Bahan Kuliah : Etika Kehumasan

ETIKA, NORMA-NORMA, KAIDAH, DAN ETIKET
PENGERTIAN ETIKA
Etika (etimologi) berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethos” yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom).
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan Moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan “MORES” (dalam bentuk jamak), yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.

Istilah lain yang identik dengan Etika adalah sbb :
§              Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan dasar-dasar,    
        prinsip, aturan  hidup (Sila) yang lebih baik (Su).
§        Akhlak (Arab), berarti Moral, dan Etika berarti ilmu
     akhlak.




ETIKA DAN MORAL
Etimologis etika berasal dari kata Yunani: ”ta etha”, yakni bentuk jamak dari ethos, berarti adat kebiasaan. Dari kata ini terbentuk istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata ”moral” berasal dari bahasa latin ” ”Mos” (jamak :mores), yang berarti kebiasaan, adat. Jadi, etimologis, kata ”etika” sama dengan kata ”moral”,yang keduanya berarti adat kebiasaan.

Menurut Filsuf Aristoteles dalam bukunya “Etika Nikomacheia” menjelaskan pembahasan Etika sebagai berikut :
1.        Terminius Technicus, dalam hal ini etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
2.     Manner & Custom, membahas Etika yang berkaitan dengan tata cara & kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (Inherent in Human Nature) yang terikat dengan pengertian “baik & buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.




PENDAPAT PARA PAKAR/ILMUWAN TENTANG ETIKA
1.        “I.R. Poedjawijatna” dalam bukunya Etika, mengemukakan bahwa Etka merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran & sebagai filsafat ia mencari keterangan benar yang sedalam-dalamnya. Tugas Etika adalah mencari ukuran baik-buruknya tingkah laku manusia.
2.     “Ki Hajar Dewantara” (1962), Etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan & keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran & rasa yang dapat merupakan pertimbangan & perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
3.     “Austin Fogothey”, dalam bukunya “Rights & Reason Ethic (1953)”, Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia & masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik & hukum.
4.      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988),etika memiliki tiga arti :
a.      Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
b.      Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; pengertian ini tertuang dalam kajian kode etik profesi, misalnya: Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Humas, atau Kode Etik Periklanan
c.      Nilai mengenai tindakan yang benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.

Pengertian & definisi Etika dari para filsuf atau ahli tersebut diatas berbeda-beda pokok perhatiannya, antara lain :

1.        Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right).
2.     Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions).
3.     Ilmu watak manusia yang ideal & prinsip-prinsip moral sebagai individual (The science of human character in its ideal state, and moral priciples as of an individual).
4.      Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).

Berkaitan dengan definisi atau pendapat para tokoh tersebut di atas tentang etika, dapat ditarik suatu kesimpulan secara umum bahwa “hubungan dengan perbuatan seseorang yang dapat menimbulkan “penilaian” dari pihak lainnya akan baik-buruknya perbuatan yang bersangkutan disebut ETIKA”.
Berdasarkan bagan / diagram diatas, “A. Sonny Keraf” membagi etika menjadi dua yaitu :
a.            Etika Umum; merupakan prinsip-prinsip moral yang mengacu pada prinsip moral dasar sebagai pegangan dalam bertindak dan menjadi tolok ukur untuk menilai baik buruknya suatu tindakan yang ada di dalam suatu masyarakat.
b.            Etika Khusus; merupakan penerapan moral dasar dalam bidang khusus. Aplikasi dari etika khusus ini misalnya; keputusan seseorang untuk bertindak secara etis dalam suatu bidang tertentu baik itu dalam mengambil keputusan maupun dalam kehidupan sehari-hari didalam suatu organisasi. Contoh; keputusan untuk bertindak secara etis dalam dunia bisnis, dalam organisasi kehumasan dan sebagainya.

Selanjutnya, Etika Khusus dibagi menjadi dua lagi yaitu:
§             Etika Individual; lebih menekankan pada kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri untuk mencapai kesucian hidup. Yang termasuk dalam etika individual ini misalnya; Etika beragama, menjaga kesehatan dan sebagainya.
§             Etika Sosial; etika ini lebih menekankan pada kewajiban, sikap dan perilaku sebagai anggota masyarakat dan tanggung jawab individu tersebut dengan lingkungannya. Dengan kata lain, etika social memberikan penekanan pada hubungan individu dengan lingkungannya. Norma-norma, nilai-nilai social serta tata karma menjadi moral dasar dalam etika social yang mengatur individu ketika berinteraksi dengan orang lain. Contoh etika social misalnya;etika dalam bermasyarakat, etika dalam berorganisasi dan sebagainya.

Etika Public Relations yang kita bahas dalam bahan ajar ini merupakan salah satu bagian dari etika profesi. Sedangkan etika profesi sendiri merupakan bagian dari etika social. Jadi, dapat disimpulkan Etika Public Relations merupakan bagian dari etika social. Etika Profesi memberikan penekanan pada hubungan antar manusia (antar-insani) dengan sesamanya yang memilki profesi yang sama. Tujuannya, supaya ada kerjasama yang baik dan keselarasan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam satu profesi.
Etika Public Relations mempunyai tujuan yang sama dengan etika profesi.
Adanya etika Public Relationsm diharapkan ada keselarasan yang dapat menimbulkan kerjasam yang baik antara individu-individu yang ada dalam lingkup Public Relations.

PERAN ETIKA
Pemahaman tentang etika memang sangat luas. Etika dapat dipelajari dari bermacam-macam teori, pendekatan maupun dari artinya.
Paparan diatas memberikan pemahaman tentang etika dari beberapa teori. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa peran etika dalam kehidupan ini ?
Etika memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Ada beberapa peran yang dimiliki oleh etika tersebut beberapa diantaranya adalah:
a.        Etika mendorong dan mengajak setiap individu untuk bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri yang dapat dipertanggung jawabkan (bersifat otonom). Pada tataran ini tidak ada campur tangan dari individu yang lain karena secara sadar setiap inividu berusaha untuk memutuskan berdasarkan pendapatnya sendiri.
b.        Etika dapat mengarahkan masyarakat untuk berkembang menjadi masyarakat yang tertib, teratur, damai, dan sejahtera dengan mentaati norma-norma yang berlaku demi mencapai ketertiban dan kesejahteraan social. Keadaan ini disebut sebagai “Justitia Legalis” atau “Justitia Generalis”, keadilan yang menuntut ketaatan setiap orang terhadap semua kaidah hokum dan kaidah social lainnya demi keterlibatan dan kesejahteraan masyarakat. Etika mampu menumbuhkan kesadaran manusia untuk mentaati nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku didalam masyarakat dimana individu itu berada. Kesejahteraan social dapat tercipta akibat kesadaran yang muncul dalam diri setiap individu didalam masyarakat tersebut. Nilai dan norma yang diberlakukan di suatu masyarakat menjadi penting.

Dalam masyarakat tradisional, nilai dan norma tidak begitu dipermasalahkan. Mereka akan menerima nilai dan norma apa adanya. Tetapi pada suatu saat ketika nilai dan norma yang implicit tadi mendapat tekanan, ditentang atau karena ada perkembangan yang baru, maka norma dan nilai yang implicit akan berubah menjadi eksplisit.
Berbeda dengan kehidupan masyarakat tradisional, dalam kehidupan masyarakat modern, nilai dan norma yang ada dalam etika ini mengalami permasalahan yang sangat kompleks akibat perkembangan jaman dan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Oleh karena itu, dibutuhkan pemikiran baru untuk menentukan aturan sehubungan dengan nilai dan norma dalam kondisi kehidupan masyarakat modern dengan permasalahan kompleks ini.

Situasi etis yang terjadi dalam kehidupan masyarakat modern ditandai dengan tiga cirri yang menonjol:
1.        Adanya pluralisme moral, masyarakat yang berbeda serta nilai dan norma yang berbeda. Hal ini terjadi karena permasalahan yang dihadapi masyarakat modern ini sangat kompleks. Perbedaan latar belakang budaya antara individu yang satu dengan individu yang lain sangat mencolok. Ditambah lagi dengan aktivitas masyarakat modern yang sangat tinggi serta yang sangat besar terhadap pluralitas moral, perbedaan nilai dan moral serta memunculkan masyarakat yang berbeda.
2.      Kehidupan masyarakat sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat modern membawa pengaruh terhadap timbulnya banyak masalah etis baru. Sebagai contoh; perdebatan yang muncul ditengah masyarakat dan memunculkan polemic tentang teknologi baru sehubungan dengan perkembangan makhluk hidup. Cloing dan manipulasi gen-gen manusia merupakan dua contoh yang menjadi polemic dan sampai sekaranf belum ditemukan titik temunya. Permasalahan etis ini muncul karena perkembangan teknologi yang baru serta penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari pandangan Agama dan norma-norma serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat secara umum.
3.      Muncul kepedulian etis yang bersifat Universal yaitu; munculnya globalisasi moral. Kesadaran masyarakat secara global terhadap tindakan moral menjadi salah satu ciri yang menonjol dalam kehidupan mayarakat modern. Hal ini ditandai dengan deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Human Rights) oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.


ETIK DAN ETIS
Di atas sudah dibahas tentang etika. Dalam praktek kehidupan sehari-hari ada istilah-istilah yang tidak bisa lepas ketika kita berbicara tentang etika. Istlah-istilah yang berhubungan dengan etika adalah Etik, Etis dan Norma.
Etika sebagai ilmu akhlak yang membahas pola-pola aturan tentang nilai-nilai kesusilaan tidak bisa lepas dengan istilah etik, etis dan norma. Tindakan untuk melakukan etika disebut tindakan etik dan sifat tentang pelaksanaan etik tersebut sering diberi istilah Etis. Contoh: apabila anda sedang antri di ruang tunggi dokter. Kebetulan ruang tunggu itu penuh dan hanya ada satu kursi kosong yang cukup dipakai untuk anda. Pada saat itu yang berdiri hanya anda, maka tanpa berpikir panjang anda langsung menggunakan kursi itu dan mendudukinya.
Ketika anda menunggu terlalu lama, perasaan bosan mulai menyerang anda. Dan tiba-tiba datang seorang ibu yang sedang menggendong anak bayinya yang sedang sakit ikut menunggu giliran untuk masuk ke ruang dokter. Karena tempat duduk penuh, maka dia menunggu dengan berdiri. Salah satu dari pasien yang menunggu tadi kemudian berdiri dan mempersilakan ibu itu untuk duduk di tempat dia.
Dari contoh di atas,perbuatan memberi tempat duduk disebut tindakan Etik. Selanjutnya cara dia memberikan tempat duduk itu disebut dengan tindakan yang bersifat Etis. Inilah perbedaan-perbedaan istilah antara Etik dan etis yang banyak digunakan sehubungan dengan Etika. Tetapi tidak jarang penggunaan kata-kata ini mengalami kerancuan karena pemahaman yang tidak tepat terhadap kata-kata tersebut.

ETIKET
Istilah lain yang paling sering rancu digunakan sehubungan dengan etika adalah Etiket. Dalam penggunaan sehari-hari, tidak jarang terjadi kekeliruan dalam penggunaan kata antara Etika dan Etiket. Sebagai contoh; ketika kita ingin menerangkan tentang Tata cara yang baik ketika mengikuti Table Manner tidak jarang kita menggunakan istilah Etika makan. Atau ketika kita ingin mengatakan bahwa selingkuh merupakan satu tindakan yang dilarang dan tidak dibenarkan dalam budaya timur, maka istilah yang sering digunakan adalah ”perbuatan itu tidak sesuai dengan etiket masyarakat timur”.
Itu satu fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat kita sehubungan dengan penggunaan kata Etiket dan Etika.
Padahal kalau kita melihat arti kata serta pemahaman tentang etiket dan etika, ada perbedaan yang cukup signifikan antara etiket dan etika. Tetapi sebelum kita membahas perbedaan etiket dan etika, terlebih dahulu kita akan membahas apa itu Etiket.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat dua pengertian tentang Etiket :
§       Etiket adalah secarik kertas yang bertuliskan nama, dan sebagainya yang diletakan pada kotak.
§       Etiket adalah aturan sopan-santun pergaulan.
Jadi dari pemahaman yang didasarkan pada kamus besar bahasa indonesia di ata, etiket merupakan suatu hal penting didalam pergaulan masyarakat yang bertingkat-tingkat (mempunyai suatu hirarkhi).
Istilah Etiket berasal dari perkataan Perancis ”Etiquette” yang berarti surat undangan dan tata aturan yang tertulis pada kertas undangan. Etiket berarti pula nama yang diletakkan pada botol atau kotak. Etiket sinonim dengan perkataan Tata Krama, Tata sopan santun, peraturn sopan santun dan tata cara tingkah laku yang baik dan menyenangkan. Tata aturan sopan santun ini disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi nora anutan dalam bertingkah laku diantara naggota masyarakat tertentu.
Pemahaman tentang Etika dan Etiket sering kali dicampur adukkan, padahal dua kata ini memiliki perbedaan yang sangat hakiki. Tetapi sekalipun ada perbedaannya, dua istilah ini memiliki persamaan. Persamaan antara Etiket dan etika antara lain:
§       Etiket dan Etika menyangkut perilaku manusia. Istilah-istilah ini hanya digunakan untuk manusia, tidak bisa digunakan untuk hewan dantumbuhan.
§       Etiket maupun Etika mengatur perilaku manusia secara normative. Artinya Etiket dan Etika memberi norma bagi perilkau manusia dengan demikian menyatakan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan. Berdasarkan pemahaman ini, Etiket dan Etika selalu menyangkut perilaku manusia dan digunakan untuk mengatur perilaku manusia yang bersifat normatif.
Sekalipun Etiket dan Etika  sama-sama menyangkut perilaku manusia, tetapi antara Etiket dan Etika terdapat perbedaan yang sangat hakiki. Perbedaan antara Etiket dan etika itu sebagai berikut :
Etiket :
§       Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Etiket dianggap sebagai salah satu cara yang tepat atau cara yang diharapkan dalam suatu komunitas atau kalangan tertentu. Misalnya; ketika kita ingin menyerahkan suatu barang ke orang lain, maka etiket yang benar adalah menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan.
§       Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Dengan kata lain, bila tidak ada yang hadir atau saksi mata, maka etiket tidak berlaku.
§       Etiket bersifat relatif. Apa yang dianggap baik di suatu tempat belum tentu baik di tempat lain. Misalnya; bersendawa setelah makan di Bali merupakan satu bentuk penghormatan karena menunjukkan satu bentuk kepuasan. Sedangkan bersendawa di Solo setelah makan dianggap sebagai suatu penghinaan.
§       Etika berbicara tenatng etiket, kita melihat manusia dari segi lahiriahnya saja atau dari luarnya saja. Ibaratnya, ketika kita menerima sebuah kado, kita hanya melihat bungkusan luarnya saja yang indah, padahal belum tentu isinya seindah bungkusnya.

Etika :
§       Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan, tetapi etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Apakah perbuatan itu boleh atau tidak. Misalnya; ketika kita mengambil barang milik orang lain, itu merupakan satu perbuatan yang tidak perbolehkan. ”Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika yang diterapkan dalam kehidupan suatu masyarakat.
§       Etika selalu berlaku baik ada saksi maupun tidak. Sekalipun tidak ada orang yang melihatnya, etika tetap berlaku diterapkan.
§       Etika bersifat absolut. Misalnya; jangan membunuh, jangan mencuri, merupakan suatu aturan yang berlaku dimanapun dan bagi siapapun. Contoh di atas merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak dapat ditawr-tawar lagi.
§       Ketika berbicara tentang etika, maka yang kita bicarakan adalah apa yang ada di dalam diri manusia itu bukan apa yang ada di luar diri manusia (Sumber: Bertens, 1993 : 10).
Dari pemaparan diatas jelas sekali terlihat perbedaan antara Etiket dan tika terlebih didasarkan pada contoh-contoh yang diberikan. Oleh karena itu, melalui pemahaman ini hendaknya kerancuan pemahaman tentang Etiket dan etika dapat dihindari.














PENGERTIAN PROFESI DAN PROFESIONAL
A. PENGERTIAN PROFESI
          Kata profesi berasal dari bahasa Latin, yaitu Professues” yang berarti; suatu kegiatan atau pekerjaan yang semula dihubungkan dengan sumpah dan janji bersifat religius.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara histories pemakaian istilah profesi tersebut, seseorang yang memiliki profesi berarti memiliki ikatan bathin dengan pekerjaannya. Jika terjadi pelanggaran sumpah jabatan yang dianggap telah menodai “kesucian” profesi tersebut.
Artinya “kesucian” profesi tersebut perlu dipertahankan dan yang bersangkutan tidak akan menghianati profesinya (Mahmoeddin, 1994:53).
Di lapangan praktik dikenal dua jenis bidang profesi sebagai berikut :
1.        Profesi Khusus ialah para professional yang melaksanakan profesi secara khusus untuk mendapatkan nafkah atau penghasilan tertentu sebagai tujuan pokoknya. Misalnya; profesi bidang ekonomi, politik, hukum, kedokteran, pendidikan, teknik, humas (public relations), konsultan, dll.
2.     Profesi luhur ialah para professional yang melaksanakan profesinya, tidak lagi untuk mendapatkan nafkah sebagai tujuan utamanya, tetapi sudah merupakan dedikasi atau jiwa pengabdiannya semata-mata. Misalnya; kegiatan profesi di bidang keagamaan, pendidikan, social, budaya, dan seni.

Menurut rumusan “A. Sonny Keraf”, dosen salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) dan kini menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup”, Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
Seorang professional adalah seorang yang hidup dengan mempraktikkan suatu keahlian tertentu atau terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menuntut keahlian  dan keterampilan tinggi, atau hanya sekadar hobi, untuk bersenang-senang dan bekerja untuk mengisi waktu luangnya.
Definisi profesi humas menurut “Howard Stephenson”, dalam buku Handbook of Public Relations (1971), adalah “The practice of skilled art or service based on training, a body of knowledge, and adherence to agree on standard of ethics”. Artinya, Humas /PR yang dapat dinilai sebagai suatu profesi, dalam praktiknya, merupakan seni keterampilanatau memberikan pelayanan tertentu berdasarkan kualifikasi pendidikan dan pelatihan serta memiliki pengetahuan memadai yang harus sesuai dengan standar etika profesi.

CIRI-CIRI PROFESIONAL HUMAS / PR :
§       Memiliki skill atau kemampuan, pengetahun tinggi yang tidak dimiliki oleh orang umum lainnya, baik itu diperoleh dari hasil pendidikan maupun pelatihan yang diikutinya, ditambah pengalaman selama bertahun-tahun yang telah ditempuhnya sebagai professional.
§       Memiliki kode etik yang merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis, dan normative dalam suatu bentuk aturan main dan perilaku ke dalam “kode etik”, yang merupakan standar atau komitmen moral kode perilaku (code of conduct) dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban selaku by profession dan by function yang memberikan bimbingan, arahan, serta memberikan jaminan dan pedoman bagi profesi yang bersangkutan untuk tetap taat dan mematuhi kode etik tersebut.
§       Memiliki tanggung jawab profesi (responsibility) dan integritas pribadi (integrity) yang tinggi baik terhadap dirinya sebagai penyandang profesi humas /PR, maupun terhadap public, klien, pimpinan, organisasi perusahaan, penggunaan media umum/massa hingga menjaga martabat serta nama baik bangsa dan Negaranya.
§       Memiliki jiwa  pengabdian kepada public atau masyarakat dengan penuh dedikasi profesi luhur disandangnya. Dalammengambil keputusan meletakkan kepentingan pribadinya demi masyarakat, bangsa, dan negaranya.
§       Otonomisasi organisasi professional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola (manajemen) organisasi humas mempunyai kemampuan dalam perencanaan program kerja jelas, strategis, mandiri, dan tidak tergantung pihak lain serta sekaligus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, dapat dipercaya dalam menjalankan operasional, peran, dan fungsinya.
§       Menjaga anggota salah satu organisasi profesi sebagai wadah untuk menjaga eksistensinya,mempertahankan kehormatan, dan menertibkan perilaku standar profesi sebagai tolok ukur itu agar tidak dilanggar. Selain organisasi profesi sebagai tempat berkumpul, fungsi lainnya adalah sebagai wacana komunikasi untuk saling menukar informasi, pengetahuan, dan membangun rasa solidaritas sesama rekan anggota.

Ciri-ciri khas profesi lainnya menurut pendapat Dr. James J. Spillane (Susanto, 1992: 41-48) dan artikel International Encyclopedia of education secara garis besar sebagai berikut :
a.      Suatu bidang yang terorganisasi dengan baik, berkembang maju, dan memiliki kemampan intelektualitas tinggi;
b.      Teknik dan proses intelektual;
c.      Penrapan praktis dan teknik intelektual;
d.      Melalui periode panjang menjalani pendidikan, latihan, dan sertifikasi;
e.      Menjadi anggota asosiasi atau organisasi profesi tertentu sebagai wadah komunikasi, membina hubungan baik, dan saling menukar informasi sesama anggotanya;
f.        Memperoleh pengakuan terhadap profesi yang disandangnya;
g.      Profesional memiliki perilaku yang baik dalam melaksanakan profesi dan penuh dengan tanggung jawab sesuai dengan kode etik.

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI
Seorang professional dalam melakukan tugas dan kewajibannya selalu berkaitan erat dengan kode etik profesi (code of profession) dank ode perilaku (code of conduct) sebagai standar moral, tolok ukur atau pedoman dalam melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan fungsinya dan peran dalam satu organisasi /lembaga yang diwakilinya. Disamping itu, seorang professional PR/Humas harus mampu bekerja atau bertindak melalui pertimbangan yang matang dan benar. Seorang professional dapat membedakan secara etis mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat dilakukannya sesuai dengan pedoman kode etik profesi yang disandang oleh yang bersangkutan.

Melalui pemahaman Etika Profesi tersebut, diharapkan para professional, khususnya professional Humas/PR, memiliki kualifikasi kemampuan tertentu sebagai berikut :
v  Kemampuan untuk kesadaran etis (ethical sensibility);kemampuan ini merupakan landasan kesadaran yang utama bagi seorang professional untuk lebh sensitive dalam memperhatikan kepentingan profesi, bukan untuk subjektif, tetapi ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (objektif).
v  Kemampuan berpikir secara etis (ethical reasoning); memiliki kemampuan, berwawasan dan berpikir secara etis, dan mempertimbangkan tindakan profesi atau mengambil keputusan harus berdasarkan pertmbangan rasional, objektif dan penuh integritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi.
v  Kemampuan untuk berperilaku secara etis (ethical conduct); memiliki perilaku, sikap, etika moral, dan tata karma (etiket) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain (social contact). Termasuk didalamnya memperhatikan hak-hak pihak lain dan saling menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain.
v  Kemampuan untuk kepemimpinan yang etis (ethical leadership); kemampuan atau memiliki jiwa untuk memimpin secara etis, diperlukan untuk mengayomi, membimbing, dan membina pihk lain yang dipimpinnya. Termasuk menghargai pendapat dan kritikan dari orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.

Sebagai bahan perbandingan, prinsip-prinsip dasar seorang yang berjiwa kepemimpinan (Leadership Principle) menurut ajaran tradisional “Adat Istiadat Kebudayaan Jawa”, terdiri dari tiga prinsip utama kepemimpinan, yaitu pemimpin sebagai panutan, memberikan semangat, dan memberikan dorongan, seperti yang tertera berikut ini :
v  Ing ngarso sung tulodo, pemimpin yang berada di depan menjadi panutan bagi bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya.
v  Ing madya mangun karsa, pemimpin yang berada di tengah mampu membangkitkan semangat kepada orang lain untuk bekerja, maju, berprestasi, dan berkreasi untuk mencapai tujuannya.
v  Tut wuri handayani, pemimpin yang berada di belakang harus mampu memberikan dorongan kepada orang lain untuk berani tampil dan maju ke depan dalam mencapai tujuannya.
Dalam hal ini, seorang professional, termasuk bidamg Profesi Kehumasan (Public Relations Professional), secara umum memiliki lima prinsip Etika Profesi (Keraf, 1993:49-50) sebagai berikut :
1.              Tanggung jawab
Setiap penyandang profesi tertentu harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap profesi. Hasil dan dampak yang ditimbulan memiliki dua arti sebagai berikut :
§       Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau fungsional (by function), artinya keputusan yang diambil dan hasil dari pekerjaan tersebut harus baik serta dapat dipertangungg jawabkan sesuai standar profesi, efisien, dan efektif.
§       Tanggung jawab terhadap dampak atau akibat dari tindakan dari pelaksanaan profesi (by profession) tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi, organisasi /perusahaan dan masyarakat umum lainnya, serta keputusan atau hasil pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat dan berguna bagi dirinya sendiri atau pihak lainnya. Prinsipnya, seorang profesonal harus berbuat baik (beneficence) dan tidak berbuat secara kejahatan (non maleficence).
2.           Kebebasan
Para professional memiliki kebebasan dalam menjalankan profesinya tanpa merasa takut atau ragu-ragu, tetapi tetap memiliki komitmen dan bertanggung jawab dalam batas-batas aturan main yang telah ditentukan oleh Kode Etik sebagai standar perilaku profesional.
3.           Kejujuran
Jujur dan setia erta merasa terhormat pada profesi yang disandangnya, mengakui kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Di samping itu, tidak akan melacurkan profesinya untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan demi tujuan materi semata atau kepentingan sepihak.

4.            Keadilan
Dalam menjalankan profesinya, setiap professional memiliki kewajiban dan tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak atau mengganggu milik orang lain, lembaga atau organisasi, hingga mencemarkan nama baik bangsa dan Negara. Di samping itu, harus menghargai hak-hak, menjaga kehormatan, nama baik,martabat dan milik bagi pihak lain agar tercipta saling mneghormati dan keadila secara objektif dalam kehidupan masyarakat.
5.           Otonomi
Dalam prinsip ini, seorang professional memiliki kebebasan secara otonom dalam menjalankan profsinya sesuai dengan keahlian, pengetahuan, dan kemampuannya. Organisasi dan departemen yang dipimpinnya melakukan kegiatan operasional atau kerja sama yang terbebas dari campur tangan pihak lain. Apa pun yang dilakukannya merupakan konsekuensi dari tanggung jawab profesi. Kebebasan otonom merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki setiap professional.



Dalam Kode Etik PR Internasional (IPRA) yang dikenal dengan “Kode Athena”, yaitu diterimanya di dalam Sidang Umum Asosiasi Public Relations Internasional (IPRA-International Public Realtions association),pada bulan Mei 1956, di kota Athena, Yunani dan kemudian diperbaharui di Teheran, Iran pada 17 april 1968, antara lain berisi pedoman bagi perilaku professional PR / Humas, sebagai berikut :
§       Selalu mengingatkan bahwa karena hubungan profesi dengan khalayaknya, maka tingkah lakuknya walaupun secara pribadi akan berpengaruh terhadap penghargaann pada pelaksanaan profesinya.
§       Menghormati pelaksanaan tugas profesinya, prinsip-prinsip moral, peraturn-epraturan dalam “Deklarasi hak-hak asasi manusia”.
§       Menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia dan mengakui hak-hak setiap pribadi untuk menilai.
§       Menumbuhkan komunikasi moral, psikologi, dan intelektual untuk berdialog yang terbuka dansempurna, dan mengakui hak-hak orang yang terlibat untuk menyatakan persoalannya atau menyatakan pendapatnya.
§       Profesional   selalu bertingkah laku dalam keadaan apapun sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan orang-orang yang berhubungan dengannya.
§       Bertindak dalam keadaan apa pun untuk memperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat, baik kepentingan organisasi tempat ia bekerja maupun kepentingan publik yang harus dilayani.
§       Melaksanakan tugasnya dengan bermartabat, menghindari penggunaan bahasa yang samar-samar atau dapat menimbulkan kesalah pahaman, dan tetap menjaga loyalitas pelanggannya atau perusahaan tempat ia bekerja, baik yang sekarang maupun yang telah lalu.
§       PR Profesional akan selalu menghindari hal-hal seperti:
-         Menutup-nutupi kebenaran apa pun alasannya;
-         Menyiarkan informasi dan berita yang tidak didasari fakta yang aktual, kenyataan, dan kebenaran;
-         Mengambil bagian dalam usaha yang tida etis dan tidak jujur yang akan dapat merusak martabat dan kehormatannya;
-         Menggunakan segala macam cara dan teknik yang tidak disadari serta tidak dapat dikontrol sehingga tindakan individu itu tidak lagi didasarkan pada keinginan pribadi yang bebas dan bertanggung jawab.
§       Menciptakan pola komunikasi dan saluran komunikasi yang dapat lebih mengukuhkan arus bebas informasi yang penting, sehingga setiap anggota masyarakat merasakan bahwa mereka selalu mendapatkan informasi yang dipercaya, dan juga memberikan kepadanya suatu kesadaran akan keterlibatan pribadinya serta tanggung jawab dan solidaritasnya dengan para anggota masyarakat lainnya.

PENGEMBANGAN PROFESIONALISME
Profesional adalah memiliki kemampuan teknis dan operasional yang diterapkan secara optimum dalam batas-batas etika profesi. Seorang profesional adalah A Person who doing something with great skill. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan profesionalisme selanjutnya adalah sebagai berikut :
§       Pengakuan
Perlunya memperoleh pengakuan terhadap kemampuan dan keberadaan (eksistensi) seseorang sebagai professional secara  serius dan resmi, yang telah memiliki keterampilan,keahlian,pengalaman, dan pengetahuan tinggi serta manfaatnya dalam melaksanakan suatu pekerjaan atu aktivitasnya terhadap pelayanan individu, masyarakat,lembaga/organisasi, dan Negara. Biasanya pengakuan bagi para professional tersebut berbentuk perizinan, status, penghargaan, hingga sertifikat kualifikasi akademik resmi atau formal yang dimilikinya.
§       Organisasi
Kehadiran tenaga professional tersebut sangat diperlukan, baik yang dapat memberikan manfaat, pelayanan, ide atau gagasan yang kreatif dan inovatif, maupun yang berkaitan dengan produktivitas terhadap kemajuan suatu organisasi/perusahaan. Organisasi merupakan wadah tepat untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan bagi seorang professional. Biasanya pihak organisasi akan memberikan pnghargaan (reward) terhadap pencapaian suatu prestasi dan memberikan sanksi (punishment) bila terjadi suatu pelanggaran etika profesi.
§       Kriteria
Pelaksanaan peranan, kewajiban dan tugas/pekerjaan serta kemampuan professional tersebut dituntut sesuai dengan criteria standar profesi, kualifikasi dan teknis keahlan memadai, pengalaman, dan pengetahuan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan standar-standar teknis, operasional, dank ode etik rofesi.
§       Kreatif
Seorang professional harus memilki kemampuan untuk mengembangkan ide dan gagasan yang kaya dengan buah pikiran yang cemerlang, inovatif, dan kreatif demi tercapainya kemajuan bagi dirinya, lembaga/perusahaan, produktivitas, dan memberikan manfaat serta pelayanan baik kepada masyarakat lainnya.
§       Konseptor
Seorang professional paling tidak memiliki kemampuan untuk membuat atau menciptakan konsep-konsep kerja atau manajemen humas/PR yang jelas, baik perencanaan strategis, pelaksanaan, kooedinasi, komunikasi, maupun pengevaluasian, baik dalam pencapaian rencana kerja jangka pendek maupun jangka panjang dan sekaligus menciptakan citra positif.








APLIKASI KODE ETIK PROFESI HUMAS
A.     PENGERTIAN KODE ETIK PROFESI
Bertens K. (1994) mengatakan bahwa Kode Etik Profesi merupakan norma yang telah ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi dan untuk mengarahkan atau memberikan petunjuk kepada para anggotanya, yaitu bagaimana ”seharusny” (das sollen) berbuat dan sekaligus menjamin kualitas moral profesi yang bersangkutan di mata masyarakat untuk memperoleh tanggapan yang positif. Apabila dalam pelaksanaannnya (das sein) salah satu anggota profesi tersebut telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari Kode Etiknya, kelompok profesi itu akan tercemar citra dan nama baiknya di mata  masyarakat.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari moral Etika terapan (professional ethic application) karena dihasilkan  berdasarkan penerapan dari pemikiran etis yang berkaitan dengan suatu perilaku atau aplikasi profesi tertentu yang berpedoman dengan tindakan etik, yaitu ”mana yang seharusnya dapat dilakukan dan mana yang semestinya tidak dilakukan”. Hal itu berdasarkan pertimbangan secara etika moral yang tepat sebagai seorang profesional dan sekaligus proporsional dalam melakonkan profesi terhormatnya. Pada prinsipnya, Kode Etik Profesi merupakan pedoman untuk pnegaturan dirinya sendiri (self imposed) bagi yang bersangkutan. Hal ini adalah perwujudan dari nilai etika moral yang hakiki serta tidak dapat dipaksakan dari pihak luar (Abdulkadir Muhamad, 1977:77).
Kode Etik Profesi dapat berlaku apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai luhur yang hidup dalam lingkungan profesi tersebut. Kode Etik merupakan perumusan normamoral yang menjadi tolok ukur atau acuan bagi kode etik perilaku(code of conduct) kelompok profesi bersangkutan. Kelompok profesi tersebut harus mentaati atau mematuhi, sekaligus sebagai upaya tindakan pencegahan dan merupakan sanksi hukuman atas perbuatan yang tidak Etis sebagai penyandang profesional untuk berbuat atau beritikad baik dalam melakukan kegiatannya.
Pembentukan atau perwujudan pedoman Kode Etik Profesi tersebut biasanya bersifat tertulis, tersusun secara sistematik, normatif, etis, lengkap dan mudah dimengerti tentang pedoman umum perilaku dan melaksanakan profesi, serta berisikan prinsip-prinsip dasar kode etik (basic principles code of ethics) dan etika profesi (code of profession ethic) yang telah disepakati dan dirumuskan secara bersama-sama dengan itikad baik demi tertibnya kegiatan profesional HUMAS/ PR dalam pelaksanaannya pada kehidupan masyarakat. Pada praktiknya Kode Etik dan Etika Profesi humas, baik secara das sollen maupun das sein itu berjalan secara bersamaan dan saling melengkapi dalam konteks pembahasan teori (konsep) nilai-nilai moral dan penerapannya di lapangan praktisi kehumasan.
Scott M.  Cultip, Allen H. Cemter, and Glen M. Broom, dalam bukunya ”Effective Public Relations”, 8-th Edition (2000 : 144),menjelaskan bahwa Etika Profesional (Professional Ethics) adalah ”Right conduct suggest that actions are consistent with moral values generally accepted as norms in a society or culture. In profession, the application of moral values in practice is reffered to as “applied ethics”. Establish profession translate widely shares ideas of right conduct into formal codes of ethics and professional conduct”,
Arti secara umum tentang “Etika Profesi” menurut Cultip, Center, dan Broom tersebut di atas adalah perilaku yang dianjurkan secara tepat dalam bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang pada umumnya dapat diterima oleh masyarakat atau kebuadayaan. Menurut professional aplikasi nilai-nilai moral dalam praktiknya mengacu pada etika pelaksanaanya. Membangun etika perilaku profesi tersebut idealnya sesuai dengan kode etik yang formal dan diakui secara professional, yang berdasarkan cara pelaksanaannya (how to law enforcement) dan penerapan sanskinya (what is sanctions) jika terjadi pelanggaran dalam prakteknya.
Jadi, pengertian Kode Etik menurut para pakar Etika Moral Profesional tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang menjadi norma perilaku. Sedangkan arti Kode Etik Profesi adalah kode perilaku yang ditetapkan dan dapat diterima oleh kelompok profesi yang menjadi pedoman ”bagaimana seharusnya (das sollen) berperilaku dalam menjalankan (das sein) profesi tersebut secara etis” (A. Muhammad, 1997 : 143).

B.    KODE ETIK PROFESI HUMAS
Howard Stephenson dalam bukunya ”Hand Book of Public Relations (1971) mengatakan bahwa definisi Profesi Humas/PR adalah ”The practice of skilled art or service based on training, a body of knowledge, adherence to agree on standard of ethics”. Artinya; kegiatan Humas / PR merupakan profesi secara praktis memiliki seni keterampilan atau pelayanan yang berlandaskan latihan,  dan pengetahuan serta diakui sesuai dengan standar etiknya.
Setiap penyandang profesi tertentu harus dan bahkan mutlak mempunyai kode etik sebagai acuan bagi perilaku dalam pelaksanaan peran (role) dan fungsi (function) profesinya masing-masing kode etik bersifat mengikat, baik secara normative dan etis, maupun sebagai tanggung jawab dan kewajiban moral bagi para anggota profesi bersangkutan dalam menjalankan aktivitas kehidupannya di masyarakat
Pemahaman tentang pengertian Kode Etik, Etik Profesi dan etika Kehumasan serta aspek-aspek hokum dalam aktivitas komunikasi penting bagi praktisi atau professional Humas/PR dalam melaksanakan peran dan fungsinya untuk menciptakan citra baik bagi dirinya (good performance image) sebagai penyandang professional Humas/PR dan citra baik bagi suatu lembaga atau organisasi (good corporate image) yang diwakilinya.
Menurut G. Sachs dalam bukunya “The Extent and intention of PR and Information Activities” terdapat tiga konsep penting dalam Etika Kehumasan sebagai berikut :
§       The Image, the knowledge us and attitudes toward us the our different interest groups have (Citra adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap kita terhadap kiat yang mempunyai kelompok-kelompok dalam kepentingan yang saling berbeda).
§       The profile, the knowledge about an attitude toward, we want out various interest group to have (Penampilan merupakan pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap yang kita inginkan untuk dimiliki kelompok kepentingan kita beragam).
§       The ethics is branch of philosophy, it is a moral philosophy or philosophical thinking about morality. Often used as equivalent to right or good (Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat moral atau pemikiran filosofis tentang moralitas, biasanya selalu berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu pengertian secara umum bahwa Citra adalah cara masyarakat memberikan kesan baik atau buruk terhadap diri kita. Penampilan selalu berorientasi ke depan mengenai bagaimana sebenarnya harapan tentang keadaan diri kita, sedangkan bahasan etika merupakan acuan bagi Kode Perilaku Moral yang baik dan tepat dalam menjalankan profesi kehumasan.





KODE ETIK PROFESI PUBLIC RELATIONS SOCIETY OF AMERICA (PRSA)
Sebagai studi perbandingan yang berkaitan dengan Kode Etik PR/Humas dana tata krama professional yang ditetapkan untuk kalangan praktisi PR/Humas secara Internasional, misalnya para anggota PRSA (Public Relations Society of Amerika),melalui Deklarasi Prinsip-prinsip (Declaration of Principles) dari “Code of Professional Standards”, disebutkan bahwa ewajiban para anggota PRSA adalah berdedikasi professional secara fundamental untuk menghasilkan pengeertian bersama dan kerja sama antara individu, kelompok dan lembaga/organisasi serta unsure lainnya.
Organisasi PR/Humas PRSA yang didirikan 4 Pebruari 1946 ini merupakan organisasi tertua dan terbesar di Amerika Serikat. Anggota yang  dimiliki sedikitnya 20.000 orang dan bermarkas di New York City. Sebelumnya organisasi PRSA ini merupakan hasil merger dari beberapa organisasi PR di Amerika, yaitu NAPRC (National Association of PR Counsel) yang berdiri sejak tahun 1936 di New York City, ACPR (the American Council on Public Relations) yang berdiri sejak tahun 1939 di San Fransisco, serta organisasi APRA (American PR Association) yang berdiri sejak tahun 1944 bermarkas di Washington DC.
Para anggota PRSA tersebut harus menjamin untuk melaksanakan Etika Profesi PR sebagai berikut :
1.        Memimpin dirinya sendiri, baik secara bebas maupun secara professional dalam menyesuaikan diri dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2.     Menjadi pembimbing bagi seluruh aktivitas anggotanya dengan norma persetujuan umum,kebenaran, kebersamaan, ketelitian,perjanjian yang semestinya dan keterbukaan serta cita rasa yang baik.
3.     Mendukung rencana kerja untuk mengembangkan keahlian professional, perencanaan pendidikan, dan pelatihan dalam praktik-praktik kehumasan.
Kemudian, berkaitan dengan “Code of Professional Standards”, anggota PRSA berkewajiban untuk :
1.        Meningkatkan dan memelihara norma yang luhur dalam memberikan pelayanan social kemasyarakatan;
2.     Meningkatkan dan memelihara sikap yang beritikad baik sesame para anggota;
3.     PR/Humas harus dihargai sebagai profesi yang terhormat di dalam kehidupan masyarakat;
4.      Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan kepercayan dan integritas profesionalnya

Kode Standar Profesi PRSA tersebut secara garis besar memuat ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya merupakan kewajiban Profesi Kehmasan bagi anggota PRSA, yaitu sebagai berikut :
1.        Landasan atau sikap PR/Humas anggota PRSA;
a.      Keahlian (skill);
b.      Pelayanan social;
c.      Penyesuaian diri dengan kepentingan masyarakat;
d.      Keujuran, kebenaran, ketelitian, dan cita rasa yang tinggi;
e.      Tidak menempatkan diri dalam suatu konflik yang terjadi, dalam arti tidak bersikap memihak kepada kepentingan sepihak tertentu;
f.        Menjaga nama baik dan kepercayaan masyarakat;
g.      Menjaga itegritas saluran komunikasi umum dan media massa;
h.      Tidak boleh memutar-balikan fakta dan  pendapat atau mengeluarkan informasi yang dapat menyesatkan masyarakat;
i.        Tidak boleh mengadu-dombakan kelompok masyarakat tertentu dengan pihak yang lainnya sehingga menimbulkan perpecahan dan keresahan dalam masyarakat;
j.        Tidak boleh menggunakan metode untuk melecehkan atau menghina kelompok, etnis, dan suku serta agam tertentu;
k.      Tidak boleh meminta bayaran dan komisi tertentu dalam memberikan pelayanan kemasyarakatan serta kegiatan sosialnta;
l.        Tidak boleh membiarkan pelanggaran terhadap ketentuan atau peraturan yang telah disepakati bersama oeh para anggota mana pun;
m.   Harus saling kerja sama dengan para anggota lainnya secara bersama mentaati ketentuan atau kemitmen bersama.

2.     Kualifikasi Profesi PR/Humas;
Charles W. Pine mengemukakan persyaratan atau kualifikasi tertentu bagi Professional Humas/PR (The personal qualification of Public Relations person). Berikut ini diuraikan kualifikasinya :
a.      Mampu mengekspresikan pendiriannya dan mengetaui kapan harus mendengar;
b.      Menjadi pengamat yang baik, mampu mempelajari keadaan, situasi, kondisi tertentu, serta memiliki daya ingatan yang baik, sistematis dan kritis;
c.      Penilaian baik untuk menghargai martabat manusia dan mengakui hak-hak setiap pribadi;
d.      Mempunyai keberanian, integritas pribadi yang tinggi, dan mampu berpikir secara konseptual dan sistematis;
e.      Kedisiplinan kerja serta melaksanakan tugas secara terperinci, kinerja, semangat, dan etos kerja tinggi;
f.        Kemampuan intelektualitas yang dinamis, kualitas pertimbangan pemikiran yang baik, dan memiliki jiwa kepemimpinan;
g.      Kaya akan gagasan/ide yang baru, kreatif dan inovatif;
h.      Mampu berpikir rasional, efektif dan efisien dalam keadaan darurat (kritis) dan dapat mengambil keputusan yang cepat,profesional, sekaligus proporsioal;
i.        Mampu mengintepretasikan berbagai informasi secara sistematis, menemukan dan mengidentifikasi fakta yang ada, serta solusi pemecahan masalah yang tepat;
j.        Sebagai seorang profesional harus mampu memahami ilmu psikologi, filsafat, kebudayaan, sosial, politik, hukum dan ekonomi dalam menghadapi atau mengantisipasi suatu kejadian yang sedang berkembang di masa mendatang;
k.      Dapat mengorganisasi dirinya sendiri dan pihak lainnya;
l.        Tidak senantiasa setuju atau mendukung pimpinan dan harus memiliki keberanian untuk mengajukan keberatan atas keinginan pimpinan bila hasilnya tidak mendukung;
m.   Memiliki penyusunan prioritas utama strategi perencanaan dan program kerja, memperbaiki dan saling melengkapi prioritas lainnya yang dianggap perlu sebagai pendukungnya;
n.      Menyadari bahwa dirinya adalah seorang guru dan bukan seorang pelopor di bidangnya (recognize a PR person is teacher, and it is not a crusader).

3.     Faktor Mempengaruhi Perilaku PR/Humas
Hal tersebut dapat dilihat jika seseorang menghadapi problem atau masalah yang cukup berat, apakah yang bersangkutan berperilaku dewasa, sabar dan tabah, berpikir tenang serta mampu mencari jalan keluarnya dengan baik, atau sebaliknya daya juangnya lemah, panik, kalang-kabut dan selalu berpikir kerdil serta tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan suatu persoalan yang dihadapinya dengan baik. Mitos yang dipercaya bahwa kesuksesan tersebut bukan hanya dilihat dari segi keberhasilan dalam mencapai sesuatu, tetapi keberhasilan dalam mengatasi suatu kegagalan atau persoalan itu pun termasukkategori yang sukses. Mengapa sampai terjadi perilaku yang saling berbeda antara seseorang dengan yang lainnya dalam menghadapi suatu ujian persoalan atau problem yang berat?
Secara garis besar perwujudan perilaku seseorang dalam menghadapi persoalan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor (Djamaludin Ancok & Tim, 1992: 98-99) yang dapat dilihat dari rumus berikut ini :


Text Box: P = f (O+L)
 


Artinya :
P = Perilaku
f = fungsi
O = hal yang berkaitan dengan faktor internal
L = hal yang berkaitan dengan faktor eksternal lingkungan
Secara analisi, bahwa rumus perilaku di atas adalah penyebab terjadinya berbagai macam perilaku (P) tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga alasan, yaitu penyebab berasal dari dalam diri (faktor internal atau O), penyebab lain yang berasal dari lingkungan luar (faktor L), serta penyebab akibat interaksi faktor O dan L yang dapat mempengaruhi perilaku atau sikap seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan penyebab terjadinya perilaku yang berkaitan dengan faktor diri individu (O) terkait dengan sifat-sifat kepribadian, sistem nilai yang dianut, motivasi, serta sikap yang bereaksi terhadap sesuatu yang ada di sekitar yang mempengaruhi perilaku seseorang. Kemudian, faktor eksternal (L) adalah faktor di luar diri seseorang yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang, faktor eksternal dipengaruhi oleh sistem nilai yang hidup di masyarakat, pandangan hidup, kondisi lingkungan alam, dan kondisi sosial, budaya, politik, serta ekonomi.
Pengertian sikap merupakan suatu kondisi diri seseorang yang mempengaruhi perilakunya. Para pakar mendefinisikan sikap tersebut, alah satu diungkapkan oleh ”Eagly dan Himmerfalb (1978)” sebagai berikut :
”Relatively lasting clusters of feeling, beliefs, and behaviour tendencies directed toward specific persons, ideas, objects or groups”. (Artinya; sikap tersebut berkaitan dengan sekumpulan perasaan, keyakinan, dan kecenderungan yang secara realtif berlangsung lama terhadap seseorang, gagasan, tujuannya atau kelompok tertentu).
Jadi, dari pengertian sikap tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan adanya unsure-unsur; aspek kognitif, aspek afektif, aspek behaviour, dan aspek yang berkaitan dengan pembentukkan perilaku atau sikap profesi Humas/PR yang mendapat penilaian baik atau buruk.

KODE ETIK HUMAS/PR REGIONAL ASEAN (FAPRO)
Federation of ASEAN Public Relations Organizations (FAPRO), merupakan asosiasi PR/Humas Regional yang didirikan organisasi kehumasan Negara-negara ASEAN,misalnya;Malaysia, Singapore, Indonesia, Thailand, dan Brunei Darussalam pada tahun 1971 di Kuala Lumpur. Perhuas (Perhimpun Humas) Indonesia termasuk salah satu anggotanya, sekaligus sebagai pendirinya. Dalam Sidang Umumnya di Manila pada tanggal 27 Maret 1978, FAPRO mengesahkan suatu Pedoman Kode Etik, yaitu; “Kode Etik Profesional dan Etik” (Code of Professional Practice and Ethics) yang terdiri dari Mukadimah dan enam pasal pokok, sebagai berikut :
PREAMBUL
Preambul Kode Etik ini menyatakan keinginan untuk memajukan praktik PR yang sehat dan bertanggung jawab guna memelihara sarana yang dinamis bagi penyebaran kebenaran untuk kemajuan, kemamkmuran, keadilan social, dan perdamaian di kawasan ASEAN, sesuai  dengan prinsip-prinsip Deklarasi ASEAN, maka dirumuskan Kode Etik dan Etik bagi para praktisi Public Relation ASEAN.


1.        Tujuan
Para praktisi PR ASEAN akan taat pada tujuan-tujuan yang tercantum dalam Konstitusi FAPRO.
2.     Integritas Pribadi dan Profesi
Sebagai anggota FAPRO :
a.      Akan memelihara nilai-nilai moral yang tinggi dan reputasi yang sehat dari profesi yang bertanggung jawab dan akan menaati Konstitusi dan Peraturan FAPRO;
b.      Akan memainkan peranan yang luas untuk meningkatkan ASEAN karena kita berhubungan dengan khalayak yang luas;
c.      Akan memupuk hubungan antar-manusia guna memperkokoh kerja sama ASEAN bagi kemajuan dan kesejahteraan;
d.      Akan memainkan peranan yang luas agar rakyat menerima relevansi ASEAN bagi masa depan mereka;
e.      Akan berusaha bagi realisasi lebih ekstensif oleh public terhadap nilai ASEAN sebagai jembatan egiatan komersial dan masyarakatnya;
f.        Akan menyebarluaskan pandangan ASEAN untuk memanfaatkan kesempatan yang meluas di seluruh kawasan, bahwa ASEAN telah terbuka bagi klien atau organisasi.
3.     Perilaku Terhadap Klien dan Majikan :
Sebagai seorang warga negara anggota ASEAN yang bebas dan bertanggung jawab, seorang anggota FAPRO mempunyai tugas umum bersikap adil terhadap klien dan majikan.
a.      Seorang anggota tidak akan mewakili kepentingan-kepentinan yang bertentangan atau bersaing tanpa adanya persetujuan dari mereka yang terlibat;
b.      Seorang anggota akan memelihara kepercayaan, baik dari klien maupun majikan  yang sekarang dan yang terdahulu;
c.      Seorang anggota tidak akan menggunakan cara-cara yang merugikan rekan anggota, klien dan majikan;
d.      Dalam memberikan pelayanan jasa bagi klien atau majikan, seorang anggota tidak akan menerima upah, komisi, atau pembayaran lainnya setelah mengungkapkan fakta-fakta, kecuali dari klien dan majikan yang dimaksud;
e.      Seorang anggota tidak akan mengusulkan pada calon klien atau majikan agar upah atau pembayaran lainnya dikontigensikan atas sesuatu hasil yang diperoleh dan tidak akan menandatangani sesuatu perjanjian mengenai hal ini.


4.      Perilaku Terhadap Publik dan Media
Seorang anggota FAPRO:
a.      Akan melakukan kegiatan profesinya untuk kepentingan publik dan untuk martabat seorang individu sebagai warga negara ASEAN;
b.      Tidak akan melakukan praktik-praktik yang mencemarkan integritas saluran-saluran komunikasi dan akan bekerja sesuai dengan kebijakan ASEAN;
c.      Tidak akan menyebarluaskan informasi palsu dan menyesatkan yang akan merusak profesi;
d.      Setiap saat akanmenjadi wakil setia dari organisasinya;
e.      Akan membantu menyebarluaskan informasi bagi kepentingan ASEAN.

5.     Perilaku Terhadap Rekan Seprofesi
Seorang anggota FAPRO:
a.      Tidak akan mencemarkan reputasi profesional atau praktik dari seorang rekan anggota dengan sengaja. Namun, apabila seoarng anggota mempunyai pembuktian bahwa seorang rekan anggota bersalah melakukan praktik-praktik tidak etis, tidak sah, atau tidak jujur, termasuk pelanggaran terhadap kode etik ini, dia harus menyampaikan informasi kepada Dewan FAPRO;
b.      Tidak akan berusaha mendesak seorang rekan anggota terhadap klien atau majikannya;
c.      Akan bekerja sama dengan rekan-rekan aggota di seluruh kawasan ASEAN untuk menegakkan dan melaksanakan Kode Etik.

6.     Hubungan Dengan ASEAN
Organisasi-organisasi anggota FAPRO:
a.      Harus menaati tujuan-tujuan ASEAN yang tercantum di dalam Deklarasi ASEAN dan persetujuan ASEAN;
b.      Akan berusaha bekerja sama dengan Komisi Kebudayaan dan Informasi ASEAN guna meningkatkan kemajuan dan usaha-usaha memasyarakatkan ASEAN






ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Indonesia yang kini sedang dilanda krisis multidimensional yang berkepanjangan dengan posisi, apakah siap atau tidak memasuki dunia maya atau sering disebut disebut cyberworld dan cyberspace, sebagai akibat kemajuan teknologi informasi camggih (information superhighway) yang merupakan bagian dari sistem komunikasi dan informasi global di abad 21 dalam Millenium III ini tengah menyaksikan suatu fenomena kian meluasnya pengaruh globalisasi di berbagai sektor kehiadupan manusia bi muka bumi. Bahkan seolah-olah sudah tidak ada lagi batasan negara (borderless state) yang sanggup untuk menghindari pengaruh globalisasi yang sudah menjadi kampung global (global village) dengan segala aktivitas dan isinya yang telah menjadi fenomena kesejagatan (globality).
Sekarang ini permasalahan media massa atau media pers bukan lagi sekadar masalah peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu etika yang ada (A. Muis, 2001 : 40-41), tetapi berkaitan dengan masalah terpenting yaitu; keberadaan cyberspace dengan globalisasi informasi dan komunikasi sistem terbuka yang tidak lagi memperhatikan batas-batas kekuasaan atau kedaulatan masing-masing negara. Artinya; undang-undang yang dibuat untuk menetralisasi atau membendung pengaruh globalisasi sudah tidak lagi banyak berfungsi, apalagi suatu negara yang belum mempunyai undang-undang cyberlaw (UU Internet),paling tidak memiliki fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering” dan kemampuan menciptakan teknologi baru (preventif) untuk mengurangi dampak negatif dari kekuatan daya tembus siaran cyberspace tersebut. Permasalahannya, sumber berita (komunikator) yang mengirim pesan/ informasi atau berita melalui internet (cyberspace) dari negara lain sulit dilacak oleh negara penerimanya.
Beberapa tahun lalu Malaysia telah memiliki cyberlaw untuk mencegah “berita sampah” yang berasal dari internet, namun tetap tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias sebagai macan kertas ompong karena tidak diikuti kemajuan teknologi melacak sumber berita melalui cybercommunication untuk menindaknya. Baru negara AS yang memiliki cyberlaw dan memilki kemampuan tekologi untuk keberadaan sumber informasi web-sites (situs internet) anonim (tanpa identitas) dengan mengirim agen FBI. AS juga mampu menindak dan menangkap pelaku kasus “si penyebar virus” komputer yang berasal dari Manila dan Australia pada awal 2000 lalu.
Khususya negara Indonesia yang hanya mengandalkan UU Hukum Pidana, Perdata, Pers, dan UU Konsumen, serta peraturan lain yang kini belum memiliki cyberlaw (UU Internet) akan sulit membendung atau memeberikan sanski pelanggaran di bidang hukum komunikasi. Lain halnya semasa pemerintahan orde baru, pengendalian terhadap fungsi informasi, kontrol sosial, dan pengawasan kegiatan media massa atau media pers lebih banyak menggunakan pendekatan kekuatan politik (kekuasaan),otokratik dan represif dari pada pelaksanaan melalui kekuatan hukum (supreasi hukum).
Pada era pemerintahan reformasi yang demokratik dan menganut sistem politik terbuka Indonesia berhadapan dengan “kebebasan pers” dan konsistensi pelaksanaan HAM sesuai dengan UU No. 40/1999 tentang Pers, tambahan Pasal 28 F UUD 1945 dan seirama dengan pasal 21, Tap XVII/MPR/1999 yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Rumusan tersebut menurut A. Muis (2000 : 30) senada dengan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (hak asasi manusia) tentang Freedom of Information (FOI), yaitu Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, recieve and impart information and ideas through any media and regardless frontiers.
Kebebasan memperoleh informasi dan system komunikasi Indonesia sekarang lebih bersfat Universal dan terbuka. Artinya, pemerintah memberikan hak-hak perlindungan bagi penerbitan media pers dan wartawan tertentu dalam menyalurkan informasi atau berita untuk memenuhi “public’s right to know” (hak public untuk mengatahui). Akan tetapi sebaliknya, di era keterbukaan ini banyak pejabat instansi pemerintah atau para eksekutif pihak swasta masih belum siap, dan bahkan melakukan kebijakan menutup akses masyarakat (to kill the information) untuk memperoleh informasi yang dibutuhkannya.
Ketahuan “ketertutupan informasi” tersebut oleh masyarakat secara luas bila terjadi suatu pelanggaran yang mencuat ke permukaan, kemudiandiliput oleh media pers. Hal ini banyak terjadi di bidang eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti kasus-kasus yang ter-ekspose di berbagai media massa. Misalnya; terjadinya pencemaran lingkungan alam sebagai dampak pembuangan limbah tailingnya oeh PT. Freeport Indonesia di Irian Jaya serta PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang diduga telh merusak kawasan danau Toba Samosir. Alasan selama ini adalah untuk menutupi saluran informasi tentang industri yang memiliki resiko dapat merusak lingkungan alam yang cukup parah dan telah merugikan kehidupan masyarakat sekitarnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Walaupun kini pers  ansional memiliki kebebasan pers (pers liberal) yang lebih besar jika dibandingkan masa sebelumnya, namun tetap mengacu pers bebas yang bertanggung jawab, bukannya menjadi pers yang sangat bebas tetapi “pers kebablasan”. Kebablasan tersebut dapat diberi makna telah melampaui batas kebebasan berkomunikasi dan informasi (berita) wajar dan santun yang mengacu pada nilai budaya komunikasi sesuai dengan Kode Etik, Etika Profesi dan aspek hokum komunikasi yang ada. Seperti diketahui bahwa Kode Etik jurnalistik (KEJ) pada dasarnya menguraikan hal-hal yang menyangkut profesi kewartawanan berikut ini :
§       Kepribadian wartawan Indonesia;
§       Pertanggung jawaban;
§       Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat;
§       Hak jawab dan hak sangkal;
§       Sumber berita;
§       Kekuatan kode etik.
Dalam kode etik wartawan tersebut, hal-hal yang bersifat murni adalah kode etik normative yang secara spesifik menyebutkan masalah pertanggung jawaban yang mengandung atau dapat dikaitkan dengan persoalan hokum. Dengan demikian, terdapat pertimbangan patut dan tidak patut untuk memberitakan hal-hal yang menyinggung perasaan kesusilaan, SARA (suku, agama dan ras),mengenai kehormatan nama, atau martabat seseorang.
Oleh karena itu, ketentuan pidana (produk legislative) merupakan pembatasan yang sah terhadap kebebasan pers dan bersifat liminatif. Selain itu, ketentuan pidana ditujukan terhadap mereka yang telah menyalahgunakan kebebasan (abuse of liberty). Dalam perundang-undangan pers nasional atau ketentuan Internasional mengenai batas-batas yang liminatif, terdapat kegiatan pembeitaan pers sebagai berikut :
a.      Penghinaan dalam legislative, yaitu penghinaan biasa dan penghinaan ringan, baik secara material dan formal;
b.      Berita hasutan dan kebohongan;
c.      Blasphemy, yaitu penghinaan terhadap nilai agama;
d.      Pornografi (dalam bentuk tulisan, gambar dan lisan);
e.      Keamanan nasional dan ketertiban umum (National Security and Public Order);
f.        Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan (Impede the Fair Administration of justice);
g.      Pernyataan terhadap seseorang atau telah memvonis seseorang bersalah atau yang menjadi urusan pengadilan (trial by the press);
h.      Penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan atau jalannya suatu proses sidang peradilan (comtempt of court).

FALSAFAH HUKUM DAN ETIK
Pakar hukum pers, Prof. Oemar Seno Adji (1991 : 20) dalam bukunya Etika Profesional Hukum mengatakan bahwa menelaah hubungan antara kode Etik dan hokum didasarkan pada latar belakang berbagai aliran, yaitu :
a.      Aliran naturrecht secara tegas tidak mengenal pemisahan antara etik dan hokum. Artinya, dalam prinsip aliran ini, norma-norma etik dan pelaksanaan dalam konsep hukum yang diberlakukan adalah secara tidak terpisah-pisah. Dapat saja terjadi, suatu pelanggaran norma etik akan sama dengan pelanggaran hukum yang berlaku.
b.      Aliran positivisme mengakui adanya pemisahan antara hukum dan etik. Aliran ini lebih mengonsentrasikan perhatian isi dan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif dalam pengembangan di bidang hukum konkret yang dibedakan dengan pelaksanaan di bidang Kode Etik untuk kalangan profesional yang telah memiliki kode etik bersifat normatif atau formatif yang telah disepakati bersama. Pengecualiannya ialah hal-hal pelanggaran yang sudah masuk ke kawasan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku (pidana atau perdata).
c.      Aliran samenval mengganggap adanya titik pertemuan dalam Kode etik Profesional dengan bidang hukum tertentu, yaitu adanya kesamaan (samenval). Artinya, diakui adanya aspek-aspek yuridis dalam persoalan etik dan sanski hukum, misalnya; dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode etik periklanan dan Kode Etik Kehumasan, yaitu berawal dari suatu “pelecehan” (gambar karikatur atau gurauan dan humor bermasalah) yang kemudian dapat meningkat menjadi unsur penghinaan yang menyebabkan timbul Delik Pidana, baik berbentuk penghinaan melalui tulisan, visual (gambar), atau secara lisan terhadap nama kohormatan dan martabat seseorang atau lembaga tertentu, termasuk mengenai masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dan sebagainya.
Selain hal tersebut, pelanggaran Kode Etik Profesi akan langsung dikaitkan dengan hukum yang berlaku sebagai akibat suatu pelanggaran atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), menurut Pasal 1365 KUH Perdata, atau delik Pidana dalam Pasal 310 da 311, yaitu masing-masing pelanggaran kehormatan dan menfitnah pihak lain, baik melalui lisan (the law of slander) atau berbentuk tulisan dan gambar (the of libel).

HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Seperti dijelasnkan sebelumnya, Kode Etik Profesi Kehumasan yang berkaitan dengan normatif etik pada prinsipnya mengandung ketentuan bersifat mengikat, yaitu:
a.      Kewajiban pada dirinya sendiri, menjaga kehormatan diri, disiplin dan etos kerja serta bertanggung jawab;
b.      Kewajiban-kewajiban kepada media massa atau publiknya untuk tidak merusak kepercayaan saluran informasi umum demi kepentingan publik;
c.      Kewajiban terhadap klien yang dilayani dan atasannya, menjaga kepercayaan dan kerahasiaan;
d.      Ketentuan perilaku terhadap rekan seprofesi, bekerja sama dalam menegakkan Kode Etik dan Etika Profesi Humas/PR.
Oleh karena itu, Kode Etik Profesi Kehumasan tersebut merupakan “self imposed regulation” dan normatif Etik menjalankan fungsinya yang memilki kekuatan (power) untuk mempengaruhi atau kemampuan merekayasa  (social engineering) opini publik secara simultan (simultaneity effect) melalui kerja sama dengan pihak media massa seperti yang dikehendakinya, apakah untuk tujuan baik atau sebaliknya untuk kepntingan sepihak yang tidak dapat dipertanggung jawaban. Dalam hal ini, agar tujuan Humas/PR melakukan kampanye, promosi, dan publikasi tersebut menguntungkan (benefit) semua pihak, maka diperlukan suatu “aturan main” sebagai rambu-rambu atau pedomannya baik Kode Etik, etika Profesi, maupun aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan Kehumasan yang profesional dan dapat dipertanggaung jawaban.
Menurut “Scott M. Cultip and Allen H. Center (1982 : 282-283), aspek-aspek hokum komunikasi dalam kegiatan PR/Humas terkait erat dengan masalah fitnah (libel) dalam bentuk pernyataan lisan dan tertulis atau tercetak sebagai pelanggaran hak-hak kehormatan dan martabat pribadi sehingga individual, kelompok, serta nama baik dan citra perusahaan untuk keperluan pembuatan Press Release, News Letters, Corporate Publiction, Company Profile, Annual Report, Internal Magazine, dan PR Statement.
Aspek-aspek hukum komunikasi dalam kegiatan kehumasan, baik dilihat dari hukum Internasional seperti; “Anglo Saxon System”maupun Eropa Kontinental terkait dengan dua implikasi hukum penghinaan (Defamation) sebagai berikut :
§       The Law of Libel, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehan yang bersifat tertulis/tercetak (written defamation). Artinya, penghinaan bernbentuk “slip of pens” melakukan fitnah atau kebohongan dengan menggunakan media cetak, gambar dan bentuk tulisan (drukpers misdrijven) yang disebarluaskan publik.
§       The Law of slander, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehan yang bersifat lisan, ucapan, atau pernyataan (defamatory statements). Pelanggaran ini merupakan “slip of tongue” yang terjadi secara lisan atau ucapan yang melecehkan, menghina, mengumpat, atau mencaci maki orang lain di muka umum (Ruslan, 1955 : 111).
Hal tersebut dapat terjadi misalnya seseorang atau pejabat PR/Humas (PR Officer) kadang-kadang tidak senagaj melemparkan suatu “joke” atau ingin bersenda gurau di hadapan khalayaknya agar suasana menjadi akrab dan tidak kaku. Akan tetapi, tanpa disadari “lelucon” tersebut tidak lagi lucu bahkan cencderung melecehkan seseorang. Misalnya; tentang cacat tubuhnya, etnik atau suku, bahkan menyinggung nilai kesucian suatu agama yang dijadikan objek leluconnya sehingga ada pihak lain tidak menerimanya. Persoalan sepele dapat menjadi “lelucon bermasalah” yang dapat dikategorikan untur penghinaan (delik pidana).
Pelanggaran delik pidana dalam kegiatan komunikasi Humas/PR tersebut lebih delik pengaduan (klacht delict) daripada delik biasa. Artinya, kalau terjadi pelanggaran harus ada yang merasa dirugikan atau dilecehkan nama baik dan kehormatan pribadinya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , kejahatan terhadap kehormatan diatur dalam Titel XVI, Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Maksud kejahatan di sini menurut istilah hukum AS adalah “defamation dan belediging” (hukum Belanda) yang artinya penghinaan terhadap kehormatan (misdrijven tegen de eer) atas seseorang atau suatu lembaga.
Lalu orang barunya, apa itu kehormatan? Prof. Satochid Kartanegara, SH, dalam bahan Kuliah Hukum Pidana menafsirkan bahwa kehormatan adalah sesuatu yang disandarkan atas harga diri atau martabat manusia yang bersandar pada tata susila karena kehormatan merupakan nilai susila manusia.
Penghinaan itu dapat terjadi terhadap orang yang telah meninggal dunia, seprti; seorang artis sinetron, film, atau bintang iklan. Apabila ”tokohnya” telah meninggal dunia, penayangan iklannya di berbagai media cetak dan TV atau radio harus segera dihentikan walaupun kontrak penayangan masih berlangsung. Sedangkan film atau sinetronnya boleh ditayangkan. Karena penayangan iklan tersebut mengandung unsur ”eksploitasi komersial” dan menjadi kurang etis terhadap produk yang diiklankannya, maka kalau tidak dihentikan akan terjadi pelanggaran kehormatan nama baik atasbidang atau tokoh yang telah meninggal dunia tersebut.
Menurut Sistem KUH Pidana, terdapat empat klasifikasi jenis kejahatan yang ditujukan terhadap kehormatan dalam bentuk murni, yaitu:
§       Menghina secara lisan (smaad);
§       Menghina secara tertulis (smaad schrift);
§       Menfitnah (laster);
§       Mengina secara ringan (eenvoudige belediging).
Jadi, ditinjau dari Pasal 310 KUH Pidana tersebut, maka dapat dirumuskan antara lain; menista (smaad) atau menghina secara lisan (slander), dan menista (smaadschrift) atau menghina orang dengan surat, berita atau barang cetakan (libel).
Perbuatan yang dilarang pada dasarnya adalah “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”(Satochid; 599). Kata “sengaja” artinya mengeluarkan kata-kata dengansengaja untuk pelanggaran terhadap sutu kehormatan dan nama baik seseorang atau suatu lembaga. Sedangkan “nama baik” (goede naam) berarti kehormatan yang diberikan kepada seseorang oleh masyarakat berhubungan dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Dengan perkataan lain, yang bersangkutan adalah orang yang terpandang di mata masyarakat karena jabatan, status dan ketokohan yang dimilikinya.
Setelah diterangkan di atas tentang pelanggaran atas kehormatan dan nama baik seseorang, maka perumusan delik Pasal 319, KUHP memiliki unsur-unsur  sebagai berikut :
§       Terdapat perbuatan dengan sengaja (opzet);
§       Menyerang atau melanggar kehormatan nama baik orang lain;
§       Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu dan sepihak;
§       Mempunyai maksud diketahui oleh umum (publik).

Penghinaan secara tertulis atau tercetak dalam bentuk gambar yang disebarluaskan kepada umum dapat melalui cara :
§       Menyebar atau menyiarkan dalam jumlah besar;
§       Menunjukkan (ten toon stellen) tidak dalam jumlah besar;
§       Menempelkan di berbagai tempat keramaian.











Lampiran 1
KODE ETIK PERHUMASAN INDONESIA
(Disahkan dalam Konvensi nasional Humas 1993, di Bandung)

Dijiwai oleh Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan tata kehidupan nasional. Diilhami oleh Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai landasan tata kehidupan Internasional. Dilandasi oleh Deklarasi ASEAN (8 Agustus 1967) sebagai pemersatu bangsa-bangsa Asia Tenggara. Dan dipedomani oleh cita-cita, keinginan, dan tekad untuk mengamalkan sikap dan perilaku kehumasan secara profesional.
Kami para anggota Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) sepakat untuk mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia, dan bila terdapat bukti-bukti bahwa di antara kami dalam menjalankan profesi kehumasan ternyata ada yang melanggarnya, maka hal itu sudah tentu mengakibatkan diberlakukannya tindak organisasi terhadap pelanggarnya.





Pasal I
Komitmen Pribadi
Anggota PERHUMAS harus :
b.            Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan.
c.            Berperan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya memasyarakatkan kepentingan Indonesia.
d.            Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antara warga Negara Indonesia yang serasi dan selaras demi terwujudnya persatuan bangsa.

Pasal II
Perilaku Terhadap Klien atau atasan
a.          Berlaku jujur dalam hubungan dengan klien atau atasan.
b.          Tidak mewakili dua atau beberapa kepentingan yang berbeda atau yang bersaingan tanpa persetujuan semua pihak yang terkait.
c.          Menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan, maupun yang pernah diberikan oleh mantan klien atau mantan atasan.
d.          Tidak melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendahkan martabat, klien atau atasan, maupun mantan klien atau mantan atasan.
e.          Dalam memeberikan jasa-jasa kepada klien atau atasan, tidak akan menerima pembayaran, komisi, atau imbalan dari pihak mana pun selain dari klien atau atasannya yang telah memperoleh penjelasan lengkap.
f.            Tidak akan menyarankan kepada calon klien atau calon atasan bahwa pembayaran atau imbalan jasa-jasanya harus didasarkan kepada hasil-hasil tertentu, atau tidak menyetujui perjanjian apa pun yang mengarah kepada hal serupa.

Pasal III
Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa
Anggota PERHUMAS harus :
c.            Menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat.
d.            Tidak melibatkan diri dalam tindak untuk memanipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa.
e.            Tidak menyebarluaakan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan.
f.              Senantiasa membantu menyebarluaskan informasi maupun pengumpulan pendapat untuk kepentingan Indonesia.

Pasal IV
Perilaku Terhadap Sejawat
Praktisi Kehumasan Indonesia harus
a.        Tidak dengan  sengaja dan mencemarkan reputasi atau tindakan profesional sejawatnya. Namun, bila ada sejawat yang bersalah karena melakukan tindakan yang tidak etis, yang melanggar hukum, atau yang tidak jujur, termasuk melanggar Kode Etik Kehumasan Indonesia, maka bukti-bukti wajib disampaikan kepada Dewan Kehormatan PERHUMAS.
b.        Tidak menawarkan diri   atau mendesak klien atau atasan untuk menggantikan kedudukan sejawatnya.
c.        Membantu dan bekerja sama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung tinggi dan mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia ini.

Lampiran 2.
ASOSIASI PERUSAHAAN PUBLIC RELATIONS INDONESIA (APPRI)
Keterangan Singkat Tentang Organisasi APPRI
Asosiasi Perusahaan Public Relations (APPRI) yang dibentuk pada 10 April 1987, di Jakarta dan merupakan sebuah organisasi yang berbentuk asosiasi dari perusahaan-perusahaan Public Relations Nasional yang independen.
Misi utama APPRI adalah ingin mendarma-baktikan kemampuannya pada bangsa dan negara, khususnya dalam profesionalisme di bidang Public Relations.
Ke luar, ingin menanamkan makna kegiatan Public relations dalam arti bagaimana memberikan kemampuan dalam pengelolaan program komunikasi yang berkaitan dengan penciptaan,pengembangan dan pembinaan citra.
Ke dalam, melakukan koordinasi, peningkatan profesi, dan menjaga dinamika usaha melalui kerja sama dan persaingan yang sehat.

TUJUAN APPRI
Untuk menjelaskan misi utamanya, APPRI mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai berikut :
1.              Menghimpun,membina dan mengarahkan potensi perusahaan Public Relations nasional agar secara aktif, positif dan kreatif turut serta dalam usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
2.           Mewujudkan fungsi Public Relations yang sehat, jujur, dan bertanggung jawab sesuai dengan kode praktik dan kode etik yang lazim berlaku secara nasional dan internasional.
3.           Mengembangkan dan memajukan kepentingan asosiasi dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk konsultasi dan kerja sama serta memberikan siaran bagi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan, asosiasi yang mewakili Dunia industri dan perdagangan, serta badan-badan lain untuk konsultasi dengan APPRI sebagai suatu lembaga.
4.            Memberi informasi kepada klien, bahwa anggota APPRI mematuhi syarat untuk memberikan nasihat dalam Public Relations dan akan  bertindak untuk klien menurut kemampuan profesionalnya.
5.           Merupakan sarana untuk para anggotanya dalam soal-soal kepentingan usaha dan profesi dan menjadi forum koordinasi praktik Public Relations.
6.           Merupakan medium bagi masyarakat umum untuk mengetahui mengenai pengalaman dan kualifikasi para anggotanya.
7.            Membantu mengembangkan kepercayaan umum atas jasa Public Relations.

KEANGGOTAAN
Sebagai bentuk asosiasi perusahaan, keanggotaan APPRI adalah perusahaan-perusahaan Public Relations yang didirikan berdasarkan Hukum Negara republik Indonesia dan sepenuhnya dimiliki oleh warga negara indonesia yang mempunyai kualifikasi sebagai Public Relations profesional.

KEGIATAN
Di dalam melaksanakan tujuannya, APPRI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan, baik yang bersifat ke dalam organisasi maupun ke masyarakat luas. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi, antara lain :
1.                  Membentuk dan melaksanakan prinsip-prinsip kegiatan dan kode etik dalam profesi public relations.
2.               Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan peningkatan profesi anggotanya melalui seminar, lokakarya, diskusi, pendidikan, kunjungan dan sejenisnya.
3.               Melakukan penelitian, menghimpun dan menganalisa pekembangan dunia usaha umumnya dan aktivitas usaha Public Realtions khususnya, dalam upaya pembinaan dan pengembangan kegiatan usaha anggotanya.
4.                Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti dunia usaha, lembaga pendidikan, institusi dan organisasi lainnya, serta masyarakat luas umumnya, dalam rangka perluasan kegiatan usaha anggotanya maupun penyebarluasan profesi Public Relations dan pengabdian pada masyarakat.

KODE ETIK PROFESI APPRI
Pasal 1
Norma-Norma Perilaku Profesional
Dalam Menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai kepentingan umum dan menjaga harga diri setiap anggota masyarakat. Menjadi tanggung jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap klien, baik yang mantan maupun sekarang, dan terhadap sesama anggota asosiasi,anggota media komunikasi, serta masyarakat luas.

Pasal 2
Penyebarluasan Informasi
Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang palsu atau menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiba untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.

Pasal 3
Media Komunikasi
Seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi.

Pasal 4
Kepentingan Yang Tersembunyi
Seorang anggotanya tidak akan melibatkan dirinya dalam kegiatan apa pun yang secara sengaja bermaksud memecah belah atau menyesatkan, dengan cara seolah-olah ingin memajukan suatu kepentingan tertentu padahal sebaiknya justru ingin memajukan kepentingan tersembunyi. Seorang anggota berkewajiban untuk menjaga agar kepentingan sejati organisasi yang menjadi mitra kerjanya benar-benar terlaksana secara baik.

Pasal 5
Informasi Rahasia
Seorang anggota (kecuali apabila diperintahkan oleh aparat hukum yang berwenang) tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang diberikan kepadanya, atau yang diperolehnya, secara pribadi dan atas dasar keprcayaan, atau yang bersifat rahasia dari kliennya, baik dimasa lalu, kini atau masa depan, demi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau untuk keuntungan lain tanpa persetujuan jelas dari yang bersangkutan.

Pasal 6
Pertentangan Kepentingan
Seorang anggota tidak mewakili kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan atau yang saling bersaing, tanpa persetujuan jelas dari pihak-pihak yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta yang terkait.

Pasal 7
Sumber-Sumber Pembayaran
Dalam memberikan jasa pelayanan kepada kliennya, seorang anggota tidak akan menerima pembayaran, baik tunai atau dalam bentuk lain, yang diberikan sehubungan dengan jasa-jasa ytersebut dari sumber mana pun, tanpa persetujuan jelas dari kliennya.

Pasal 8
Memberitahukan Kepentingan Keuangan
Seorang anggota, yang mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu organisasi, tidak akan menyarankan klien atau majikannya untuk memakai organisasi tersebut atau memanfaatkan jasa-jasa organisasi tersebut, tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepentingan keuangan pribadinya yang terdapat dalam organisasi tersebut.

Pasal 9
Pembayaran Berdasarkan Hasil Kerja
Seorang anggota tidak akan mengadakan negosiasi atau menyetujui persyaratan-persyaratan dengan calon majikan atau calon klien, berdasarkan pembayaran yang tergantung pada hasil pekerjaan PR tertentu di masa depan.

Pasal 10
Menumpang-tindih Pekerjaan Anggota Lain
Seorang anggota yang mencari pekerjaan atau kegiatan baru dengan cara mendekati langsung atau secara pribadi, calon majikan atau calon langganan yang potensial, akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengetahui apakah pekerjaan atau kegiatan tersebut sudah dilaksanakan oleh anggota lain. Apabila demikian, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukan anggota tersebut mengenai usaha dan pendekatan yang dilakukannya terhadap klien tersebut. (Sebagian atau seluruh pasal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalangi anggota mengiklankan jasa-jasa secara umum).

Pasal 11
Imbalan Kepada Karyawan Kantor-Kantor Umum
Seorang anggota tida akan menawarkan atau meberikan imbalan apapun, dengan tujuan untuk memajukan kepentingan pribadinya (atau kepentingan klien), kepada orang yang menduduki suatu jabatan umum, apabila hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.

Pasal 12
Mengkaryakan Angota Parlemen
Seorang anggota mempekerjakan seorang anggota Parlemen, baik sebagai konsultan maupun pelaksana akan memberitahukan kepada Ketua asosiasi tentang hal tersebut maupun jenis pekerjaan yang bersangkutan.Ketua Asosiasi akan mencatat hal tersebut. Seorang anggota asosiasi yang kebetulan juga anggota parlemen, wajib memberitahukan atau memberikan peluang agar terungkap, kepada Ketua semua keterangan apa pun mengenai dirinya.

Pasal 13
Mencemarkan Anggota-Anggota Lain
Seorang anggota tidak akan dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktik profesional lain.

Pasal 14
Instruksi/Perintah Pihak-Pihak Lain
Seorang anggota yang secara sadar mengakibatkan atau memperbolehkan orang atau organisasi lain untuk bertindak sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan kode etik ini, atau turut secara pribadi ambil bagian dalam kegiatan semacam itu, akan dianggap telah melanggar kode etik ini.

Pasal 15
Nama Baik Profesi
Seorang anggota tidak akan berperilaku sedemikian rupa sehingga merugikan nama baik asosiasi, atau profesi Public Relations.

Pasal 16
Menjunjung Tinggi Kode Etik
Seorang anggota wajib menjunjung tinggi Kode Etik ini, dan wajib bekerja sama dengan anggota lain dalam menjunjung Kode Etik, serta dalam melaksanakan keputusan-keputusan tentang hal apa pun yang timbul sebagai akibat dari diterapkannya keputusan tersebut. Apabila seorang anggota mempunyai alasan untuk berprasangka bahwa orang lain terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dapat merusak kode Etik ini, maka ia berkewajiban untuk memberitahukan hal tersebut kepada asosiasi. Semua anggota wajib mendukung asosiasi dalam menerapkan dan melaksanakan Kode Etik ini, dan asosiasi wajib mendukung setiap anggota yang menetapkan dan melaksanakan Kode Etik ini.

Pasal 17
Profesi Lain
Dalam bertindak untuk seorang klien atau majikan yang tergabung dalam suatu profesi, seorang anggota akan menghargai kode etik dari profesi tersebut dan secara sadar tidak akan turut dalam kegiatan apa pun yang dapat mencemarkan Kode etik ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

soal UAS Etika Kehumasan

KOMPONEN KONSEPTUAL KOMUNIKASI

BAHAN AJAR MATA KULIAH: STRATEGI PENGEMBANGAN PESAN