Share Diktat Kuliah MK. Public Relations by. I Dewa Ayu Hendrawathy Putri
DIKTAT KULIAH
PENDAHULUAN
SEKILAS TENTANG FENOMENA PUBLIC
RELATIONS
Sebagai
suatu profesi, PR baru dikenal sejak abad 20, tetapi gejalanya sendiri sudah
ada jauh sebelumnya. Bahkan para
ahli PR mengatakan bahwa gejala PR sudah ada sejak manusia-manusia pertama ada
“Adam dan Hawa”. Gejala tersebut adalah, misalnya; hubungan antar-manusia,
pemberitahuan oleh seseorang kepada orang lain, upaya seseorang mempengaruhi
orang lain dan sebagainya.
Manusia
adalah makhluk social, yang mana ia tidak mungkin hidup sebatang kara (menyendiri).
Melainkan ia harus dan akan berinteraksi dengan orang lain dan hidup bersama
dengan orang-orang lain demi pemenuhan dorongan-dorongan yang timbul pada
dirinya. Dorongan-dorongan tersebut diantaranya; dorongan untuk melangsungkan
hidupnya, untuk mempertahankan dirinya maupun untuk meneruskan jenisnya.
Untuk melangsungkan hidupnya manusia harus makan. Dan
berdasarkan pengalamannya, baginya adalah lebih mudah untuk mencari makanan
secara bersama-sama dengan orang lain daripada seorang diri. Dalam mencari
kawan untuk usahanya itu, misalnya; dalam hal berburu, ia akan mencari orang
yang sefaham dan dapat dipercaya. Namun, guna dapat mengetahui kualitas orang
yang akan diajaknya itu ia perlu mengadakan hubungan dengan sejumlah orang.
Apabila diketahuinya bahwa ada seseorang atau beberapa orang yang berkenan
dihatinya, maka ia berusaha untuk menanamkan pengertian sehingga ajakannya itu
tidak di tolak.
Selanjutnya, dorongan untuk mempertahankan diri dapat
diketahui dengan jelas pada kehidupan manusia zaman purba. Hidup kerja sama
dengan orang lain adalah mutlak. Kalau ia bertekad hidup menyendiri,
kemungkinan besar ia tidak akan hidup lama. Kalau tidak diterkam binatang buas,
kemungkinan ia akan dibunuh oleh sesame manusia. Yang berlaku pada waktu itu
adalah hokum rimba “siapa yang kuat dia pasti menang dan pasti berkuasa”. Jadi
dalam hal ini kelompok yang kuatlah yang akan terus dan bertahan hidup. Dalam
hubungan ini, seseorang yang ingin hidup terus harus mencari kawan yang sefaham
dan yang dapat dipercaya. Untuk mendapatkan orang yang bias dijadikan teman, ia
harus mengadakan hubungan dengan sejumlah orang. Jika sudah diketahui adanya
orang-orang yang bias direkrut sebagai teman, maka ia harus berusaha menanamkan
pengertian, dan kalau perlu ia harus mempengaruhinya (to persuate) sehingga
mereka bersedia bersama-sama mempertahankan diri (survive) dari bahaya serangan
binatang buas maupun musuh.
Dalam dorongan untuk meneruskan jenisnya, manusia tidak
mungkin melakukannya seorang diri. Ia harus mencari teman hidup yang berlainan
jenis. Misalnya; seorang pria harus mencari teman hidupnya seorang wanita, begitu
juga sebaliknya. Karena kedua insan tersebut mempunyai itikad yang sama, maka
mereka harus mempunyai hasrat (desire) yang sama pula untuk hidup bersama-sama.
Dalam pelaksanaannya, si pria mengadakan hubungan dengan si wanita, atau juga
bisa sebaliknya. Maka untuk menanamkan pengertian atau kalau perlu
mempengaruhinya agar bersedia untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama. Dan
syarat mutlak dalam hubungan ini adalah dasar kepercayaan, selanjutnya mungkin
cinta, sayang dan sebagainya.
Demikianlah gejala-gejala, yakni upaya-upaya mengadakan
hubungan, menanamkan pengertian, mempengaruhi dan membina kepercayaan,
merupakan unsur-unsur dari konsep yang dewasa ini dikenal sebagai Public
Relations (PR /PUREL/ HUMAS).
PERKEMBANGAN PR DI NEGARA BARAT
Di
Negara Eropa dan Amerika Serikat, pihak pertama yang mulai menerapkan
teknik-teknik PR adalah pemerintahannya, pada tahun 1809 Departemen Keuangan
Inggris Raya yang menunjuk seorang juru bicara resmi. Kemudian pada taun 1854,
Dinas Pos Inggris Raya, dalam satu laporan tahunannya pertama, mengakui
perlunya penjelasan secara luas atas pelayanan yang dilakukan kepada masyarakat
umum. Taktik PR yang cukup rinci dan terarah mulai digunakan oleh Pemerintahan
Inggris pada tahun 1912 (Anggoro, 2000 : 31). Fungsi PR pada lembaga pemerintah
sudah berlangsung sejak 200 tahun sebelumnya, tetapi pelaksanaan PR kalangan
swasta dan tumbuhnya konsultan PR terjadi lebih dulu di Amerika.
Ivy
Letbetter Lee atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Ivy Lee” dianggap sebagai
“the
Father of Public Relations” yang telah memikirkan dan mempraktekkan PR
secara konsepsional, ia berhasil mengembangkan PR yang oleh para cendikiawan PR
kemudian dijadikan landasan untuk dimekarkan dan dijadikan objek studi ilmiah.
Ivy Lee adalah putra seorang negarawan Georgia Amerika Serikat. Kegiatannya di
bidang PR dimulai pada tahun 1906, pada waktu industry batubara di Negara
“Paman Sam” itu mengalami kesulitan disebabkan oleh pemogokan buruh. Ketika itu
Lee sebagai seorang wartawan surat kabar. Selanjutnya Ivy Lee mendirikan biro konsultan PR yang pertama. Ia juga pernah
memiliki pekerjaan di sebuah perusahaan kereta api, yakni Pensylvania Railroad,
dan tahun 1914 menjadi seorang penasehat utama Raja minyak Amerika, John D. Rockefeller. Dalam upaya
mengetasi persoalan yang sedang dialami oleh industry batubara tersebut, Lee
menawarkan gagasan untuk menengahi bagi keuntungan kedua belah pihak yakni;
para industriawan dan para pekerja. Gagasal Lee itu ditawarkan kepada pimpinan
industry batubara dengan persyaratan sebagai berikut : 1) ia diberi kedudukan
dalam manajemen puncak; 2) ia diberi wewenang penuh untuk menyebarkan semua
informasi factual yang patut diketahui rakyat. Tentu saja persyaratan Lee waktu
itu cenderung revolusioner, karena orang yang bergerak dalam bidang komunikasi
dan informasi ketika itu tidak berada dalam struktur “Top Management”. Begitu
pun fakta kepada public suatu yang tak lazim, aneh dan unik pada masa tersebut.
PERKEMBANGAN PR DI DUNIA KETIGA
PR
merupakan suatu subjek studi dan kegiatan yang sangat diminati di Negara-Negara
dunia ketiga, karena menghadapi kebutuhan yang begitu mendesak untuk
menyebarkan berbagai macam pengtahuan dan pemahaman kepada penduduknya, baik
sector swasta maupun pemerintah di dunia ketiga ini (Anggoro, 2000 : 34).
Pemerintah Negara-Negara sedang berkembang, menghadapi
tantangan PR yang sangat besar. Sehubungan dengan besarnya tantangan itu, maka
lembaga-lembaga pemerintah membutuhkan para praktisi PR yang andal daripada
sector-sektor industri serta komersial swasta. Para praktisi PR tidak hanya
dibutuhkan lembaga-lembaga sipil, akan tetapi juga dikalangan militer. Pada
setiap jajaran angkatan bersenjata, termasuk dinas kepolisian, kita selalu
menemukan seorang atau beberapa pejabat PR. Semua instansi di berbagai bidang
apakah pendidikan, kesehatan, dan dinas pelayanan social selalu memiliki staf
PR. Tentu saja pejabat PR juga dapat ditemui pada perusahaan-perusahaan besar
di Negara yang sedang berkembang seperti; Indonesia, Nigeria, Tanzania dan
lainnya. Ruang lingkup PR yang ditangani oleh swasta di Negara-Negara sedang
berkembang sangat luas. Pada awalnya tradisi PR ini dibawa oleh
perusahaan-perusahaan multinasional dan perwakilan-perwakilan asing.
PERKEMBANGAN
PR DI INDONESIA
Tidak ada catatan yang pasti, mulai kapan profesi PR
berkembang di Indonesia, namun yang jelas praktik PR dalam pengertiannya yang
paling hakiki sudah ada di Nusantara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Sebagai
salah satu contoh; usaha penembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram, untuk
menyebarkan citra positif bahwa ia dan keturunannya akan menjadi pasangan Nyi
Roro Kidul, pada dasarnya informasi ini ditujukan untuk menyaingi para Sunan (Wali)
yang sangat disegani pada masa-masa tersebut.
Namun
secara kelembagaan atau institusional, profesi PR diakui keberadaannya sejak
terbentuknya Bakohumas pada tanggal 13 Maret 1971. Bakohumas ini menghimpun
para pejabat dan staf PR dilingkungan departemen, lembaga-lembaga pemerintah,
dan BUMN. Perkembangan PR di Indonesia cukup pesat, dan tiga faktor yang
melatar belakangi, cepatnya kemajuan teknologi, pertumbuhan ekonomi dan kian
hausnya masyarakat akan informasi. Selanjutnya, lembaga pertama di Indonesia
yang menghimpun para PR (individu) adalah Perhumas (Public Relations
Association of Indonesia). Lembaga ini didirikan pada tanggal 12 Desember 1972.
Pendirinya terdiri dari kalangan swasta dan pemerintah antara lain: Wardiman
Djojonegoro, Brigjen. Soemrahadi, Marah Joenoes, Nana Sutresna, Feisal Tamin.
R.M. Hadjiwibowo, Dr. Alwi Dahlan, Drs. Soemadi, Uman Soedjon, Wasaksono
Noeradi, dan beberapa tokoh lainnya. Perhumas tercatat sebagai anggota IPRA
(International Public Relations Association) yang berpusat di Jenewa Swiss,
serta Perhumas turut merintis pembentukan FAPRO (Federations of ASEAN Public
Relations Organizations) pada awal 1980-an.
Tanggal
13 September 1996, terbentuk Forkamas (Forum Komunikasi Humas Perbanas) yang
khusus menghimpun pejabat PR di lingkungan perbankan, penggagasnya adalah
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono. Sebelumnya, perusahaan biro-biro
konsultan PR telah membentuk Assosiasi pada tahun 1986 dengan nama APPRI
(Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia). Di luar itu masih banyak
asosiasi yang realtif independent. Misalnya; H3 (Himpunan Humas Hotel) yang
terbentuk tanggal 23 Pebruari 1995 atau Jayakarta PR Club. Perkembangan
kelembagaan (asosiasi) PR turut memberi andil yang tinggi bagi perkembangan
profesi PR di Indonesia.
BAB I
SEJARAH PUBLIC RELATIONS
Perkembangan
PR sampai sekarang ini tidak terlepas dari dua orang Bapak PR yakni; Ivy
Letbetter Lee dan Edward L. Bernays. Kedua ilmuwan ini peletak dasar munculnya
PR modern, yang semakin hari keberadaan dan perkembangannya sebagai seluruh
disiplin ilmu dan bidang profesi terlihat semakin mapan. Bahkan ada beberapa
sarjana atau kaum professional di luar ilmu PR, seringkali tergiur untuk
melakukan “pelacuran” ilmunya, dengan menggarap pelatihan, konsultasi dan
pengajaran di bidang PR.
Padahal
mereka dipertanyakan keahlian PR-nya. Bahkan yang lebih ironis lagi mereka
mengejek ilmu PR sebagai tukang kliping, protokoler, tetapi ternyata banyak
diantara mereka yang bersikap sinisme itu mengajar PR di lembaga pendidikan
swasta, membuat pelatihan di instansi
Dan
perusahaan, termasuk konsultasi PR, padahal mereka hanya memilik sub-disiplin
ilmu non-PR. Memang ada yang lebih parah lagi seorang lulusan sarjana hokum,
tetapi ngaku-ngaku expert dalam bidang PR. Sebagai insane PR tak perlu berkecil
hati dengan ulah mereka, berpikir positif saja, mungkin mereka tidak mampu
bersaing di bidang ilmu dan profesinya sendiri.
Ivy
Letbetter Lee atau yang lebih dikenal
Ivy Lee dianggap sebagai “The Father of Public Relations) yang telah
memikirkan dan mempraktekkan PR secara konsepsional, ia berhasil mengembangkan
PR yang oleh para cendikiawan PR kemudian dijadikan landasan untuk dimekarkan
dan dijadikan subjek studi ilmiah. Ivy Lee adalah putra seorang Negarawan di
Georgia Amerika serikat. Kegiatannya di bidang PR di mulai pada tahun 1906,
pada waktu industri batubara di Negara “Paman Sam” itu mengalami kesulitan yang
disebabkan pemogokan buruh. Ketika itu Lee sebagai seorang wartawan surat kabar. Timbulnya
pemogokan para pekerja yang mengancam kelumpuhan industri batubara itu
menyebabkan munculnya gagasan Lee untuk menengahi bagi keuntungan kedua belah
pihak yakni; para industriawan dan para pekerja.
Gagasan
Lee itu ditawarkan kepada pimpinan industri batubara dengan persyaratan sebagai
berikut :
1.
Ia diberi kedudukan dalam manajemen
puncak;
2.
Ia diberi wewenang penuh untuk
menyebarkan semua informasi factual yang patut diketahui rakyat.
Persyaratan
Lee waktu itu cenderung revolusioner, karena orang bergerak dalam bidang
komunikasi dan informasi ketika itu tidak berada dalam struktur top management.
Begitupun fakta kepada public merupakan suatu hal yang tak lazim, aneh dan unik
di era tersebut.
Pekerjaan
seorang PR yang dilakukan oleh Lee dinamakannya Declaration of Principles
(Deklarasi Asas-Asas), yang pada hakikatnya keberadaan public tidak bias
dianggap enteng oleh manajemen industri dan dianggap tidak bisa apa-apa oleh
pers. Dengan sikap jujur, Lee telah membuka tabir perusahaan besar dalam
hubungannya dengan masyarakat. Lee telah berhasil menciptakan gagasan baru
untuk mengatasi pemogokan di pabrik-pabrik besar dan gagasan baru untuk membina
hubungan dengan pers.
Keberhasilan
Lee sebagai PR, kemudian tawaran dari Pensylvania Railroad Company untuk
mengatasi kesulitan sehubungan dengan terjadinya musibah kecelakaan pada
jaringan utama perusahaan kereta api tersebut. Lee mengubah cara pengungkapan
fakta itu, setelah bernegosiasi dengan pihak direksi, penanganan manajemen
krisis dalam bentuk kecelakaan kereta api telah memberikan kepuasan kedua belah
pihak, baik perusahaan maupun pers.
Edward
L. Bernays (1891 - 1955), sebagai bapak PR, nampaknya tidak banyak dikenal di
banding dengan Ivy Lee, karena buku-buku PR klasik Cultip-Center “Effective
Public Relations, yang diacu sebagai “alkitabnya” PR tidak begitu menonjolkan
nama-nama perintis PR, termasuk Edward L. Bernays, buku PR yang kini bertebaran
cenderung lebih banyak mengangkat nama Ivy Lee (diadaptasi dari : Purbaningrum,
1998).
Bernays
adalah keponakan cendikiawa terkenal dalam bidang psikologi analisis “Sigmund
Freud”, pemikiran dan kegiatannya untuk mengembangkan PR sebagai profesi yang
mantap, handal, mapan, dan bertanggung jawab dalam masyarakat demokrasi,
betul-betul tak mengenal lelah dan konsisten sejak ia sepenuhnya terjun sebagai
konsultan Public Relations.
Ia
merupakan orang pertama yang meyakinkan kaum bisnis, bahwa PR merupakan urusan
eksekutif. Selain itu ia mempunyai misi pribadi untuk “mengamankan masa depan
profesi PR”. Ia pun sempat menerbitkan buku Teks PR pertama yang berjudul “Crystalizing Public Opinions (1923)”.
Buku Teks klasikini disusun berdasarkan konsep hakikat dan kekuatan opini
public. Dalam buku itulah ia memperkenalkan konsep-konsep penting dalam PR
yakni; rekayasa persetujuan public (engineering of Public Consent) dan
konsultan PR (Public Relations Councel). Kedua konsep itu dipraktekkannya
secara konsisten dan bertanggung jawab.
Edward
Bernays tetap secara aktif terlibat dalam PR, bahkan sesudah mencapai usia 101
tahun. Di usia senja itu, ia tetap berapi-api ketika berbicara tentang
profesionalisme PR yang sudah dicanangkan setengah abad sebelumnya. Untuk
menjamin masa depan profesi, konsultan PR harus diakreditasi, terdaftar,
ber-lisensi.Pada tanggal 10 Agustus 1991 di Park Plasa Hotel, Boston “Edward L.
Bernays” mendapat gelar “The Father of
Public Relations”, sehingga pemberian gelar Bapak Pendidikan PR kepada
Prof. Scott M. Cultip, pengarang “Buku Suci” PR yaitu; Effective Public
Relations, bersama penulis lainnya seperti: H. Center dan Glen M. Broom. Cultip
adalah Dekan Emeritus pada Glady School of Mass Communication di universitas
Georgia, yang juga telah mengabdi dan mengembangkanpendidikan PR School of
Journlism and mass Communication Universitas Wisconsin, Madion, selama 30 tahun
(diadaptasi dari : Purbaningrum, 1998 : 105-113).
BAB II
DEFINISI PUBLIC RELATIONS / HUMAS
1.
J.C. SEIDEL (Public Relations Director
Division Housing State of New York); adalah proses kontinu dari usaha-usaha
management untuk memperoleh Goodwill, pengertian dari para pegawai, langganan,
public umumnya, kedalam mengadakan analisa dan perbaikan-perbaikan terhadap
diri sendiri, keluar dengan mengadakan pernyataan.
2.
HOWARD DONHAN (Vice Chaiman, American
Nasional Red Cros) : adalah suatu seni untuk menciptakan pengertian public yang
lebih baik yang dapat memperdalam kepercayaan public terhadap seseorang atau
organisasi / badan.
3.
Public Relations News; hubungan
masyarakat adalah fungsi management yang menge-valuasi sikap public,
mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dan prosedur seorang individu atau sebuah
organisasi berdasarkan kepentingan public, dan menjalankan suatu program
tindakan untuk mendapatkan pengertian dan penerimaan public.
4.
Definisi berikutnya disarankan; Hubungan
masyarakat adalah suatu filsafat social dari management yang dinyatakan dalam
kebijaksanaan beserta pelaksanaannya mengenai peristiwa-peristiwa berdasarkan
pada komunikas dua arah dengan publiknya, berusaha untuk memperoleh saling
pengertian dan itikad baik (H. Frazier More, dalam hubungan masyarakat prinsip,
kasus dan masalah satu).
5.
Menurut rumusan “Dr. Rex Harlow” dalam
bukunya :”A Model for Public Relations Education for Profesional Practices”
yang dikeluarkan oleh International Public Relations Association (IPRA),
setelah mengkaji lebih kurang 472 definisi PR tersebut, yaitu yang berbunyi:
“Public Relations adalah fungsi management yang khas dan pembinaan,
pemeliharaan jalur bersama antara organisasi dengan publiknya, menyangkut
aktivitas komunikasi, pengertian,penerimaan dan kerja sama; melibatkan manajemen
dalam persoalan/permasalahan, membantu manajemen, mampu menanggapi opini
public; mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara
efektif; bertindak sebagai system peringatan dini dalam mengantisipasi
keenderungan menggunakan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis
sebagai sarana utama.
6.
Tetapi ternyata para ahli PR/Humas
menanggapi definisi yang dirumuskan “Dr. Rex Harlow” tersebut terlalu panjang,
maka wakil dari pakar PR/Humas dari Negara maju mengadakan pertemuan yaitu;
pada bulan agustus 1978 dengan mengeluarkan definisi PR yang lebih singkat dan
dinamakan “The Statement of Mexico”, yang berbunyi sebagai berikut :
“Praktik
PR adalah seni dan ilmu pengetahuan social untuk menganalisis kecenderungan,
memprediksi konsekuensi-konsekuensinya, menasehati para pemimpi organisasi, dan
melaksanakan program yang terencana mengenai kegiatan-kegiatan yang melayani,
baik kepentingan organisasi maupun kepentingan public (umum).
7.
Menurut “Edward L. Bernays” dalam
bukunya”Public Relations University of Oklahoma Press”, yang menjelaskan bahwa
PR/Humas tersebut mempunyai tiga (3) fungsi utama, yaitu sebagai berikut:
§ Memberikan
penerangan kepada masyarakat.
§ Melakukan
persuasi untuk mengubah sikap dan perbuatan masyarakat secara langsung.
§ Berupaya
untuk mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu badan/lembaga sesuai dengan
sikap dan perbuatan masyarakat atau sebaliknya.
8.
Menurut pakar PR International “Cultip
& Center and Canfield” yakni fungsi PR dapat dirumuskan sebagai berikut:
§ Menunjang
aktivitas utama manajemen dalam mencapai tujuan bersama (fungsi melekat pada
manajemen lembaga/organisasi).
§ Membina
hubungan yang harmonis antara badan/organisasi dengan pihak publiknya, sebagai
khalayak sasarannya.
§ Mengidentifikasi
yang menyangkut opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap badan /
organisasi yang diwakilinya atau sebaliknya.
§
Melayani
keinginan publiknya dan memberikan sumbangan saran kepada pimpinan manajemen
demi untuk tujuan dan manfaat bersama.
§
Menciptakan
komunikasi dua arah, timbal balik, dan mengatur arus informasi, publikasi serta
pesan dari badan/organisasi ke publiknya atau terjadi sebaliknya demi
tercapainya citra positif bai kedua belah pihak.
9.
Menurut pendapat “Scott M. Cultip and Allen H.
Center (1971)”, dalam
bukunya berjudul ‘Effective Public Relations” mengungkapkan bahwa; “Public
Relations adalah fungsi manajemen yang menilai sikap public, mengidentifikasi
dan tata cara organisasi demi kepentingan publiknya, serta merencanakan suatu
program kegiatan dan komunikasi untuk memperoleh pengertian dan dukungan
publiknya”.
KARAKTERISTIK PUBLIC RELATIONS
Mencermati
beberapa definisi PR/Humas pada pembahasan sebelumnya, kita dapat menguraikan
bahwa ada empat (4) cirri utama PR/Humas yang disebut dengan karakteristik PR/Humas.
Melalui karakteristik inilah kita dapat menilai apakah suatu aktivitas
komunikasi dapat dikatakan sebagai PR/Humas atau bukan.
1. Adanya Upaya Komunikasi
Dua Arah;
Hakikat
PR/Humas adaah Komunikasi. Namun, tidak semua komunikasi dapat dikatakan Humas.
Komunikasi yang mempunyai cirri kehumasan adalah komunikasi dua arah yang
memungkinkan terjadinya arus informasi timbale balik. Komunikasi timbale balik
dalam praktik bukan berarti komunikasi yang harus bersifat langsung, melainkan
tertunda (delayed). Oleh karena itu, setiap upaya yang memungkinkan terjadinya
arus timbale balik dapat disebut sebagai komunikasi kehumasan. Upaya-upaya
tersebut misalkan; dengan menyediakan sarana/media komunikasi seperti; kotak surat suara, bulletin atau
media internal (Ing Griya), suatu forum atau pertemuan yang di format untuk
terjadinya dialog seperti; program orientasi bagi karyawan baru, rapat,
pertemuan dan forum bebas, dan sebagainya.
Pemamfaatan
sarana/media/area komunikasi tersebut harus menjadi perhatian bagian /petugas
Humas. Petugag Humas disini
merupakan dinamisator dan pendorong bagi public untuk memanfaatkan sarana/media
komunikasi secara efektif. Bagian Humas/Petugas Humas haruslah membudayakan
timbulnya komunikasi dua arah.
2. Sifatnya Terencana;
Humas
adalah suatu kerja manajemen atau fungsi manajemen. Oleh karena itu, kerja
humas haruslah menerapkan prinsip-prinsip manajemen, supaya hasil kerjanya
dapat di ukur. Banyak kalangan mengganggap bahwa hasil kerja humas bersifat Ingtangible (abstrak) sehingga orang
sulit mempercayai bahwa humas bermanfaat bagi organisasi/lembaganya, sebab
tidak diketahui apa hasil kontribusinya. Anggapan ini dikarenakan kesalahan
penerapan humas itu sendiri. Penerapan humas cenderung tidak terintegrasi
dengan bagian lain, bahkan sering pula tidak terencana dengan baik berdasarkan
kebutuhan dan kondisi yang sebenarnya (sesuai fakta). Humas dianggap mampu
sebagai “tukang sihir” yang dapat seketika membuat hitam menjadi putih. Padahal
humas tidak beda dengan fungsi manajemen yang lain, yang memerlukan Fact Finding, perencanaan,
pengorganisasian, aksi dan evaluasi. Artinya aktivitas humas perlu
direncanakan, dirumuskan tujuannya, dan ditentukan ukuran keberhasilannya.
Sifat
humas yang terencana akhirnya mengandung pengertian bahwa/aktivitas humas
merupakan kerja/aktivitas yang berkesinambungan, memiliki metode, terintegrasi
dengan bagian lain dan hasilnya tangible (nyata). Syarat terencana dan
berkesinambungan ini merupakan salah satu syarat yang dinilai dalam kompetisi
tertinggi program PR Internasional, yakni Golden
World Award of Excellence in PR (GWA) yang diselenggarakan IPRA
(International Public Relations Association).
3. Berorientasi Pada
Lembaga/Organisasi;
Bila
Humas /PR merupakan aktivitas komunikasi dua arah terencana (memiliki metode), maka
pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dikomunikasikannya? Kerja yang dianggap
identik dan berdekatan dengan Humas adalah Marketing. Akan tetapi, tidak jarang rancu antara kerja marketing
dengan Humas / PR. Seolah-olah terjadi overlap karena hakekatnya marketing dan
PR sama-sama sebagai aktivitas komunikasi. Namun kalau dicermati kedua bidang
tersebut sebenarnya berbeda orientasi. Bila marketing berorientasi pada produk
(output) untuk mencapai tingkat sales (penjualan) yang tinggi, maka Humas / PR
berorientasi pada organisasi/lembaga (penghasil produk) untuk mencapai
pengertian, kepercayaan, dan dukungan public. Bila tujuan marketing adalah
orang pembeli produk, maka dengan Humas/PR masih dipertanyakan, apakah orang
yang memebli produk tersebut berarti mencintainya? Mencintai perusahaan yang
memproduksinya?
Dengan mencermati orientasi tersebut, maka syarat mutlak
dalam kerja Humas/PR adalah pemahaman yang tinggi terhadap visi, misi dan
budaya organisasi/lembaga. Visi, misi dan budaya organisasi /lembaga inilah
yang menjadi materi utama humas /PR, sehingga dapat mencapai tujuan humas dan
mendukung tujuan manajemen lainnya, termasuk tujuan marketing. Analisis
sederhana untuk menjelaskan hubungan marketing dan Humas /PR adalah bila orang
memahami dan percaya pada suatu perusahaan, maka orang akan percaya terhadap
produk yang dihasilkannya.
4.
Sasarannya adalah Publik
Sasaran
Humas/PR adalah public, yakni suatu kelompok dalam masyarakat yang memiliki
karakteristik kepentingan yang sama. Jadi, sasaran PR bukanlah perorangan. Hal
ini erlu disampaikan sebab masih ada orang yang mengistilahkan PR sebagai personal relations.
Terjemahan
Public Relations menjadi hubungan masyarakat juga harus dibedakan dengan
pengertian masyarakat sebagai “Society”. Cara termudah untuk membedakannya
adalah terletak pada adanya “interest”.
Dalam
praktik public ini dikelompokkan menjadi dua, yakni;
a.
Publik Internal, meliputi;
§ Karyawan
yakni, mereka yang bekerja dalam organisasi/lembaga dengan karakteristik
kepentingan berupa kesejahteraan (penghasilan), promosi jabatan atau
penghargaan prestasi kerja.
§ Publik
pemegang saham yang memiliki karakteristik kepentingan investasi yang aman,
terjaganya asset.
§
Publik
pengelola yang memiliki kepentingan terhadap peningkatan kinerja
organisasi/lembaga.
b.
Publik Eksternal, meliputi;
§ Komunitas
local (tetangga) yang memiliki karakteristik kepentingan, rasa aman, rasa
bangga, keindahan dan kesehatan lingkungan, kesempatan kerja, penambahan
penhasilan.
§ Publik
pers yang memiliki kepentingan terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki nilai
berita dan sumber-sumber berita.
§ Publik
Pemerintah yang memiliki kepentingan terhadap mitra pengelola sumber daya alam
dan lingkungan, pemasukan pajak, penyerapan tenaga kerja, dan sebagainya.
Menentukan
siapa yang menjadi public memang tidak mudah. Namun dapat dimulai dengan
pertanyaan sebagai berikut :
o
Siapa hidupnya yang tergantung dengan
organisasi/lembaga?
o
Siapa yang diuntungkan dan dirugikan
dengan adanya organisasi/lembaga ini?
o Siapa yang berkomunikasi dengan organisasi/lembaga ini?
o Siapa yang diharapkan berkomunikasi dengan
organisasi/lembaga ini?
o Siapa yang menentukan kehidupan organisasi/lembaga?
o
Siapa yang dapat menunjang kehidupan
organisasi/lembaga?
Dengan
menjawab pertanyaan diatas berarti kita sudah dapat menemukan siapa public
organisasi/lembaga. Dengan demikian, masing-masing organisasi/lembaga akan
mempunyai jumlah karakteristik public yang berbeda-beda.
BAB III
KEBERADAAN HUMAS / PR DALAM
ORGANISASI
Pada
Bab ini, kita akan membicarakan tentang tujuan PR, Fungsi PR dan kegiatan
/aktivitas PR bagi lembaga/organisasi.
TUJUAN
PUBLIC RELATIONS
Humas
/PR pada hakekatnya adalah aktivitas, maka sebenarnya tujuan PR dapat
dianalogikan dengan tujuan komunikasi, yakni adanya penguatan dan perubahan
kognisi, afeksi dan behavior komunikannya. Bila kita aplikasikan ke dalam
tujuan PR, maka tujuan PR adalah terjaga dan terbentuknya kognisi, afeksi dan
perilaku positif public terhadap organisasi/lembaga/instansi.
Namun,
karena kata “Relations” menunjukkan kata kerja aktif, maka harus dilihat
tujuanini berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (organisasi dan public).
Artinya; meskipun PR pada dasarnya “milik” organisasi/lembaga yang membayarnya,
namun tujuan PR hendaknya dipandang sebagai tujuan organisasi/lembaga dengan
tujuan public. Oleh karenanya dalam diktat kuliah ini, mahasiswa cenderung
diarahkan untuk melihat hubungan organisasi/lembaga dengan public yang Simbiose
Mutualistik. Dengan demikian, rumusan yang paling tepat mngenai tujuan PR
akandiuraikan sebagai berikut :
1.
Terpelihara dan Terbentuknya Aspek
Kognisi (Saling Pengertian);
Saling
pengertian dimulai dari saling mengetahui atau saling mengenal. Ungkapan “tak
kenal maka tak sayang” pada banyak fenomena memberikan jalan dari situlah PR
berawal. Jadi, aktivitas dan
program PR dimulai dari menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
§
Siapa,
apa, bagaimana, dimana dan mengapa organisasi (diri) kita ?
§ Sudahkah
public mengenal kita ?
§ Apa
yang sudah diketahui oleh public tentang kita ?
§ Apa
yang seharusnya diketahui public tentang kita ?
Pertanyaan
di atas juga berlaku bagi organisasi/lembaga sebagai berikut :
§ Apa
yang harus diketahui organisasi/lembaga tentang publiknya ?
§ Apa
yang sudah diketahui organisasi/lembaga tentang publiknya ?
§ Apa
yang diharapkan public terhadap organisasi/lembaga kita ?
§
Siapa,
apa, bagaimana, dimana dan mengapa public kita?
Selanjutnya, tujuan PR pada akhirnya adalah membuat
public dan organisasi/lembaga saling mengenal. Baik mengenal kebutuhan,
kepentingan, harapan, maupun budaya masing-masing. Dengan demikian, aktivitas kehumasan haruslah menunjukkan
adanya usaha komunikasi untuk mencapai saling kenal dan mngerti tersebut. Sifat
komunikasinya cenderung informative saja.
2. Menjaga dan Membentuk Aspek Afeksi
(Saling Percaya)
Bila
tujuan yang pertama mengarah pada penguatan dan perubahan (kognisi), maka
tujuan berikutnya dalah pada tujuan emosi, yakni pada sikap (afeksi) saling
percaya (mutual confidence). Untuk mencapai tujuan saling percaya ini, maka
prinsip-prinsip komunikasi persuasive dapat diterapkan (dalam hal ini
komunikasi personal dominant berperan).
Sikap
saling percaya keberadaannya masih bersifat laten (tersembunyi), yakni ada pada
keyakinan seseorang (public) akan “kebaikan / ketulusan” orang lain
(organisasi/lembaga), dan juga pada keyakinan organisasi/lembaga akan
kebaikan/ketulusan publiknya.
Kebaikan/ketulysan
masing-masing dapat diukur dengan etika moral maupun materiil yang ditanamkan
dan ditunjukkan masing-masing. Disinilah PR menggunakan prinsip-prinsip
komunikasi persuasive. Dia mempengaruhi public untuk percaya kepada
organisasi/lembaga, sebaliknya juga organisasi/lembaga untuk percaya kepada
publiknya.
Maasih
dengan contoh di awal, yakni hubungan dengan pers (external public relations).
Bila PR memberi informasi dua kepentingan (organisasi dan pers), maka
berikutnya PR harus dapat meyakinkan
bahwa publisitas yang buruk merupakan blocking (halangan) bagi pihak
organisasi/lembaga, bahwa kelangsungan organisasi / lembaga juga kode etik
bisnis tersendiri. Begitu pula sebaliknya kepada orgaisasi/lembaga, PR harus
dapat meyakinkan bahwa pers akan menulis sesuai dengan fakta, mencari dan
memperoleh berita merupakan hak pers dan pers memiliki kode etik tersendiri.
3. Memelihara dan Menciptakan Kerja sam
(Aspek Psikomotorik)
Tujuan berikutnya adalah dengan komunikasi diharapkan
akan terbentuknya bantuan dan kerja sama nyata. Artinya,bantuan dan kerja sama
ini sudah dalam bentuk perilaku atau termanifestasikan dalam bentuk tindakan
tertentu. Dalam contoh hubungan dengan pers 9external Public Relations), aspek
psikomotoris dapat dilihat dari usaha PR sebagai wakil organisasi/lembaga untuk
senantiasa terbuka terhadap pers yang menginginkan fakta, tidak mempersulit
kerja pers dalam mendapat informasi dan menghubungi sumber berita, bahkan bila
mungkin PR memberi ide kepada pers (Take Media Initiatif). Begitu pula kepada
organisasi/lembaga PR menampilkan kerja pers yang professional, memberikan hak
jawab dan memberikan hak orang-orang (decision maker) sebagai sumber berita,
bahkan bila perlu pers dapat menunjukkan bantuannya dalam menampilkan profil
organisasi/lembaga (dapat diwakili oleh profil pimpinan ataupun manajemen)
melalui publisitas yang positif. Terhadap peristiwa yang di asumsikan membawa
citra negative, pers dapat mempertimbangkan untuk memuat secara tiak menyolok
dan porposional.
Mengacu pada tiga tujuan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa setelah pengetahuan/pikiran dibuka, emosi/kepercayaan disentuh
maka selanjutnya perileku positif dapat di raih. Pada akhirnya, semua itu kembali
pada tujuan yang besar, yakni terbentuknya citra/image yang favourable terhadap
organisasi/lembaga di mana PR itu berada.
FUNGSI PUBLIC RELATIONS
Berbicara
fungsi berarti berbicara masalah kegunaan PR dalam mencapai tujuan
organisasi/lembaga. Beberapa buku tentang PR memberi batasan tentang fungsi ini
dengan bermacam istilah. Dalam buku Public Relations “Teori Praktek yang
ditulis oleh Djanalis Djanaid (1993) disebutkan dua fungsi PR, yakni fungsi
konstruktif dan fungsi korektif :
1.
Fungsi Konstruktif
Djanais
menganalogikan fungsi ini sebagai “Perata jalan”. Jadi PR merupakan “Garda”
terdepan yang dibelakangnya terdiri dari “Rombongan” tujuan-tujuan perusahaan. Ada tujuan Marketing,
tujuan Produksi, tujuan Personali dan sebagainya. Peranan PR dalam hal
inimempersiapkan mental public untuk menerima kebijakan organisasi/lembaga
untuk memahami kepentingan public, PR mengvaluasi perilaku public maupun
organisasi untuk direkomendasikan kepada manajemen, PR menyiapkan pra-kondisi
untuk saling pengertian, saling percaya dan saling membantu terhadap
tujuan-tujuan public organisasi/lembaga yang diwakilinya. Fungsi korektif ini
mendorong PR membuat aktivitas ataupun kegiatan-kegiatan yang terencana,
berkesinambungan yang cenderung bersifat proaktif. Termasuk di sini PR
bertindak secara preventif (mencegah).
2.
Fungsi Korektif
Apabila
kita mengibaratkan fungsi konstruktif sebagai “Perata Jalan”, maka fungsi
korektif berperan sebagai ‘pemadam kebakaran” (Djanalis, 1993). Yakni apabila
api sudah terlanjur menjalan dan membakar oragnisasi/lembaga, maka peranan yang
dapat dimainkan oleh PR adalah memadamkan api tersebut. Artinya apabila sebuah
organisasi/lembaga terjadi masalah-masalah (krisis) dengan public, maka PR
harus berperan dalam mengatasi terselesaikannya masalah tersebut.
Fungsi
yang kedua ini memang menjadi berat, sama halnya dengan suatu penyakit, ketika
orang sudah dalam keadaan sakit, maka upaya selanjutnya adalah mengobati menuju
upaya kesembuhan. Karena mengobatiadalah salah satu upaya penyembuhan, maka dapat
jadi upaya ini gagal total sehingga enyebabkan kematian. Pepatah mengatakan
‘mencegah ebih baik dari pada mengobati”. Anehnya, PR di Indonesia seringkali
di panggil pada saat terjadi krisis.
Sementara
pada saat situasi “aman-aman” saja PR dibuat “Nganggur” atau “Disfungsi”. Lebih
parah lagi, seringkali PR disalahkan bila dalam penanganan krisis menunjukkan
tanda-tanda kegagalan. Inilah yang sejak lama menjadi unek-unek para praktisi
PR. Ibaratnya, dia hanya mendapat “kotoran kuda” yang diminta mengendalikan
kuda, tetapi tidak pernah diajak merawat kuda yang sedang berontak jauh
sebelumnya.
Sementara
“Cultip & Center” mengatakan bahwa fungsi PR meliputi hal-hal sebagai
berikut :
v Menunjang
kegiatan manajemen dan mencapai tujuan organisasi
v Menciptakan
komunikasi dua arah secara timbale balik dengan menyebarkan informasi dari
perusahaan kepada public dan menyalurkan opini public pada perusahaan
v Melayani
public dan memberikan nasihat kepada pimpinan organisasi untuk kepentingan umum
v Membina
hubungan secara harmonis antara organisasi dan public baik internal maupun
eksternal.
Selain
uraian fungsi PR di atas, dalam diktat kuliah ini akan diselipkan beberapa
uraian fungsi PR dalam era globalisasi informasi. Apabila globalisasi informai
memang sudah lama tampak gejala dan kecenderungannya, bagaimana dampaknya
terhadap kegiatan PR? Apa yang harus dilakukan oleh petugas PR untuk
mengantisipasi globalisasi informasi tersebut? Apa yang harus dilakukan petugas
PR untuk mengantisipasi globalisasi tersebut? Jawaban atas pertanyaan itu dapat
bersifat evaluatif, reflektif dan prediktif sebagai berikut :



Secara histories paling tidak
terdapat lima (5) factor yang mendorong kemunculan PR :
§ Pertumbuhan industri yang semakin kompleks dan semakin
jauh jaraknya dari rakyat;
§ Perkembangan teknologi komunikasi dan jaringan media
massa yang semakin luas;
§ Munculnya
kritik dari ilmuwan dan politisi terhadap pertumbuhan bisnis raksasa;
§ Timbulnya
persaingan bisnis yang hebat antara sesame perusahaan, sehingga dirasakan perlunya
dukungan opini public yang menguntungkan;
§ Perluasan
pendidikan yang menyebabkan masyarakat membutuhkan fakta dan informasi yang
akurat (di adaptasi dari Chusmeru, Bali Post, 7 Mei 1992).
PERANAN PUBIC RELATIONS
Perkembangan
profesionalisme PR yang berkaitan dengan pengembangan peranan PR, baik secara
praktisi maupun professional dalam suatu organisasi atau perusahaan,menurut
“Dozier, D.M (1992), bahwa peranan praktisi PR dalam organisasi adalah satu
kunci untuk pengembangan peranan PRO (pejabat PR) dan pencapaian professional
dalam PR.
Menurut
Dozier & Broom (1995) bahwa peranan PR dibagi menjadi empat (4) kategori
dalam suatu organisasi sebagai berikut :
1.
Expert Prescriber
Sebagai
praktisi ahli PR yang berpengalaman dan memiliki kemampuan tinggi dapat membantu
untuk mencari solusi dalam penyelesaian masalah hubungan dengan publiknya
(Public Relationship). Dalam hal ini petugas PR dianggap orang yang ahli. Dia
menasehati pimpinan perusahan/organisasi. Hubungan mereka diibaratkan seperti;
seorang dokter dan pasien.
2.
Communication Fasilitator
Dalam
hal ini, praktisi PR bertindak sebagai komunikator atau mediator untuk membantu
pihak manajemen dalam hal untuk mendengar apa yang diinginkan dan diharapkan
oleh publiknya dari organisasi yang bersangkutan, sekaligus harus mampu
menjelaskan kembali keinginan, kebijakan dan harapkan organisasi kepada pihak
publiknya, baik dengan public internal maupun eksternal
3.
Problem Solving Process Fasilitator
Pelaksanaan
praktisi PR dalam hal proses memecahkan persoalan PR ini, merupakan bagian tim
manajemen untuk membantu pimpinan organisasi baik sebagai penasehat (adviser)
hinggs mengambil tindakan eksekusi (keputusan) dalam mengantisipasi persoalan
atau krisis yang tengah dihadapi secara rasional dan professional.
4.
Technician Communication
Disini praktisi PR dianggap sebagai pelaksana teknis
komunikasi. Dia menyediakan layanan di bidang teknis, sementara kebijakan dan
keputusan teknik komunikasi mana yang akan digunakan bukan merupakan keputusan
praktisi PR, melainkan keputusan manajemen dan praktisi PR yang
melaksanakannya.
Peranan mana yang paling sering dilakukan praktisi PR?
Sangat tergantung dari beberapa hal antara lain; system budaya
organisasi/perusahaannya, tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas,
struktur organisasi/perusahaan yang menetukan wewenang dan kewajiban PR, serta
cirri khas kPR sebuah perusahaan. Sementara peranan ideal mengingatkan PR dapat
terlihat hingga di tingkat messo atau manajerial.
TUGAS PUBLIC RELATIONS
Ada
tiga (3) tugas PR dalam organisasi/lembaga yang berhubungan erat dengan tujuan
fungsi PR. Ketiga tugas tersebut adalah :
1.
Mengintepretasikan, menganalisis dan
mengevalusi kecenderungan perilaku public, kemudian direkomendasikan kepada
manajemen untuk merumuskan kebijakab organisasi/lembaga. Kecenderungan perilaku
public diklasifikasikan dengan baik oleh ‘Frank Feffkins” menjadi 4
situasi/kondisi kecenderungan public yang dihadapi oleh PR, yakni; tidak tahu,
apatis, prasangka dan memusuhi. Mengacu pada klasifikasi public menurut
“Jeffkins” tersebut, maka tugas PR adalah; merubah public yang tidak tahu
menjadi tahu, yang apatis menjadi peduli, yang berprasangka menjadi menerima
dan yang memusuhi menjadi simpati. Tugas-tugas
ini melekat dengan kemampuan praktisi PR mengamati dan meneliti perilaku
berdasarkan kajian ilmu-ilmu social.
2.
Mempertemukan kepentingan
organisasi/lembaga dengan kepentingan public. Kepentingan organisasi/lembaga
dapat jadi jauh berbeda dengan kepentingan public dan sebagainya, namun dapat
juga kepentingan ini sedkit berbeda bahkan dapat juga kepentingannya sama. Dalam kondisi yang manapun, tigas PR adalah mempertemukan
epentingan ini menjadi saling dimengerti, dipahami, dihormati, dan
dilaksanakan. Bila kepentingannya berbeda, maka PR dapat bertugas
untuk menghubungkannya.
3.
Mengevalusi program-program
organisasi/lembaga, khususnya yang berkaitan dengan public. Tugas mengevalusi
program manajemen ini mensyaratkan kedudukan dan wewenang PR yang tinggi dan
luas. Karena tugas ini dapat berarti PR memiliki wewenang untuk memberi nasehat
apakah suatu program sebaiknya diteruskan ataukah di tunda ataukah dihentikan.
Disini PR bertugas untuk senantiasa memonitor semua program.
Sementara “Astrid S. Susanto” mengutip pendapat “Cultip & Center” menyatakan bahwa tugas PR perusahaan sebagai berikut :






KEGIATAN
PUBLIC RELATIONS
Kegiatan
merupakan implementasi dari tugas. Dengan demikian, kegiatan PR sebenarnya
adalah implementasi dari tugas PR untuk mencapai tujuan PR dana menjalankan
fungsi dan peranannya secara menyeluruh.
Seorang
kepala PR sebuah hotel misalnya; memiliki kegiatan / aktivitas sebagai berikut
:
§ Pukul
08.00 tiba di ruang kerja dan membaca lebih kurang 10 macam surat kabar/media cetak. Mencatat
informasi-informasi penting dari surat
kabar yang berkaitan dengan bidang organisasi/lembaganya.
§ Pukul
10.00 meeting dengan pimpinan, mendengarkan dan mencatat, menyampaikan
informasi-informasi penting dan berdiskusi lebih lanjut dengan pimpinan.
§ Pukul
11.00 koordinasi dengan staf, memberi informasi penting, memberi tugas dan
motivasi.
§ Pukul
11.30, menyiapkan bahan-bahan tulisan, mungkin juga membuat tulisan-tulisan,
memeriksa tulisan sebelumnya dan sebagainya.
§ Pukul
12.00, melakukan pertemuan dengan beberapa public, mungkin menghubungi pers,
menghubungi pejabat pemerintah, atau menerima tamu sambil mengadakan Lunch
(makan siang).
§ Pukul
15.00, kembali membaca surat
kabar sore atau jurnal-jurnal dan majalah dan sebagainya.
§ Pukul
16.00, mengevalusi kerja staf,memberi saran dan mendiskusikannya dengan staf.
§ Pukul
17.00, menyiapkan laporan dan bahan-bahan rekomendasi untuk nanti diserahkan
pada pimpinan.
§ Pukul
18.00, bersiap untuk pulang dan merencanakan kerja esok harinya.
Begitu
seterusnya kegiatan rutin seorang kepala PR dalam situasi biasa.
BAB IV.
STRATEGIS PR/HUMAS
Mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan ini
diharapkan memiliki kemampuan untuk menjelaskan kembali proses kegiatan PR dan
apa saja yang harus dilakukan sebagai praktisi.
A. Proses Kegiatan humas
Proses kegiatan PR/Humas selalu
di awali dan diakhiri dengan penelitian atau riset. Hal ini dikarenakan
pelaksanakan Komunikasi PR/Humas, tidak hanya sekadar melakukan Komunikasi
yang tanpa arah dan tujuan, melainkan mempunyai tujuan yang jelas dan pasti .
Selain itu program Komunikasi Humas juga perlu mempunyai ukuran hasil untuk mengetahui
efektif atau tidaknya program tersebut atau tercapai atau tidaknya pesan bagi
khalayak yang dituju . Pesan yang disampaikan juga diharapkan mempunyai efek
tertentu yang diharapkan oleh Humas, sehingga perlu diketahui apakah efeknya
sudah sesuai dengan keinginan dengan melakukan penelitian dan evaluasi umpan
balik.
Proses kegiatan PR/Humas diawali dengan:
- Fact Finding (pengumpulan fakta) melalui riset atau penelitian.
- Perumusan masalah
- Perencanaan program
- Aksi dan Komunikasi
- Evaluasi (riset/penelitian)
Ad. 1. Fact Finding
Dalam pengumpulan data, akan
dicari data pendukung antara lain:
- Permasalahan Komunikasi di dalam lembaga atau organisasi.
- Melakukan analisis SWOT (Strengths/Kekuatan, Weaknesses/kelemahan, Opportunities/peluang dan Threats/ancaman) Kekuatan dan kelemahan dikaji dari unsur-unsur yang ada di dalam organisasi (prospek atau masa depan perusahaan yang ditekuni, citra perusahaan, kultur perusahaan dan sebagainya .Sedangkan peluang dan tantangan dilihat dari eksternal perusahaan yang berkaitan dengan peraturan pemerintah, kecemburuan masyarakat, nilai masyarakat, perubahan struktur kependudukan, perubahan sikap dan pandangan masyarakat, situasi ekonomi, perubahan politik, tekanan lingkungan lainnya.
- Potensi yang bisa dimanfaatkan di dalam organisasi untuk mengatasi permasalahan tersebut ( potensi sumberdaya, keuangan, sarana dan prasarana dan lainnya )
- Potensi eksternal yang bisa dimanfaatkan
Ad.2. Perumusan Masalah meliputi:
- Identifikasi masalah dan pengkategorisasian masalah
- Publik yang terlibat aktif dan pasif dalam permasalahan
Ad.3. Perencanaan meliputi:
- Tujuan/sasaran atau hasil akhir dari program
- Khalayak sasarannya
- Media Komunikasi yang digunakan
- Strategi/Tactic/Tehnik Komunikasi
- Sumberdaya yang digunakan
- Anggaran
- Jadwal atau waktu pelaksanaan
- Monitoring dan sistem evaluasi
Ad.4. Aksi dan Komunikasi:
Melaksanakan perencanaan sebagaimana di atas
termasuk di dalamnya melakukan monitoring dan evaluasi dengan periode tertentu untuk
mengetahui sejauhmana keberhasilan program dan upaya untuk mengatasinya.
Ad.5. Evaluasi
Seluruh program yang ditetapkan dievaluasi apakah
sesuai dengan yang diharapkan. Caranya dengan melakukan penelitian mengenai:
- Program yang sudah dijalankan apakah sesuai dengan perencanaan
- Kelemahan atau hambatan-hambatan pelaksanaan program
- Mengetahui opini atau sikap dari khalayak, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan ?
- Menentukan apakah program bisa diteruskan dengan tahapan berikutnya atau kembali dilakukan dengan penyempurnaan atau dirubah sama sekali.
B. Langkah Kegiatan Humas
Dalam menjalankan kegiatan Komunikasi, Humas memerlukan perencanaan yang matang
agar kegiatan yang dilakukan betul-betul terarah, tepat pada sasaran, dan
mencapai target yang diinginkan. Selain itu, dalam perencanaan juga ditentukan
skala pengukuran pencapaian target serta evaluasi dari setiap program yang
dirancang. Namun demikian keberhasilan program Humas, tidak hanya dilihat dari
perencanaan yang bagik, namun juga bagaimana dalam pelaksanaannya apakah
efisien atau tidak.
Humas sebagai fungsi
manajemen, merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan organisasi, karenanya
seluruh aktivitasnya diupayakan untuk mendukung seluruh kebijakan organisasi untuk
pencapaian tujuan lembaga. Berdasarkan hal itulah, maka setiap langkah kegiatan
Humas perlu merujuk serta menyesuaikan dengan kebijakan organisasi.
Di bawah ini diuraikan langkah
kegiatan Humas dengan diawali oleh penentuan objective atau tujuan organisasi
yang digambarkan dalam misi dan visi . Namun apabila objective organisasi sudah
dibentuk, maka akan lebih memudahkan Humas dalam menentukan program kegiatan Komunikasi. Organisasi juga dapat membuat objective baru yang
disesuaikan dengan perkembangan, tantangan dan juga persaingan yang ada.
Langkah-langkah kegiatan humas :
1.
Menetapkan
objective:
a.
Objective
perusahaan (corporate goal): - misi dan visi
b.
Objective
Humas
2.
Identifikasi
Khalayak
3.
Penentuan
Strategi Humas
4.
Pemilihan
Media
5.
Anggaran
6.
Pengukuran
hasil
Ad.1. Penetapan Objective
Objective adalah titik spesifik yang hendak dituju.
Objective perusahaan atau yang disebut sebagai corporate
goal atau tujuan perusahaan ada dua macam:
a.
Official Goal: biasa disebut visi dan misi
perusahaan. Visi isinya bersifat umum dan idealis dan dicantumkan dalam akte
pendirian perusahaan. Sedangkan misi juga mencakup ruang lingkup usaha, pasar
yang hendak dijangkau dan nilai-nilai yang digunakan
b.
Operative Goal: penjabaran yang lebih
realistis atas operasi perusahaan. Misalnya deskripsi hasil akhir yang spesifik
dan dapat diukur. Contohnya:
keuntungan perusahaan, harga saham per tahun dan sebagainya
c.
Objective per bagian: merupakan penjabaran dari
tujuan masing-masing bagian yang diarahkan untuk mendukung tujuan organisasi.
Misalnya tujuan bidang keuangan mengelola keuangan yang lebih efisien dan
akurat untuk mendapatkan peningkatan keuntungan perusahaan, bidang produksi,
adalah menghasilkan produk yang bermutu tinggi, mempunyai daya saing tinggi
dengan pengolahan yang seefisien mungkin agar cost produksi rendah.
Objective Humas:
Suatu pernyataan tertulis
mengenai hal-hal yang perlu dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan
menggunakan ukuran tertentu yang masuk akal, dan konsisten dengan objective
perusahaan.
Persyaratan Objective Humas:
a.
Harus
dinyatakan secara tertulis
b.
Harus
dinyatakan secara jelas dan singkat
c.
Harus spesifik
pada batasan tertentu
d.
Mencakup
batasan waktu yang spesifik
e.
Dinyatakan
dalam ukuran yang terukur (sikap, opini diukur dalam kuantitatif)
f.
Konsisten
dengan objective perusahaan
g.
Objective harus
dapat dijangkau.
Dasar penentuan objetivitas Humas caranya adalah
menjalankan riset atau penelitian yang berkaitan dengan:
a.
Dukungan
perusahaan dan pimpinan
b.
Nilai etika
yang menjadi pegangan dalam pengambilan keputusan.
Ad. 2. Identifikasi Khalayak
Caranya dengan mengetahui sebanyak mungkin mengenai
perusahaan dan kaitannya dengan khalayak/publik internal dan eksternalnya.
Mengenali khalayak/publiknya seperti karakteristik, keinginan, kebutuhan,
tingkat kepuasan yang diharapkan mereka.
Misal karakteristik pemegang saham, demografi
(usia, pendidikan, pendapatan dan lainnya), bentuk saham ( modal uang, asset,
keahlian, bentuk lain).
Misalnya kriteria kepuasan
publik:
Kriteria Kepuasan
Khalayak/Publik
1. Pemegang Saham Prestasi Keuangan
2.
Karyawan
Kepuasan kerja, gaji, supervisi
3. Konsumen Kualitas, pelayanan, lokasi, harga
4. Kreditor Creditworthiness
5. Komunitas Kontribusi Terhadap komunitas
6. Pemasok Transaksi yang memuaskan
7. Pemerintah
Kepatuhan terhadap hukum
Ad. 3. Penetapan Strategi Humas
Setelah mengenal khalayak
sebagaimana ad.3, ditetapkan strategi Komunikasi yang paling tepat disesuaikan dengan kondisi yang ada. Misalnya program Komunikasi untuk penyesuaian dengan lingkungan,
maka akan digunakan strategi adaptif, sedangkan strategi inovatif digunakan untuk
kondisi lingkungan yang ketat dalam persaingan, strategi defensif digunakan untuk
mempertahankan diri dari “serangan” pesaing, atau strategi dinamis dengan
menggunakan langkah-langkah fleksibel secara terus menerus secara konsisten
dengan objective perusahaan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kombinasi
data (fakta), pengalaman dan kepekaan, ilmu (analisis) dan teknologi (forecasting
dan pengolahan data).
Ad. 4. Pemilihan Media
Menentukan media Komunikasi yang akan digunakan . Misalnya media tatap
muka/lisan, tulisan, verbal, non-verbal, media internal, eksternal, special
event dan sebagainya.
Ad. 5 Anggaran
Anggaran yang dikeluarkan humas
meliputi anggaran yang dikeluarkan dalam setiap langkah Humas dari mulai riset untuk
mengidentifikasikan permasalahan, perencanaan dan program, aksi dan Komunikasi dan riset untuk evaluasi program.
Elemen Anggaran Humas:
a.
Penetuan
objective perusahaan
b.
Penentuan
objective Humas:
c.
Pengumpulan
fakta:
o Riset (biaya desain riset)
o Data sekunder (biaya pengumpulan data)
o
Content Analysis (biaya pengolahan data)
o
Survei (biaya turun ke lapangan)
o Konsultasi (biaya konsultasi riset)
o Opinion leader (biaya pertemuan, dll)
o ‘Buka telinga’ (biaya untuk melakukan pertemuan
dengan pihak-pihak penting untuk mendapatkan masukan seperti salesman, pihak
distributor, pemasok, komunitas dan lainnya)
d.
Penyusunan
strategi:
o Biaya konsultan, bila diperlukan
o
Biaya yang berkaitan dengan penyusunan strategi
Humas
e.
Kampanye:
o Internal Relations: karyawan (pertemuan dengan
karyawan, rekreasi, olahraga; keluarga karyawan (bea siswa, pertemuan dengan
keluarga karyawan dll; pemegang saham (biaya pembuatan laporaan perusahaan,
pertemuan formal dan informal dll; top manajemen (tunjangan khusus, pertemuan,
dll)
o Eksternal relations: konsumen (direct mail,
pertemuan konsumen seperti pameran dll, sponsorship), komunitas (pertemuan,
sponsor acara kegiatan masyarakat, bea siswa, penyediaan sarana umum, open
house, penghargaan tertentu), media/pers (konferensi pers, siaran pers,
pers tour, resepsi dll), pemerintah (kunjungan tetap, entertainment),
Pemimpin Opini ( kunjungan formal, sponsor, biaya seminar dll).
o Pemulihan krisis (dilihat dari kadar masalahnya)
o Identitas korporat (biaya konsultan, desain,
penerapannya dalam interior dan eksterior, seragam karyawan, iklan dan
sebagainya).
o Iklan Korporat ( frekuensi pemuatan, ukuran iklan,
jumlah media, biaya desain iklan, jinggle/back sound-music, separasi warna,
artis, percetakan, media fee, dll)
f.
Audit
(pengukuran hasil) adalah biaya yang berkaitan dengan hasil evaluasi seluruh
pekerjaan yang dilakukan Humas. Misalnya pembuatan standarisasi pengukuran
hasil, survei untuk mendapatkan feedback, pengolahan hasil survei dan biaya
pembuatan laporan dll.
Pada prinsipnya, kegiatan Komunikasi yang
dilaksanakan Humas, tidak dapat berjalan tanpa dukungan dari
bagian-bagian lainnya.
Selain itu kegiatan Komunikasi perlu juga
mendapatkan dukungan akitivitas bidang lainnya, misalnya
peningkatan kualitas manajemen yang tidak hanya membutuhkan Komunikasi yang
baik, namun juga perlu diimbangi dengan penambahan fasilitas, tunjangan
kesejahteraan yang didukung oleh bagian keuangan. Untuk peningkatan kualitas
produk, misalnya sebagai upaya Komunikasi terbaik untuk konsumen, harus
dididukung oleh kinerja yang baik di bagian produksi dan seterusnya.
Penyebaran Anggaran pada bagian-bagian lain:
Ad. 6 Pengukuran hasil
Pengukuran hasil merupakan proses akhir dari
kampanye Humas. Kegiatan ini ditujukan untuk memeriksa seberapa jauh kegiatan
Humas dapat berjalan dengan baik, serta apakah telah mencapai target yang
diinginkan. Caranya dengan melakukan audit kegiatan Humas untuk mengetahui
efektivitas kegiatan Humas. Audit sebaiknya dilakukan oleh pihak ketiga untuk memperoleh
hasil yang jernih dan obyektif.
Salah satu model rancangan strategis yang banyak
dilakukan adalah proses perubahan perilaku (Process of Behavior Change-PBC)
yakni kerangka kerja yang telah berhasil digunakan dalam bidang Komunikasi kesehatan
selama bertahun-tahun. Kerangka kerja ini adalah menjalankan proses Komunikasi dengan
pesan yang berbeda dalam setiap langkah dan menggunakan media serta pendekatan
yang berbeda pula. Proses perubahan perilaku melalui beberapa tahapan yakni:
1.
Belum tahu –
tidak sadar akan adanya masalah atau resiko pribadi bagi mereka
2.
Tahu – sadar
akan adanya masalah, dan mengetahui perilaku yang diinginkan
3.
Setuju – setuju dengan perilaku yang diinginkan
4.
Berminat – bermaksud secara pribadi melakukan
tindakan yang diinginkan
5.
Praktik –
melakukan perilaku yang diinginkan
6.
Mengadvokasi –
mempraktikkan perilaku yang diinginkan sekaligus memberitahukannya kepada orang
lain( Panduan Lapangan Merancang strategi Komunikasi Kesehatan: Sumber
Informasi bagi Profesional Komunikasi Kesehatan: 2005:edisi bahasa Indonesia: Jakarta)
Kerangka kerja di atas menggunakan pendekatan
pelaksanaan Proses dan Prinsip Komunikasi Kesehatan- P-Process yang
dikembangkan tahun 1983 oleh Piotrow dan kawan-kawan.
Langkah-langkah P-Process sebagai berikut:
1.
Analisa –
Memahami karakteristik masalah kesehatan serta hambatan terhadap perubahan:
mendengarkan khalayak sasaran yang potensial; menilai kebijakan, sumberdaya,
kekuatan serta kelemahan program yang sudah ada, dan menganalisasi sumberdaya Komunikasi.
2.
Rancangan
Strategis – menentukan tujuan, mengidentifikasikan segmen khalayak sasaran,
memposisikan konsep bagi khalayak sasaran, mengklarifikasi model perubahan
perilaku yang akan digunakan, memilih saluran Komunikasi, merencanakan diskusi
antarpribadi, menyusun rencana tindakan dan rancangan evaluasi.
3.
Pengembangan,
pengujian awal, perbaikan dan produksi – mengembangkan konep pesan, mengujinya
melalui anggota khalayak sasaran dan pihak penanggungjawab, memperbaiki dan
memproduksi pesan serta materi, serta menguji kembali materi baru dan materi
yang sudah ada.
4.
Manajemen,
pelaksanaaan, dan pemantauan – menggerakkan organisasi kunci: menciptakan
lingkungan organisasi yang positif, mewujudkan rencana tindakan dan memantau
penyebarluasan informasi, pengiriman dan penerimaan hasil-hasil program.
5.
Evaluasi
dampak – mengukur dampaknya pada khalayak sasaran dan menentukan cara
meningkatkan proyek yang akan datang.
6.
Merencanakan
kesinambungan – menyesuaikan dengan kondisi yang terus berubah dan merencanakan
kesinambungan serta kemandirian.
Agar Komunikasi dapat strategis, maka sebaiknya:
1.
Berorientasi
pada hasil
2.
Berdasarkan
ilmu pengetahuan yakni data ilmiah dan akurat serta berdasar pada teori-teori
perubahan seperti tahapan teori perubahan/penyebaran/difusi, teori kognitif,
teori tanggapan emosinal, proses sosial dan teori yang mempengaruhi, teori
media massa.
3.
Berfokuspada
klien : pemahaman pada klien, kebutuhan klien.
4.
Partisipatif :
mengikutsertakan semua stakeholder yang terlibat dalam proses pengambilan
keputussan mulai tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi
5.
Berorientasi
pada manfaat bagi klien
6.
Berkaitan
dengan pelayanan
7.
Berbagai
saluran : Komunikasi interpesonal, saluran berbasis masyarakat, dan menggunakan
berbagai media massa.
8.
Berkualitas
tinggi secara teknis
9.
Berkaitan
dengan advokasi: di tingkat pribadi/sosial dan kebijakan/program
10. Diperluas ke skala yang lebih tinggi: misal dari
desa ke kabupaten dan seterusnya.
11.
Bisa menjadi
program berkesinambungan
12.
Hemat biaya
Contoh :
Program Komunikasi untuk
Kesetaraan Gender
1.
Analisa
Situasi:
a.
Mengidentifikasi
masalah & memahami masalah:
Gender atau peran sosial perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat Indonesia
belum setara. Wanita sering diposisikan sebagai warganegara kelas dua,
diperlakukan tidak adil, dan tidak dipenuhi hak-haknya. Hal ini dikarenakan
adanya budaya patrilineal (laki-laki yang dominan), penafsiran aturan agama
yang tidak pas dan berdasar pada persepsi laki-laki, serta tingkat pendidikan
perempuan yang rendah serta kurang memperoleh akses informasi yang benar.
Data yang terkait untuk menunjukkan parahnya
masalah tersebut adalah jumlah perempuan dan laki-laki di Indonesia berdasarkan
pendidikan, tingkat kematian, jumlah perempuan di pemerintahan, legislatif dan
yudikatif serta sektor swasta yang menduduki posisi pengambil keputusan, jumlah
wanita di lapangan kerja formal lainnya dibanding yang tidak bekerja. Selain
itu jumlah korban perempuan dibanding laki-laki pada kasus kekerasan rumah
tangga, pelecehan, TKI dll.
b.
Menentukan
khalayak sasaran potensial :
§ Melihat data geografis (wilayah, tipe kota, kepadatan populasi,
iklim):misal pasangan suami istri di Indramayu, Jawa Barat .
§ Demografi (usia, jenis kelamin, status pernikahan,
penghasilan, pendidikan, pekerjaan): Wanita dan laki-laki usia 18 tahun s.d 40
tahun dengan status menikah, penghasilan antara Rp 500.000s.d Rp 2.000.000,-
per bulan : pendidikan SD s.d SMU: pekerjaaan sector informal.
§ Psikografis (motivasi/terbatas, diatur,
terlindungi; persepsi/positif, negatif, tidak tahu; keterlibatan/rendah,
sedang, tinggi perilaku/positif/negatif;gaya
hidup/ konservatif,mencari status, inovator). Misal: perempuan ibu rumah tangga
juga berkebun/bertani. Suami petani/supir angkutan umum,tukang beca.
§ Sosial budaya: bahasa/budaya;agama;suku;kelas
sosial/kasta;gaya hidup keluarga (lajang, menikah): bahasa sunda atau suku
sunda, agama Islam, gaya hidup sederhana dan kurang religius ( Islam abangan ).
c.
Mengidentifikasikan
sumberdaya Komunikasi
yang potensial: melihat
lingkungan Komunikasi dan memahaminya serta menggunakan saluran potensial
seperti personal. interpersonal, masyarakat, media massa. Misalnya
:kepala desa/lurah dan tokoh agama, tokoh adat ; lingkungan keluarga yang masih
kuat, tetangga dan kerabat . Penggunaan media massa, melalui pertemuan kampung, acara atau
perhelatan, serta televise dan radio cukup banyak digunakan oleh masyarakat.
d.
Menilai
Lingkungan: Terkait dengan ketersediaan
pelayanan untuk perempuan . Misalnya pelayanan kesehatan yang membuat perempuan
lebih sehat dan kuat serta terjaga kehamilannya dengan baik, saat
mengandung. Pelayanan informasi baik melalui tokoh masyarakat ( kelompok Ibu
PKK) yang memberikan kesadaran dan wawasan perempuan terhadap hak dan kewajiban
mereka sebagai istri serta ibu . Apakah akses tersebut dapat mudah dijangkau ?.
murahkah biayanya ?. Penerimaan social terhadap pelayanan bagi kaum perempuan.
Banyak daerah yang justru tidak mendukung adanya pelayanan kesehatan khusus
bagi perempuan. Bila perempuan sakit, dan pada waktu yang sama laki-laki sakit
juga, maka bila biayanya terbatas, maka kaum lelaki yang didahulukan berobat
dengan alas an, laki-laki kepala keluarga dan penopang ekonomi utama keluarga.
Selain itu, kondisi social, ekonomi dan politik yang ada kurang memberikan
dukungan utama bagi perempuan.
e.
Merangkum
kekuatan dan kelemahan sumberdaya manusia, teknologi dan keuangan, peluang,
ancaman Komunikasi. Misalnya: kekuatan
yang dimiliki :masyarakat masih saling tolong menolong serta masih sering
berinteraksi satu sama lainnya. Kelemahannya adalah tingkat pendidikan
yang rendah serta akses informasi yang baik untuk kehidupan yang setara antara
peranan suami dan istri belum banyak mereka ketahui. Pengaruh norma social yang
patrilineal masih sangat kuat, sehingga kesetaraan masih menjadi utopia bagi
kaum perempuan, budaya patrilineal ini juga menguasai tokoh agama yang sebagian
besar adalah kaum pria dan mengintepretasikan ajaran agama sesuai dengan
kacamata laki-laki dan dominasi laki-laki menjadi sangat kuat. Peluangnya
adalah kaum perempuan sangat produktif dengan membantu di bidang pertanian,
berdagang warung atau keliling dan memiliki kemauan untuk maju. Dengan demikian
memungkinkan perempuan untuk bisa lebih mandiri dan memiliki kepercayaan diri. Ancaman
nya adalah laki-laki sangat kuat pengaruhnya dan tokoh agama yang kurang
bisa memahami kesetaraan perempuan. Mereka menganggap kesetaraan perempuan
hanyalah upaya feminisme dari Negara-negara yang bukan Islam dan faham yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka menganggap kesetaraan gender membuat
perempuan menjadi tidak patuh pada kaum suami dan sangat berdosa.
2.
Segmentasi
khalayak
a.
Menentukan
segmen khalayak:Misalnya
perempuan dan laki-laki yang tidak berpendidikan dan yang berpendidikan SD.
b.
Menentukan
prioritas segmen khalayak: Bila
sumberdaya yang ada terbatas dibandingkan dengan jumlah khalayaknya, maka
diperlukan upaya bertahap dengan menentukan prioritas-prioritas khalayak. Misalnya
tahap awal kampanye kesadaran gender kepada kaum perempuan yang tidak
berpendidikan, baru kemudian yang berpendidikan. Atau memberikan penyadaran
kepada kaum lelaki sebelum ke perempuan, agar proses penerimaannya lebih baik
dan memperoleh dukungan yang kuat. Misalnya mencoba melakukan pendekatan
terlebih dahulu ke tokoh masyarakat dengan pendekatan persuasive mengenai
konsep kesetaraan gender. Ketika mereka sudah memahami dan menyadari pentingnya
kesetaraan gender untuk lebih meningkatkan kesejahteraan semua, maka diharapkan
mereka akan mengadvokasi kepada masyarakat di wilayahnya tersebut.
c.
Mengidentifikasikan
khalayak yang berpengaruh: melihat
kelompok-kelompok khalayak lain yang berpengaruh dalam prilaku masyarakat.
Misalnya pengaruh orang tua/keluarga, tetangga, kerabat dekat.
d.
Menggambarkan
protret khalayak utama:
melakukan pendekatan kepada kaum perempuan untuk mengetahui bagaimana sikap dan
perilaku mereka keseharian terkait dengan kesadaran akan pentingnya kesetaraan
gender. Perlakuan pasangan hidup, keluarga dan tetangga terhadap kaum perempuan
pada umumnya. Harapan dan keinginan perempuan terkait dengan kesadaran gender.
Selain itu gambaran pendidikan, status sosial ekonomi, aktivitas
keseharian, jumlah anak dan lainnya yang memberikan gambaran utuh mengenai
khalayak utama.
3.
Tujuan
Perubahan Perilaku
a.
Menyatakan
perubahan perilaku: Pasangan
suami istri di Indramayu sudah bisa saling bekerjasama dalam mendidik serta
memutuskan yang terbaik bagi masa depan anak-anaknya; dalam menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga; dalam memikirkan dan mencari cara terbaik untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga dll.
b.
Menyatakan
berapa banyak perubahan perilaku: masyarakat perlu diberi pandangan bahwa dengan kemitraan, kesejajaran
peran perempuan dan laki-laki akan lebih meningkatkan kesejahteraan keluarga.
c.
Kerangka
waktu untuk merubah perilaku: Misalnya dalam satu tahun atau dua tahun kampanye, akan terjadi
perubahan perilaku.
d.
Menghubungkan
tujuan perubahan perilaku dengan tujuan program: perempuan yang memiliki kesadaran kesetaraan
gender akan berusaha memposisikan sama dengan laki-laki dalam rumahtangga dan
bidang lainnya. Begitu juga dengan laki-laki yang memiliki kesadaran
kesetaraan, akan selalu mengikutsertakan perempuan dalam mengambil keputusan,
menghargai perempuan dan memperhatikan kepentingan-kepentingan perempuan.
e.
Identifikasi
indikator kemajuan: berkurangnya
angka kematian ibu (akibat menomorduakan pelayanan kesehatan bagi perempuan);
meningkatnya tingkat pendidikan perempuan (anak lelaki dan perempuan mempunyai
peluang sama untuk mendapat pendidikan ); meningkatnya aktivitas perempuan di
luar sektor domestik (kegiatan rumahtangga) misalnya dalam kegiatan ekonomi,
sosial, dan politik.
4.
Pendekatan
Strategis:
a.
mengkaji
masalah kunci, segmen khalayak, tujuan: Ketidaksetaraan gender adalah masalah budaya. Karena itu, perlu
penyampaian pesan yang terus menerus dengan membuka orientasi berpikir pada
hal-hal yang positif mengenai kesetaraan . Misalnya membuat keluarga lebih
sejahtera karena perempuan juga bekerja mencari uang, perempuan lebih pintar
dan mampu mendidik anak-anak lebih baik dan masa depan lebih baik.
b.
Menentukan identitas jangka panjang dan positioning
strategi perilaku: identitas jangka panjang adalah prilaku yang akan
menjadi budaya positif. Misalnya metode KB bila terus menerus digunakan, maka
masyarakat juga akan lebih sejahtera. Pada kesetaraan gender, maka prilaku
menghargai, menghormati dan memberikan peluang yang sama bagi kaum perempuan
akan memperkuat suatu bangsa, karena kesempatan bagi perempuan untuk memberikan
yang terbaik bagi bangsa ini, akan memberikan nilai tambah bila dibandingkan
tidak adanya atau kurangnya kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan. Positioning: menyajikan suatu isu, pelayanan atau
produk dengan cara tertentu sehingga bisa diterima dan bertahan dalan pikiran
khalayak sasaran. Dalam konteks kesetaraan gender adalah dengan memberikan
gambaran fisik, perempuan yang percaya diri, smart dan mandiri. Kalimat yang
bisa didengungkan adalah “Perempuan Indonesia : percaya diri, smart dan mandiri
(Confidence, smart & Independent)
c.
Mengeksplorasi alternatif-alternatif strategis; mengembangkan alternatif
strategis dengan membandingkan perempuan Indonesia dengan perempuan barat;
keuntungan perempuan yang Confidence, smart & Independent; perbandingan
perempuan yang berpikiran maju dan setara dengan perempuan yang berpikiran kuno
dan tradisional; keuntungan pria bila perempuan lebih Confidence, smart &
Independent)
d.
Menentukan pendekatan dan dasar pemikiran
strategis: alasan penentuan strategis. Pendekatan strategis ke perempuan melalui
pertemuan PKK, arisan, pengajian, program kursus atau pelatihan pemberdayaan perempuan,
kunjungan ke rumah-rumah. Pendekatan strategis ke laki-laki dengan rembug desa,
pertemuan adat, ngobrol di warung kopi (khusus daerah yang mempunyai kebiasaan
para lelaki menghabiskan waktu luangnya di warung/kedai kopi ).
5.
Penyusunan
Pesan:
a.
Mengidentifikasikan
fakta penting, yang dapat mengarahkan pada perubahan perilaku: perempuan yang bodoh ( tidak berpendidikan) akan
mudah dibohongi/ditipu dan bila bekerja mendapat upah rendah. Tingginya angka
kekerasan dalam rumah tangga. Tingginya angka kematian perempuan. Rendahnya
jumlah perempuan yang ada dalam posisi kunci/strategis. Keseluruhan karena ketidaksetaraan
gender.
b.
Mengidentifikasikan
janji kepada khalayak yang akan memotivasi mereka untuk mengadopsi atau
menyesuaikan perilaku: perempuan
berpendidikan akan lebih sejahtera, sehat dan bahagia serta lebih
dihargai/dihormati oleh kaum lelaki.
c.
Menentukan
dukungan atas janji yang merangkum alasan tentang mengapa khalayak harus
mempercayai janji tersebut : menyediakan sarana pendidikan yang terjangkau untuk semua khususnya
perempuan; menyediakan advokasi bagi korban perempuan; menyediakan sarana
pembinaan usaha pemberdayaan perempuan.
d.
Menggambarkan
persaingan pesan; pesan dengan
gambar/ilustrasi perbandingan perempuan tidak berpendidikan dan berpendidikan;
ibu rumahtangga yang berpendidikan dan yang tidak;
e.
Mengembangkan
pernyataan utama berkesan menarik dan bertahan lama yang diharapkan akan
ditangkap khalayak usai mendengar atau menyaksikan pesan : perempuan Indonesia percaya diri, cerdas dan
mandiri.
f.
Menjabarkan
profil pengguna yang diinginkan: bagaimana khalayak menangkap kesan seorang
yang menggunakan produk atau layanan yang tengah dipromosikan: profil perempuan yang diperlakukan tidak setara
dengan profil perempuan yang diperlakukan dengan setara (lebih confidence,
smart dan independent.
g.
Mengidentifikasikan
poin-poin pesan utama yang akan disertakan dalam semua pesan Komunikasi yang disampaikan oleh para mitra
pelaksana strategi: 1) Kesetaraan gender menjadi kunci keberhasilan
perempuan Indonesia menjadi percaya diri, cerdas dan mandiri; 2) sikap saling
menghormati dan menghargai serta saling mendukung antara perempuan dan
laki-laki; 3) pelayanan kesehatan serta penyediaan fasilitas bagi pemberdayaan perempuan
menjadi prioritas.
6.
Saluran
dan Alat Bantu:
a.
Memilih
saluran yang terjangkau khalayak sasaran: Saluran Komunikasi interpersonal: petugas penyuluh dalam
kunjungan ke rumah-rumah; petugas penyuluh dalam kunjungan ke keluarga inti dan
tetangga; saluran komunitas Komunikasi ke komunitas etnis, kegiatan
sosial. Dll.Saluran media massa: selebaran, iklan layanan sosial di radio
dan tv, papan pengumuman, bill board,
b.
Menentukan alat bantu: hiburan rakyat yang bisa
dijadikan media penyampai informasi.
c.
Memadukan pesan, saluran, dan alat bantu: Pesan yang berkaitan dengan
kesetaraan gender disampaikan melalui saluran interpersonal berupa kunjungan ke
rumah, kampanye, dan pertemuan dengan komunitas . Selain itu bisa juga
menggunakan alat bantu berupa hiburan kesenian rakyat seperti wayang, musik dan
sebagainya.
7.
Rencana
Manajemen
a.
Identifikasi
organisasi utama dan mitra-mitra kerjasama: Organisasi utama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan mitra Lembaga
Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi dan pemerintah daerah
b.
Menetapkan
peran dan tanggungjawab mitra: Kementerian Pemberdayaan perempuan sebagai donatur, serta koordinator
pelaksana teknis. LSM membantu dalam melakukan program kampanye, pelaksana
teknis. Pemerintah Daerah koordinasi dan juga pelaksana teknis di lapangan.
c.
Membuat garis besar kerjasama para mitra: Kementerian Pemberdayaan Perempuan
membuat konsep, mengambil keputusan, serta menyandang dana, LSM memperoleh dana
dan melaksana kerjasama serta mempertanggungjawabkan tugas serta penggunaan
dana. Pemerintah Daerah, membantu dalam koordinasi
lapangan.
d.
Menyusun kerangka waktu pelaksanaan strategi: Pelaksanaan program kampanye
Bulan Januari s.d Desember 2008
e.
Menyusun
anggaran
f.
Perencanaan
untuk memantau kegiatan: Masing-masing
mitra memperoleh tanggungjawab dan ukuran keberhasilan pekerjaan yang akan
menjadi alat pemantauan, bahwa program tersebut berhasil atau tidak.
8.
Rencana
Evaluasi:
a.
Indetifikasi
lingkup dan jenis evaluasi: memastikan rencana kegiatan betul-betul dilaksanakan dan apakah tujuan
yang ditetapkan telah tercapai ?. Mengukur indeks kesehatan, pndapatan,
pendidikan.
b.
Merencanakan
pemantauan dan penilaian dampak: apakah kegiatan yang terlaksana sesuai dengan frekuensi, intensitas dan
waktu yang telah ditentukan. Apakah kualitas atau mutu, kuantitas ( besaran) dan
distribusi hasil Komunikasi sesuai dengan tujuan.
Pemantauan hasilnya apakah sesuai dengan tujuan. Penilaian dampak dengan
mengetahui apakah strategi Komunikasi sudah sesuai dengan tujuan ?.
Ukurannya adalah jumlah khalayak yang mengubah perilaku sudah sesuai
tujuan?.Penelitian dampak bisa dengan berbagai metode penelitian baik yang
kualitatif dan kuantitatif.
c.
Identifikasi
rancangan evaluasi dan sumber data: apakah evaluasi berdasarkan jumlah populasi perempuan yang berubah ?
Atau program penyuluhannya ?
d.
Menyesuaikan
evaluasi untuk situasi tertentu : evaluasi yang berguna adalah evaluasi yang disesuaikan dengan tujuan Komunikasi.
Tujuan komunikasinya adalah membentuk kesadaran, sikap dan perilaku yang setara
gender, maka evaluasinya adalah Dampak Program Komunikasi terhadap Perubahan
Perilaku perempuan dan laki-laki yang sesuai dengan kesetaraan gender.
e.
Memutuskan pelaksana evaluasi: Menteri Pemberdayaan Perempuan
yang menjadi pelaksana evaluasi
f.
Merencanakan
dokumentasi dan penyebarluasan hasil-hasil evaluasi : menyaipakan dokumentasi dan laporan kegiatan serta
penyebarluasan hasil-hasilnya.
Referensi :
Ardianto,
Elvinaro. 2009. Public Relations
Praktis. Bandung : Widya Padjadjaran
Darmastuti,
Rini. 2006. Etika PR dan E –
PR. Jogjakarta : Gava Media
Effendi, Onong Uchjana. 1993.
Human Relations Dan Public Relations. Bandung : Mandar Maju
Jefkins,
Frank dan Daniel Yadin. 2009. Public Relations Edisi Lima. Erlangga
Kusumastuti,
Frida. 2001. Dasar – Dasar Humas. Jakarta : Ghalia Indonesia
May
Rudi, Teuku. 2005. Komunikasi
dan Hubungan Masyarakat International. Bandung : Refika Aditama
Ruslan, Rosady. 2006.
Manajemen Public Relations Dan Media Komunikasi. Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Komentar
Posting Komentar