BAB. V. WARTAWAN SEBAGAI PROFESIONAL

1.1. PROFESIONALISME WARTAWAN
Dalam literatur, pekerjaan seperti pemimpin redaksi, redaktur, wartawan atau reporter disebut sebagai profesi. Seperti halnya dengan dokter, dosen, pengacara dan lainnya, profesi wartawan adalah profesi yang bukan sekadar mengandalkan keterampilan seorang tukang. Ia adalah profesi yang watak, semangat, dan cara kerjanya berbeda dengan seorang tukang. Oleh karena itu, masyarakat memandang wartawan sebagai profesional.
Dalam persepsi diri wartawan sendiri, istilah “profesional” memiliki tiga arti;
 Profesional adalah kebalikan dari amatir;
 Sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus;
 Norma-norma yang mengatur perilakunya dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca.
Selanjutnya ada dua norma yang dapat diidentifikasikan :
 Norma teknis (keharusan menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting, dan sebagainya);
 Norma etika (kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti; tanggung jawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif, dan lain-lain yang semuanya harus tercermin dalam produk penulisannya).
Upaya-upaya untuk memperbaiki pendidikan kewartawanan menunjukkan bahwa ”profesionlisme” dapat diharapkan semakin meningkat di lapangan pekerjaan jurnalistik, yang kemungkinan besar mengarah pada otonomi yang lebih mantap dan kekuatan yang lebih besar untuk menahan tekanan-tekanan dan pengaruh dari kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Profesionlaisme akan menimbukkan dalam diri wartawan sikap menghormati martabat individual dan hak-hak pribadi dan personal warga masyarakat yang diliputnya. Untuk mencapai hal itu, sudah tentu wartawan perlu memiliki kedewasaan pandangan dan kematangan pikiran. Ini berarti bahwa wartawan harus memiliki landasan unsur-unsur yang sehat tentang etika dan rasa tanggung jawab atas perkembangan budaya masyarakat dimana wartawan itu bekerja.
Landasan unsur-unsur yang sehat ini tidak hanya terdapat dalam norma-norma yang tercantum dalam Kode Etik saja, tetapi juga terdapat dalam norma-norma teknis Profesi wartawan itu sendiri. Misalnya; dalam mempertimbangkan layak tidaknya suatu unsur-unsur layak berita yang harus diperhatikan oleh setiap wartawan profesional. Salah satunya adalah unsur bahwa berita harus adl dan berimbang (fair and balanced).
Jika, ”S. Robert Lichter, dkk” misalnya mengatakan bahwa Pers Amerika memiliki tradisi yang sudah berlangsung lama tentang sikap adil dan berimbang (fairness) serta tidak memihak (non-partisanship), Pers Indonesia pun sebenarnya sudah lama pula melaksanakan tradisi ini sehingga prinsip adil dan tidak memihak ini pun dimasukkan pula dalam Kode Etik Jurnalistik PWI.
Oleh karena itulah wartawan sebagai profesional dalam menjalankan tugasnya dibimbing oleh Kode Etik. Ini sama halnya dengan profesi dokter, pengacara, atau akuntan yang senantiasa berpijak pada Kode Etik mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. Dalam halnya wartawan Indonesia, Kode Etik yang saat ini dikenal adalah Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Persatuan wartawan Indoonesia (PWI).
Beruntung mereka yang menjalani karir jurnalistik di suratkabar yang memiliki reputasi dan senantiasa berpedoman kepada Kode Etik, sehingga kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada suratkabarnya meringankan pekerjaan di lapangan. Reputasi sebuah suratkabar diperoleh arena sikap, perilaku dan performa yang diperlihatkan kepada publik pembacanya. Hal ini tidak akan ada apabila tidak terlebih dahulu ditanamkan dengan konsisten selama bertahun-tahun oleh para wartawan senior suratkabar bersangkutan sejak awal-awal pendiriannya.






1.2. PROFESIONALISME DALAM PEMBERITAAN
A. Menyebut Nama dan Identitas
Profesionalisme dalam pemberitaan ditunjukkan dengan kaidah-kaidah atau adab-adab yang harus diikuti wartawan dalam pemberitaan mereka di bidang hukum. Kaidah-kaidah ini tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik yang telah disinggung sebelumnya.
Orang awam yang tidak memahami kaidah-kaidah dalam praktik Jurnalistik maupun soal-soal hukum dan peradilan, tentu akan bingung jika membaca berbagai media yang sikapnya tidak sama dalam menyebut nama dan identitas pelaku pelanggaran dalam berita-berita kepolisian atau pengadilan. Beberapa suratkabar dan majalah hnaya menuliskan singkatan atau inisial nama dan identitas si pelaku, tetapi suratkabar dan majalah lainnya dengan terang-terangan menuliskan namanya secara lengkap.
Bunyi Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik PWI yang terbaru menyebutkan;”Wartawan Indonesia dalam memberikan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum dan atau proses peradilan, harus menghormati asas parduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.”
Asas “praduga tak bersalah” atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “pressumtion of innocent” dapat kita pahami kalau kita membaca isi Pasal 8 UU. No. 14 Tahun 1970. Dalam Pasal itu dikatakan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau diharapkan ke depan Pengadian, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.”
Menghormati asas praduga tak bersalah berarti bahwa wartawan wajib melindungi tersangka/tertuduh/terdakwa pelaku suatu tindak pidana dengan tidak menyebutkan nama dan identitasnya dengan jelas. Ini harus dilakukan sebelum ada putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahan si pelaku dan keputusan itu sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Yang lazim dilakukan media adalah menyebut nama pelaku hanya dengan inisialnya atau memuat fotonya dengan ditutup matanya atau hanya memperlihatkan foto bagian belakang saja.

Selain Kode Etik, dibidang pemberitaan peristiwa hukum PWI juga mengeluarkan “Sepuluh Pedoman Penulisan Tentang Hukum” yang bisa dibaca dalam lampiran bahan ajar ini. Di sana diterangkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan asas praduga tak bersalah itu dan bagaimana menerapkannya dalam praktek pembuatan berita-berita di bidang hukum.

B. Menyebut Nama dalam Kejahatan Susila
Tentang pemberitaan dalam kejahatan susila atau kejahatan seks pun, wartawan harus tetap dalam sikap profesionalnya. Sikap profesional ini tercermin dalam tindakan wartawan dalam memberitakan peristiwa tersebut yang tetap harus mengacu pada Kode Etik Jurnalistik. Simak misalnya; isi Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik PWI yang berbunyi: ”Wartawan dalam memberitakan kejahatan susila tidak merugikan pihak korban”. Dalam penjelasan pasal ini dikatakan, ”Tidak menyebutkan nama atau identitas korban, artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang siapa korban perbuatan susila tersebut, baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal. Namun boleh hanya menyebutkan jenis kelamin dan umum korban. Kaidah-kaidah ini berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umum (di bawah 16 tahun).
Wartawan mempunyai alasan kuat untuk menyembunyikan nama-nama wanita yang menjadi korban perkosaan atau anak-anak yang dianiaya secara seksual. Tujuannya untuk melindungi korban dari pencemaran namanya atau tercoreng aib. Tetapi, dalam hal larangan menyebut nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih di bawah umur, dasarnya semata-sama pertimbangan kemanusiaan, berdasarkan nasib serta hari esok korban beserta keluarganya.
Demikian yang tertulis dalam Pedoman Penulisan Tentang Hukum nomor 3. Kalau sampai nama, identitas, dan potret si korban terpampang dengan jelas dalam suratkabar, maka wartawan yang menurunkan berita semacam itu jelas sudah menghianati tugas profesionalnya yang bebas dan bertanggung jawab.






5.3. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK PRIBADI
A. Menghormati Hak Asasi Pribadi
Hak atas privasi, hak untuk menikmati keadaan menyendiri, tampakan masih belum dirasakan penting dalam masyarakat Indonesia. Tetapi, kaidah untuk melindungi hak privasi ini dalam profesi kewartawanan sudah cukup diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 6 misalnya; merumuskan perlindungan ini dengan kata-kata : “Wartawan menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”. Maksud dari perlindungan terhadap hak-hak privasi, lebih jelas lagi diuraikan dalam penafsiran Pasal ini :”Pemberitaan hendaknya tidak merendahkan atau merugikan harkat-martabat, nama baik serta perasaan susila seseorang, kecuali perbuatan itubisa berdampak negatif bagi masyarakat.”
Dalam kehidupan masyarakat Barat, terutama masyarakat Amerika, “hak atas privasi” atau ”hak untuk menikmati kesendirian” ini sudah lebih dari satu abad diakui keberadaannya sebagai prinsip fundamental kehidupan mereka. Ungkapan atau pepatah Inggris “My home is my castle” (rumahku adalah istanaku), tindakan saya adalah urusan saya dan bukan urusan orang lain mencerminkan betapa fundamentalnya hak privasi ini, seperti juga tercermin dalam ungkapan Arab “Baiti jannati”. Dari ungkapan ini tersirat pengertian bahwa dalam batas-batas tertentu saya beralasan untuk mengharapkan kehidupan yang bebas dari campur tangan orang luar.
Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, prinsip hidup demikian barangkali masih asing. Tetapi, dengan berkembangnya masyarakat yang semakin modern, kebutuhan akan hak atas privasi semakin nyata, terutama bagi pribadi-pribadi yang sering menjadi objek pemberitaan. Dalam keadaan demikian, Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik tersebut sudah tentu perlu dicermati oleh setiap wartawan untuk dijadikan sebagai tanda peringatan agar wartawan tidak melampaui batas-batas yang diperbolehkan dalam tugas jurnalistiknya secara profesional. Terutama bagi para wartawan yang bidang liputannya adalah para artis selebriti. Sekitar tahun 1970-an pernah terjadi seorang wartawan dipukuli gara-gara dituduh menyiarkan gosip hubungan perkawinannya dengan penyanyi terkemuka saat itu dengan seorang pejabat Pemda DKI. Munculnya beragam acara infotainment di televisi-televisi swasta dewasa ini yang saling bersaing untuk mendapatkan Rating tinggi, menyebabkan aspek privasi ini cenderung tidak diindahkan lagi.

B. Sudut Berita Yang Menyesatkan
Perlindungan terhadap hak pribadi untuk mendapatkan informasi yang benar juga harus diperhatikan dalam upaya wartawan mencari sudut atau “angel berita” yaitu; fokus yang akan dijadikan tema berita. Setiap berita harus memiliki “angel” yang kuat agar menarik perhatian pembaca, seperti halnya foto berita harus memiliki “eyecatching” yang kuat yaitu; menarik mata pembaca untuk melihatnya.
Upaya menemukan “angel” ini tidak mudah. Pencarian seringkali tidak membuahkan hasil. Misalnya; pertandingan sepakbola, peristiwa kebakaran, dan pertemuan-pertemuan selalu mengikuti pola-pola yang sudah tetap. Meskipun peristiwa-peristiwa demikian itu sering menawarkan “angel-angel” yang perlu mendapat perhatian wartawan, tetapi pemberitaan tentang peristiwa-peristiwa tersebut kedengarannya tidak beda dengan bberita-berita yang ditulis.
Tidak jarang dalam situasi yang rutin seperti di atas, wartawan sering terseret ke dalam penyimpangan profesional, yaitu dengan mengembangkan tema-tema yang menyesatkan. Dalam penulisan berita olah raga, misalnya; ketika televisi malam hari sudah membabat habis sudut-sudut beritanya yang menarik, wartawan cenderung membesar-besarkan komentar yang diucapkan oleh pelatih tim yang menang (atau yang kalah) dengan melupakan laporan tentang pertandingannya itu sendiri. Setelah memilih “angel” yang menyesatkan itu, pengembangan berita pun membelok ke hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pertandingan yang diliput. Kalau sudah begini, keprofesionalan si wartawan pun benar-benar ternodai dan kepentingan pembaca untuk mendapat informasi yang benar yang seharusnya dilindungi menjadi terabaikan.

C. Hindari Trial by the Press
Peristiwa “trial by the press” yang paling hitam dalam sejarah Pers Indonesia adalah ketika berlangsung siding pengadilan terhadap mantan Wakil Perdana Menteri Pemerintah Orde Lama, Subandrio, pada tahun 1966, yaitu beberapa bulan setelah Pemerintah Orde Lama tumbang dan Soekarno digantikan Soeharto sebagai Presiden. Pemberitaan Pers terhadap tertuduh saat itu bukan saja tidak memperhatikan asas praduga tak bersalah dan prinsip penyajian yang adil, jujur dan berimbang seperti yang dikehendaki oleh Kode Etik Jurnalistik, tetapi juga nyaris tidak mengindahkan Etika sebagai Pers yang beradab yang dituntut oleh hati nurani siapa pun. “Trial by the Press” atau terjemahannya secara harfiah “Pengadilan oleh Pers” ini jelas merupakan praktik Jurnalistik yang menyimpang. Kalau hal itu dilakukan sekarang, ia menyalahi dua ketentuan, baik ketentuan yang di atur oleh Kode Etik Jurnalistik maupun Undang-Undang. Kode Etik Jurnalistik PWI mengatur hal ini dalam Pasal 7. Sedangkan Undang-Undang yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 (pasal 4 ayat 3 dan pasal 8).
Tentang “trial by the press” ini PWI pun memebrikan pedoman yang rinci dalam “Sepuluh Pedoman Penulisan tentang Hukum”-nya (Pedoman ke-6). Pedoman keenam itu antara lain menyebutkan bahwa “untuk menghindarkan trial by the press, pers hendaknya memperhatikan sikap terhadap hukum dan sikap terhadap tertuduh. Jadi hukum atau proses pengadilan harus berjalan dengan wajar. Tertuduh jangan sampai dirugikan posisinya berhadapan dengan penuntut umum. Juga perlu diperhatikan supaya tertuduh kelak bisa kembali dengan wajar ke dalam masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

Artikel Komunikasi

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI