oorlog en Beleg = Keadaan Bahaya dan Darurat Perang) pada tahun-tahun sebelumnya (1957-1958) diberlakukan, pada masa setelah kembali ke UUD 1945 tetap berlanjut.

Pada saat itu lembaga SIT merupakan yang pertama kalinya dipakai di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan, dalam buku ”Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia”, yang di edit oleh ”Abdurrachman Surjomihardjo” dari LIPI tetapi karena sesuatu hal buku itu tidak jadi diedarkan untuk umum, dituturkan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda saja yang pada tahun 1920 meminta nasehat kepada Dewan Hindia (Raad van Indie) untuk memberlakukan sistem lisensi (izin terbit) bagi Pers Hindia Belanda di tolak.

Dewan pada prinsipnya menolak karena, ”Kebebasan Pers” adalah sebagai akibat kebebasan hati nurani yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, sehingga tak dapat dihalangi. Yang baik menderita oleh yang jahat. Dewan lebih memilih tindakan penangguhan (pembreidelan) penerbitan (Saran Dewan Hindia tanggal 19 Maret 1920 No. XXXVII).

Selama rezim Soekarno itu pers Indonesia berpretensi seakan-akan Indonesia menganut sistem pers bertanggung jawab sosial, namun pada kenyataannya yang dijalankan adalah sistem pers terselubung. Berita tidak lagi semata-mata harus menarik tetapi harus memiliki tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi nasional. Di samping diberlakunya lembaga SIT (Surat Izin Tjetak), pembredelan dan pemberangusan terus berjalan terhadap penerbitan-penerbitan Pers yang tidak sejalan dengan politik pmerintah. Selama pemerintahan Orde Lama dibawah demokrasi terpimpinnya Soekarno itu, kebebasan Pers benar-benar dipasung. Kebebasan Pers hanya merupakan angan-angan, suratkabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat. Politik seakan-akan wilayah yang hanya boleh dijamah dengan kepala tertunduk. Jika suatu berita politik dianggap tidak menguntungkan pemerintah bisa saja berita tersebut dikategorikan sebagai anti revolusi, mengancam keselamatan negara, atau subversif. Simaklah apa yang dikemukakan Maladi pada tanggal 17 Agustus 1959 yang enak didengar telinga tetapi sebenarnya merupakan peringatan terselubung dari pemerintah kepada insan Pers yang tidak patuh pada cita-cita revolusi nasional. Waktu itu Maladi menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan RI.

”Di dalam alam kembali ke UUD’45, Pers mempunyai tanggung jawab yang sama dengan pemerintah di dalam menghimpun potensi rakyat.....Hak kebebasan individu diselaraskan dengan hak kolektif seluruh bangsa di dalam melakukan kedaulatan rakyat. Kebebasan berpikir, menyatakan pendapat dan berusaha yang dijamin oleh UUD’45, harus mengenal batas-batas : keselamatan Negara, kepentingan bangsa, ketatasusilaan dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G-30-S) 1965, sistem dan kehidupan politik di Indonesia lagi-lagi mengalami perubahan. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya mengubah sistem pers kita dari sistem Pers Otoriter yang terselubung ke sistem Pers otoriter yang terang-terangan. Jenderal Soeharto yang berhasil mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian dikukuhkan menjadi Presiden RI ke-2 pada tahun 1967, mencanangkan untuk melaksanakan UUD’45 secara murni dan konsekuen. Tetapi, pasal 28 konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat itu tetap saja tidak dijalankan secara konsekuen. Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-1997) dibawah rezim Orde Baru Soeharto itu tetap terpasung. Bahkan dipasung menjadi ”Pak Turut”. Rambu-rambu untuk membatasi kebebasan Pers seperti SIUPP (Surat izin Usaha Penerbitan Pers) untuk penerbitan Pers dan sensor terhadap pemberitaan pers masih ditambah dengan praktek instansi militer yang sewaktu-waktu ”meminta” ditangguhkannya pemuatan suatu berita hanya melalui telepon. Jika suatu media tidak mematuhi ”permintaan” ini, maka pemerintah dapat mencabut SIUPP media bersangkutan. Di bawah rezim Orde Baru, pemerintah Indonesia benar-benar menganut sistem pers Otoriter yang keras sekeras pemerintah rezim sebelumnya.

Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi sejak dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia pun kembali ke keadaannya ketika kita berada di era 1945-1959. Itu adalah masa yang sedikit banyak merupakan masa kebebasan berpikir tidak dirintangi oleh rambu-rambu sensor, izin-izin, atau larangan-larangan, meskipun pada tahun 1957 mulai muncul lembaga SIT di Jakarta. Hal ini disebabkan oleh kebijakan ”bunuh diri” Pimpinan PWI cabang Jakarta waktu itu yangmengusulkan kepada pimpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) agar diberlakukan izin terbit bagi penerbitan Pers. Pada waktu itu memang PWI merasa ”terganggu” dengan bermunculannya secara bebas penerbitan-penerbitan Pers yang mencari untung dengan menyiarkan berita-berita dan tulisan-tulisan seks, pembunuhan, gosip, dan sebagainya yang kelewat batas.

Suasana reformasi sedikit banyak telah mempengaruhi paradigma para petinggi negara kita tentang arti kebebasan mengeluarkan pendapat. B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998 itu menggantikan Soeharto sebagai Presiden boleh dikatakan merupakan Presiden RI pertama yang giat membuka kran-kran demokrasi. Pada masa pemerintahannyalah undang-undang yang membatasi kemerdekaan Pers di cabut, termasuk pencabutan peraturan tentang SIUPP, sebagai gantinya diberlakukan UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang menjamin adanya kebebasan Pers, bahkan dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa Pers nasional berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (people’s right to know) karena hak memperoleh informasi itu, demikian bunyi butir (b) konsiderannya, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki (lihat, Undang-Undang RI No. 40/1999 tentang Pers).

Sejak itu, pers Indonesia kembali ke sistem pers ketika negara kita menganut sistem demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, yaitu; Sistem Pers Liberal Barat. Bahkan sistem pers kita di era reformasi ini sedemikian bebasnya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa pers kita sudah tidak lagi terikat oleh Etika dan rasa tanggung jawab atas kepentingan masyarakatnya. Padahal, di negara asalnya sendiri, Amerika serikat, Pers Liberal sudah ditinggalkan sejak tahun 1956 dan kini negara itu bahkan menganut sistem Pers yang bertanggung jawab sosial.

Sampai kapan keadaan bebas tak terbatas ini berlangsung dalam kehidupan pers kita?, kita tidak tahu. Akankah kemudian pers kita terjerumus lagi ke keadaannya seperti ketika rombongan PWI Cabang Jakarta beramai-ramai mendatangi penguasa militer setempat untuk membatasi kebebasannya sendiri dengan mengusulkan diberlakukannya izin terbit? Kita juga tidak tahu. Yang kita tahu adalah bahwa proses sejarah seperti yang terjadi di Barat, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus kita lalui, tetapi jangan dilalui dengan cara yang tidak demokratis seperti yang dilakukan Pimpinan PWI Cabang Jakarta pada tahun 1957 lalu itu.

3.4. Berita Menurut Sistem Pers Era Reformasi

Benarkah Pers di ra reformasi ini tidak mengenal etika dan kurang bertanggung jawab sosialnya adalam menggunakan kebebasannya? Dan benarkah sistem pers kita sekarang mengarah ke sistem pers liberal Barat? Tentang sistem pers kita sekarang yang berubah arah ke sistem pers liberal barat, memang ya. Tetapi, tentang soal pers kita sekarang yang tidak mengenal Etika dan kurang tanggung jawab sosialnya dalam menggunakan kebebasannya barangkali bisa diperdebatkan. Masalahnya, integritas Pers sekarang memang agak tercemar oleh pemain-pemain baru yang bermunculan tanpa merasa terikat oleh rambu-rambu Etika dan tanggung jawab yang sebelumnya ditetapkan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai organisasi profesi yang dulu memiliki otoritas terhadap semua wartawan maupun pemiliki media massa.

Apalagi, akar-akar sistem pers Barat ini sudah ada di dunia pers sejak awal kemerdekaan ketika negara kita berada dalam sistem demokrasi liberal (1945-1959). Dari segi perusahannya, kita melihat bahwa perkembangannya perusahaan pers kita sejak dulu sudah saling bersaing satu sama lain, kemudian dalam batas-batas tertentu terdapat seleksi berdasarkan persaingan bebas. Persaingan bebas pada batas-batas tertentu ini menyebabkan yang kuat, yang berorganisasi baik, cerdik dan ditopang oleh modal besar akan tumbuh dan menjadi besar. Yang tidak kuat, tidak baik organisasinya dan tidak memiliki dukungan kuat, akan gulung tikar.

Dari segi jurnalistiknya, terutama dalam hal pemberitaan, sistem pers kita selama ini pun mirip-mirip sistem Barat, misalnya ; dalam caranya memilih dan menyajikan berita, terutama dengan maksud menarik perhatian pembaca, dengan latar belakang, sampai batas-batas tertentu, berupa pertimbangan-pertimbangan komersial untuk meraup oplah atau tiras yang besar.

Dalam segi politik, kita melihat pers selama ini mirip-mirip pers Barat, atau lebih tegas lagi, mirip sistem pers Belanda dengan organisasi-organisasi politiknya yang banyak itu yang masing-masing memiliki, atau sekurang-kurangnya mempengaruhi, suratkabar. Oleh karena itu, dalam menggunakan definisi tentang berita pun akan lebih sesuai jika pers kita berpegang pada definisi berita berdasarkan sistem pers Barat. Definisi adalah batasan-batasan pengertian tentang sesuatu. Dan definisi tentang berita hendaknya disesuaikan dengan sistem pers dalam masyarakat bersangkutan.

Dengan dasar tersebut, maka beralasanlah sekarang bagi kita untuk menyajikan definisi berita versi Barat menurut ”The New Grolier Webster International Dictionary” yang menyebutkan bahwa berita adalah :

§ Current information about something that has taken place, or about something not known before (informasi hangat tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya);

§ News is information as presented by a news media such as papers, radio, or television (berita adalah informasi seperti yang disajikan oleh media semisal suratkabar, radio, atau televise);

§ News is anything or anyone regarded by a news media as a subject worthy of treatment (berita adalah sesuatu atau seseorang yang dipandang oleh media merupakan subjek yang layak untuk diberitakan).

Definisi lainnya adalah seperti yang dikemukakan oleh “Edward Jay Friedlander, dkk” dalam bukunya “Excellence in Reporting”; “News is what you should know that you don’t know. News is what has happened recently that is important to you in your daily life. News is what fascinates you, what excites you enough to say to a friend, ‘Hey, did you hear about…..? News is what local,national, and international shakers and movers are doing to affect your life. News is the unexpected event that, fortunately or unfortunately, did happened” (Berita adalah apa yang harus anda ketahui yang tidak anda ketahui.

Berita adalah apa yang terjadi belakangan ini yang penting bagi anda, apa yang cukup menggairahkan anda untuk mengatakan kepada seorang teman, ‘Hey, apakah kamu sudah mendengar….?’ Berita adalah apa yang dilakukan oleh pengguncang dan penggerak tingkat local, nasional, dan internasional untuk mempengaruhi kehidupan anda. Berita adalah kejadian yang tidak disangka-sangka yang untungnya atau sayangnya telah terjadi).

Menurut “Mitchell V. Charnley”, mendefinisikan berita; “News, is the timely report of facts or opinion that hold interest or importance, or both, for a considerable number of people” (Berita adalah laporan actual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting, atau keduanya, bagi sejumlah besar orang).

Bahkan, karena ini ada di segala penjuru dunia, “Tom Clarke”, dulu direktur sebuah Institut Jurnalistik di London, mengatakan bahwa “menurut cerita”, perkataan “NEWS” itu singkatan dari “North, East, West, South”, suatu cerita yang meskipun tidak dapat dibuktikan kebenarannya, namun menunjukkan maksudnya, yaitu bahwa berita adalah “untuk memuaskan nafsu ingin tahu” pada manusia dengan memberikan kabar-kabar “dari segala penjuru”.

Tetapi, dari semua definisi itu, jika kita sederhanakan, maka akan kita peroleh suatu definisi yang mudah dipahami, yaitu bahwa berita adalah informasi informasi actual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang.


3.5. Berita dan Kebeabasan Pers

Di Tahun 2004 merupakan tahun yang amat bersejarah, dimana rakyat Indonesia untuk pertama kalinya melakukan pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung, setelah sebelumnya memilih wakil-wakil mereka di lembaga-lembaga perwakilan. Peristiwa ini berlangsung pada tanggal 5 April 2004 yang merupakan Pemilihan Umum yang ke-9 dalam sejarah Republik Indonesia. Berbeda dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, yang dilakukan melalui wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawartan Rakyat, pemilihan kali ini untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung oleh rakyat pada 5 Juli 2004.

Ada lima calon yang ikut memperebutkan kursi kepresidenan periode 2004-2009, yakni; Ibu Megawati Soekarnoputri berpasangan dengan Hasyim Muzadi sebagai wakilnya, Amien Rais berpasangan dengan Siswono Yudohusodo sebagai wakilnya, Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan Jusuf Kalla sebagai wakilnya, Wiranto berpasangan dengan Solahuddin Wahid, dan Hamzah Haz berpasangan dengan Agum Gumelar.

Pemilihan umum (pemilu) 2004 diikuti 24 partai politik, lebih sedikit dari pemilu sebelumnya, tahun 1999 yakni seebanyak 48 partai politik. Pada pemilihan umum pertama kali tahun 1955, ketika sistem politik Indonesia didasarkan pada UUD Sementara yang bersifat Liberal itu, pemilu diikuti oleh 55 partai.

Sebagai warga negara yang baik,anda tentu ingin memilih secara bijaksana, bukan? Dalam hati anda tentu bertanya-tanya; tepatkah saya jika saya memilih partai A? Apakah dengan memilih calon ini atau memilih partai A ekonomi Indonesia akan menjadi lebih baik? Apakah dengan memilih calon ini atau memilih partai B pekerjaan lebih mudah didapat?

Bagaimana anda mendapat informasi yang anda perlukan agar anda dapat mengambil keputusan yang tepat?

Banyak sumber informasi yang bisa anda peroleh. Salah satunya adalah informasi dari mulut ke mulut. bisa anda dapatkan di tempat bekerja, di terminal-termial, dalam obrolan santai di warung-warung kopi, dalam obrolan santai dengan teman, dengan tetangga, dan lain-lain.

Tetapi, sebagai warga masyarakat modern, anda tentunya mencari informasi ini pertama-tama dari media massa seperti; suratkabar, radio, televisi. Dari media massa ini mengalir 1001 macam informasi yang diperlukan warga tentang berbagai masalah, mulai dari masalah politik, ekonomi, keamanan sampai masalah tetek-bengek. Dari suratkabar atau radio anda bisa mengetahui jadwal keberangkatan dan jadwal tiba pesawat terbang maupun kereta api. Inilah yang dicita-citakan pers di seluruh dunia, yakni memberikan informasi selengkap-lengkapnya kepada khalayak ramai, membantu khalayak mendapatkan haknya untuk mendapatkan informasi yang benar dan lengkap atau disebut juga “people right to know”.

Itulah sebabnya, di negara-negara demokratis, hak-hak demokrasi rakyat seperti hak kebebasan berfikir, menyatakan pendapat dan berusaha dilindungi oleh undang-undang. Perlindungan terhadap kebebasan pers pun dicantumkan secara tegas dalam konstitusi. Selama hampir setengah abad sejak Dekrit Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD’45 dicanangkan pada 5 Juli 1959, Pers Indonesia sudah berjuang keras, meskipun dengan berbagai cobaan yang berat, untuk mendapatkan kebebasannya dengan segala macam manuver politiknya. Tetapi, baru di penghujung abad ke-20 dan di awal abad ke-21 ini pers kita mendapatkan jaminan undang-undang dalam melaksanakan kebebasan pers-nya dengan disahkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 dan diterimanya Amandemen ke-2 UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Seperti dikemukakan “Mitchel V. Charnley” Kebebasan Pers itu bukan berarti, “Government, keep your hands-off!” (Hey Pemerintah, jangan ikut campur!) Tetapi artinya , “Keep your hands off so that the media may help the people to preserve the democtratic system” (“jangan ikut campur sehingga media dapat membantu rakyat memelihara sistem demokrasi”). Menurut “Charnley”, kebebasan pers adalah; sarana, bukan tujuan ; perlindungannya adalah publik, bukan penerbit. Publik atau rakyat dalam hal ini diwakili oleh undang-undang dan aparat penegaknya.

3.6. Unsur Layak Berita

Sebelum kita membahas unsur-unsur yang membuat suatu berita layak untuk dimuat, berikut ini perlu kiranya kita menyimak isi pasal 5 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia :

“Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, menguatamakan kecermatan dan ketepatan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya”.

Dari ketentuan yang ditetapkan oleh Kode etik Jurnalistik itu menjadi jelas pada kita bahwa berit pertama-tama harus cermat dan tepat atau dalam bahasa jurnalistik harus akurat. Selain cermat dan tepat, berita juga harus lengkap (complete), adil (fair) dan berimbang (balanced). Kemudian berita pun harus tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri atau dalam bahasa akademis disebut Objektif. Dan, yang merupakan syarat praktis tentang penulisan berita, tentu saja berita itu harus ringkas (concise), jelas (clear), dan hangat (current).

Sifat-sifat istimewa berita ini sudah terbentuk sedemikian kuatnya sehingga sifat-sifat ini bukan saja menentukan bentuk-bentuk khas praktik pemberitaan tetapi juga berlaku sebagai pedoman dalam menyajikan dan menilai layak tidaknya suatu berita untuk dimuat. Ini semua membangun prinsip-prinsip kerja yang mengkondisikan pendekatan profesional terhadap berita dan membimbing wartawan dalam pekerjaannya sehari-hari.

Baiklah, kita sudah mendapatkan tujuh sifat istimewa berita yang akan kita sebut juga sebagai unsur-unsur layak berita, yaitu; akurat,lengkap, adil dan berimbang, objektif, ringkas,jelas dan hangat. Berikut ini akan dibahas satu per satu :

v Berita Harus Akurat

Wartawan harus memiliki kehati-hatian yang sangat tinggi dalam melakukan pekerjaannya mengingat dampak yang luas yang ditimbulkan oleh berita yang dibuatnya. Kehati-hatian dimulai dari kecermatannya terhadap ejaan nama, angka, tanggal dan usia serta disiplin diri untuk senantiasa melakukan periksa-ulang atas keterangan dan fakta yang ditemuinya. Tidak hanya itu, akurasi juga berarti benar dalam memberikan kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang dicapai oleh penyajian detail-detail fakta dan oleh tekanan yang diberikan pada fakta-faktanya.

Pembaca biasanya sangat memperhatikan soal akurasi ini. Bahkan, kredibilitas sebuah media, apakah cetak maupun elektronik, sangat ditentukan oleh akurasi beritanya sebagai konsekuensi dari kehati-hatian para wartawannya dalam membuat berita. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh “Public Agenda Foundation” terhadap khalayak pembaca/pemirsa suratkabat/majalah maupun radio/televisi menyimpulkn “52%” meragukan keakurasian.

Seorang wartawan yang memiliki kemampuan tinggi dalam mencari berita, tapi mengabaikan soal akurasi, dia hanya menyiapkan diri untuk kemudian dipecat dari pekerjaannya, karena ia akan mengantarkan perusahaan penerbitan pada gugatan pembaca. Bisa jadi perusahaan akan kehilangan ratusan juta rupiah untuk membayar ganti rugi pencemaran nama baik.

Tentang bagaimana pentingnya akurasi ini dalam berita, “Joseph Pulitzer”, tidak lama setelah ia pensiun sebagai pemimpin redaksi “New York World”, mengatakan antara lain: ”It is not enough to refrain from publishing fake news; it is not enough to avoid the mistakes which arise from the ignorance, the carelesness, the stupidity of one or more of the many men who handle the news.....You have got to....make everyone connected with the paper – your editors, your reporters, your correspondents, your rewrite men, your proffreaders-believe that accuracy is to a newspaper what virtue is to a woman” (Artinya; Berhenti memuat berita-berita palsu saja belumlah cukup; juga belum cukup hanya menghindari kesalahan-kesalahan yang timbul dari ketidaktahuan, kecerobohan, kebodohan salah seorang atau lebih orang-orang yang menangani berita.....Anda harus.....membuat setiap orang yang berkaitan dengan suratkabar ini-para redaktur anda,para wartawan anda, para koresponden anda, para penyunting anda, para kolektor anda-percaya bahwa akurasi itu bagi sebuah suratkabar seperti kebajikan bagi seorang wanita).

Seorang wartawan yang baik adalah apabila ia senantiasa menyangsikan kebenaran yang didengar dan dilihatnya, sehingga dalamdirinya selalu tertanam kewaspadaan untuk berhati-hati dan bersikap cermat. Karena, tidak jarang seorang wartawan menjumpai nara sumber yang mengetahui jawaban ssesuatu masalah, tetapi tidak mau mengatakannya secara akurat. Atau karena seseuatu alasan ia tidak mau mengatakannya secara cermat. Ini merupakan penyakit dalam kehidupan pemberitaan bahwa sumber-sumber berita biasanya kurang dapat dipercaya ketimbang wartawan.

v Berita Harus Lengkap, Adil dan Berimbang

Bagi seorang wartawan, untuk menyusun sebuah laporan atau tulisan yang adil dan berimbang tidaklah sesulit memeliharan objektivitas. Yang dimaksudkan dengan sikap adil dan berimbang adalah bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa sesungguhnya yang terjadi. Misalnya; manakala seorang politisi memperoleh tepukan tangan yang hangat dari hadirin ketika menyampaiakn pidatonya, peristiwa itu haruslah ditulis apa adanya. Tetapi, ketika sebagian hadirin “walked out” sebelum pidato berakhir, itu juga harus ditulis apa adanya. Jadi, ada dua siatuasi yang berbeda, keduanya harus termuat dalam berita yang ditulis.

Situasi seperti diatas juga terjadi ketika misalnya; Kapolri menyatakan bahwa “si anu” akan ditangkap. Dalam hal ini, seorang wartawan harus pula menanyai atau menghubungi orang yang mau ditangkap itu. Seandainya si wartawan sudah berusaha menghubungi tetapi yang bersangkutan tidak bisa dihubungi, maka tulislah bahwa yang bersangkutan tidak bisa dihubungi sampai berita ini diturunkan.

Unsur adil dan berimbang dalam berita mungkin sama sulitnya untuk dicapai seperti juga keakuratan dalam menyajikan fakta. Selaku wakil dari pembaca atau pendengar berita, seorang wartawan harus senantiasa berusaha untuk menempatkan setiap fakta atau kumpulan fakta-fakta menurut proporsinya yang wajar, untuk mengaitkannya secara berarti dengan unsur-unsur lain, dan untuk membangun segi pentingnya dengan berita secara keseluruhan. Misalnya;, seorang wartawan yang meliput pertandingan sepak bola mungkin sangat akurat dala hal fakta-fakta yang ia gunakan, tetapi ia akan menipu pembaca jika ia menceritakan serangan-serangan dan cara mencetak gol yang diperlihatkan tim tuan rumah dan mengabaikan serangan-serangan dan cara mencetak gol lawan. Pemberitaan tentang kerusuhan dalam peristiwa unjuk rasa yang melaporkan ayunan-ayunan pentungan polisi tetapi tanpa memberitakan provokasi-provokasi yang dilakukan para pengunjuk-rasa merupakan berita yang tidak berimbang dan tidak lengkap. Adalah juga tidak adil jika wartawan hanya memberitakan pidato wali kota saja tanpa menyebut acara pemberian hadiah kepada para camat yang berprestasi, lebih-lebih jika pidato walikota tersebut hanya merupakan kejadian rutin sedangkan pemberian hadiah disambut hadirin dengan meriah.

v Berita Harus Objektif

Selain harus memiliki ketepatan (akurasi) dan kecepatan dalam bekerja, seorang wartawan dituntut untuk bersikap objektif dalam menulis. Dengan sikap bojektifnya, berita yang ia buat pun akan objektif, artinya berita yang dibuat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka. Lawan objektif itu adalah subjektif, yaitu sikap yang diwarnai oleh prasangka pribadi. Memang ada beberapa karya jurnalistik yang lebih persuasif, artinya ada sikap subjektif didalamnya, dan objektivitasnya agak kendur, misalnya ; dalam tulisan editorial atau komentar. Sebuah “depth-reporting” (pemberitaan mendalam) maupun “invertigative-reporting” (pemberitaan-investigasi) haruslah objektif, meski boleh memiliki suatu fokus pandangan, point of view. Memang untuk bersikap objektif 100 % sangat sulit, hampir tidak mungkin, karena latar belakang seorang wartawan acapkali mewarnai hasil karyanya.

Dalam pengertian objektif ini, termasuk pula keharusan wartawan menulis dalam konteks peristiwa secara keseluruhan, tidak dipotong-potong oleh kecenderungan subjektif. Contoh klasik yang selalu diceritakan dalam mata kuliah jurnalistik adalah kisah Paus Saulus yang berkunjung ke New York. Konon kunjungan ini sudah dinantikan oleh seorang wartawan. Sebagaimana biasa,setiap mengunjungi sebuah negara, Paus mencium tanah begitu turun dari pesawat. Saat Sri Paus berdiri, sang wartawan langsung menyodorkan alat perekamnya dan bertanya, “Bapak, bagaimana pendapat anda mengenai Nite Club di New York?” Menghadapi “serangan” mendadak dengan pertanyaan tak lazim, tentu saja Paus kaget dan dengan santu ia bertanya balik, “Apakah ada Nite Club di New York!” Mendengar jawaban itu, si wartawan sangat puas dan berhenti bertanya.

Keesokan harinya, si wartawan itu pun menulis beritanya yang sangat mengagetkan, terutama bagi masyarakat Katolik. Berita itu dimulai dengan : “Ucapan pertama Sri Paus Paulus ketika tiba adalah, Apakah ada Nite Club di New York?”

Contoh ini memperlihatkan, dari segi fakta berita ini benar. Yang disembunyikan si wartawan adalah bahwa jawaban itu atas pertanyaan, sehingga ucapan Paus dihilangkan dari konteks yang sesungguhnya terjadi.

v Berita Harus Ringkas dan Jelas

“Mitchel V. Charnley” berpendapat, bahwa pelaporan berita dibuat dan ada untuk melayani. Untuk melayani sebaik-baiknya, wartawan harus mengembangkan ketentuan-ketentuan yang disepakati tentang bentuk dan cara membuat berita. Berita yang disajikan haruslah dapat dicerna dengan cepat. Ini artinya suatu tulisan yang ringkas, jelas dan sederhana. Tulisan berita harus tidak banyak menggunakan kata-kata, harus langsung dan padu.

Gaya jurnalistik yang bagus, seperti juga gaya tulisan-tulisan lainnya, tidak mudah diwujudkan atau dipertahankan. Seorang wartawan yangmenggunakan kata-kata klise dan bukannya kata-kata yang segar dan jelas, dan akan mendapat pujian.

Juga si wartawan malas yang berkata ”Biar saja redaktur nanti yang memperbaiki berita saya”, sama tidak akan mendapatkan kemajuan.

Dengan menulis ringkas, jelas dan sederhana, anda tidak pernah takut di katakan tidak punya gaya. Ingat, pujangga besar ”Ernerst Hemingway” lewat cerpennya ”The Snow of Kilimanjaro” yang juga telah di filmkan, dan cerpennya yang lain, ”The Killers” memiliki alur gerak dinamik yang tumbuh dari gaya jurnalistiknya, yaitu kepandaiannya bertutur yang ringkas dan intens maupaun cara bertuturnya yang saling susul itu.

Penulisan berita yang efektif memberikan efek mengalir, ia memiliki warna alami tanpa berelok- elok atau tanpa kepandaian bertutur yang berlebihan. Ia ringkas, terarah tepat, menggugah. Inilah kandungan- kandungan kualitas yang harus di kejar oleh setiap penulis.

v Berita Harus Hangat

Berita adalah padanan kata “News” dalam bahasa Inggris. Kata “News” itu sendiri menunjukkan adanya unsur waktu-apa yang New, apa yang baru, yaitu lawan dari lama. Berita emang sellau baru, selalu hangat. Seperti yang telah di bahas pada bab sebelumnya, sejarah berita sudah dimulai sejak zaman purba. Di Roma suatu bentuk pemberitaan harian ,”Acta Diurna”, ditempelkan ditempat-tempat umum.

Meskipun berita seperti termuat dalam lembaran-lembaran berita berbentuk poster itu tidak sealu berita hangat yang dapat dibaca oleh publik saat itu. Penemuan mesian cetak sekitar 500 tahun yang lalu telah memberikan arti baru terhadap berita. Suratkabar pertama yang muncul di Inggris pada tahun 1622 bernama Weekly News.

Penekanan pada konteks waktu dalam berita kini dianggap sebagai hal biasa. Konsumen berita tidak pernah mempertanyakan hal itu. Dunia bergerak dengan cepat, dan penghuninya tahu belakangan bahwa mereka harus berlari, bukan berjalan, untuk mengikuti kecepatan geraknya. Peristiwa-peristiwa bersifat tidak kekal, dan apa yang nampak benar hari ini belum tentu benar esok hari. Karena konsumen berita menginginkan informasi segar, informasi hangat, kebanyakan berita berisi laporan peristiwa-peristiwa “hari ini” (dalam harian sore), atau paling lama, “tadi malam” atau “kemarin” (dalam harian pagi). Media berita sangat spesifik tentang faktor-faktor waktu ini untuk menunjukkan bahwa berita-berita mereka bukan hanya “hangat” tetapi juga paling sedikitnya yang terakhir.

Setiap wartawan tah dari pengalaman bahwa perkiraan korban dalam suatu peristiwa bencana biasanya di besar-besarkan. Maka wajarlah kalau kita bertanya : Apa ruginya dengan memberitakan yang pokok-pokok saja tentang peristiwa semacam itu tetapi membiarkan detil-detilnya kemudian ketika informasinya benar-benar dapat dipercaya? Dan berapa banyak media yang menjadi korban dari nafsunya sendiri untuk menjadi yang pertama dalam mendapatkan berita?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI

Artikel Komunikasi